Ditinjau
dari :
1.
Ketatanegaraan
Yaitu
sebagai mekanisme ”check and balance” dalam system ketatanegaraan Indonesia.
Di
Indonesia, berdasarkan UUD 1945 yang belum diamandemen ditentukan Lembaga
Negara yaitu : Lembaga Tinggi dan Tertinggi. Pada masa setelah amandemen, ada
ketidakjelasan tugas dan wewenang antar lembaga Negara.
Ex
:
-
Presiden
– DPR ( dalam hal membuat UU )
-
Presiden
– MPR ( sengketa pada pasal 3 ayat 2 dan 3 UUD 1945 )
-
Presiden
– BPK ( mengaudit keuangan Negara )
MK sebagai lembaga khusus untuk
melakukan yudisial review dalam system ketatanegaraan. Sebelum amandemen,
yudisial review adalah :
-
MPR
= menguji UU
-
MA
= menguji peraturan
Banyak
yang tidak setuju tentang kewenangan MPR tersebut, untuk tersebut maka dibentuk
MK yang berperan untuk melakukan yudicial review :
-
Menguji
UU terhadap UUD
-
Memutuskan
sengketa kewenangan lembaga Negara
-
Hal
lain yang berhubungan dengan konstitusi dan ketatanegaraan di Indonesia.
Berdasarkan tersebut, pembentukan
dan keberadaan MK adalah sangat dibutuhkan di ketatanegaraan Indonesia, karena
akibat telah terlalu banyaknya peraturan yang menyimpang / tidak sesuai dengan
perundang-undangan yang lebih tinggi terasuk konstitusi, sedangkan belum ada
suatu badan yudisial yang khusus berperan melakukan yudicial review dalam
ketatanegaraan Indonesia.
Sehingga membuka peluang bagi
penguasa untuk membuat Perundang-undangan yang hanya berfungsi untuk
mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya dan atau menafsirkan
perundang-undangan yang ada menurut interprestasi yang menguntungkan penguasa
tersebut, maka keberadaan lembaga yudikatif yang melakukan yudicial review
terhadap perundang-undangan mulai dari UU dan peraturan lain dibawahnya, sangat
dibutuhkan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Tap
MPR No. VII/MPR/2000
TNI dan Polri berada dibawah
Presiden ( pasal 3 ayat 2 dan pasal 7 ayat 2 )
-
Pasal
3 (2)
“ TNI dipimpin oleh seorang
Panglima yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat
persetujuan DPR “
-
Pasal
3 (3)
“
Kepolisian Negara Indonesia yang dipimpin oleh Kepala Kepolisian RI yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR “
-
Pasal
7 (3)
“
ketetapan ini memerintahkan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ketetapan ini diatur dengan UU”
2.
Praktek
Ketatanegaraan
Sejak
Indonesia merdeka sampai saat ini ada beberapa praktek ketatanegaraan yang
menyimpang :
a.
Maklumat
Wapres No. X / 1945 yang Diktum berbunyi :
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum
terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislative dan menerapkan GBHN, serta
menyetujui bahwa pekerjaan. KNP sehari-hari berhubungan dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh sebuah Badan pekerja yang dipilih diantara mereka dan
yang bertanggung jawab kepada KNP”.
Maklumat
tersebut, telah mengurangi kekuasaan Presiden yang semula pada pasal IV aturan
peralihan UUD 1945 adalah :
“Sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut
UUD, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah KNP”.
Dengan
adanya maklumat tersebut, telah mengakibatkan terjadi pengurangan kekuasaan
Presiden dengan tanpa mengubah ketentuan pasal IV aturan peralihan baik secara
langsung maupun amandemen.
b.
Maklumat
Pemerintah 14 November 1945
Merupakan
tindakan yang akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada (
cabinet Presiden/Kabinet I ) maka diumumkan menteri-menteri dalam cabinet baru.
Kalau
semula, cabinet berada dibawah Presiden, maka cabinet baru dibawahi oleh suatu
dewan yang diketuai PM ( Sutan Syahril ).
c.
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959
d.
Supersemar
Supaya tidak ada penguasa
otoriter dan Tirany serta penyimpangan-penyimpangan maka untuk itu diperlukan
lembaga yang dapat menjaga penyelenggaraan Negara tetap berpijak pada konstitusi
dan menghormati hak.
MK adalah lembaga yang relevan
untuk hal tersebut, adapun Visi dan Misi MK sebagai berikut :
Visi :
“Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan
cita Negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang martabat”.
Misi
:
1.
Mewujudkan
MK sebagai kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
2.
Membangun
konstitusi Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi
Contoh Kasus
Pasal
31 UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat :
“Setiap
orang yang dengan sengaja menjalankan profesi sebagai advokat dan seolah-olah
sebagai advokat sebagaimana diatur dalam UU ini, dipidana dengan pidana paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta
rupiah )”.
Akibat UU tersebut, muncul
gugatan dari masyarakat umum ke MK yang menurut mereka melanggar hak konstitusi
untuk menjadi penyuluh hukum.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan