Titik-titik taut
( titik-titik pertalian )
Setelah pokok masalah dalam
perkara dapat ditetapkan melalui kualifikasi maka umumnya orang harus
menentukan hukum apa yang harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, harus mencari
titik-titik taut yang berkaitan dengan perkara tersebut. Setiap factual berisi
element/unsur yang bila dikaitkan dengan suatu sistem hukum apa yang harus /
dapat digunakan untuk mengatur situasi factual tersebut.
Ex
:
Seorang warga Negara jerman,
berdomisili di England, meninggal di Prancis dan meninggalkan sejumlah warisan
di Italy dan membuat surat wasiat di Rusia, perkara diajukan di Pengadilan
Indonesia.
Hal tersebut diatas, dapat
menunjukan adanya kaitan antara fakta-fakta yang ada di dalam perkara dengan suatu
tempat dan suatu sistem hukum yang harus / mungkin digunakan
Ex :
1.
Kewarganegaraan
si pewaris
2.
Tempat
kediaman tetap ( domisili )
3.
Tempat
letaknya benda
4.
Tempat
penetapan surat wasiat
5.
Tempat
pengajuan perkara
Hal-hal yang menunjukan pertautan
itulah yang dalam HPI disebut titik-titik taut. Factor-faktor yang relefan itu
akan memberikan akibat yang berbeda-beda di berbagai system hukum dan arena itu
faktor/titik taut mana yang bersifat menentukan akan bergantung pada suatu sistem
HPI suatu Negara.
Salah satu objek dari HPI adalah
untuk meletakkan / menentukan aturan-aturan dalam rangka pemilihan hukum (
menurut Prof. Cohn ).
Aturan-aturan HPI itu adalah
aturan-aturan yang akan menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur suatu
perkara yang mengandung unsur asing.
Usaha pemulihan hukum ini hampir
selalu bergantung pada titik taut yang akan menunjukan sistem hukum apa yang
relevan dengan sekumpulan fakta yang dihadapi, disamping kewarganegaraan
pihak-pihak yang berperkara ( Lex resita
) beberapa titik-titik taut yang dianggap penting menurut Prof. Cohn adalah Lex Loci
actus ( hukum dari tempat perbuatan dilakukan ) Lex Recitae ( hukum dari tempat benda terletak ) locus contractus / locus solusionis (
tempat pembuatan perjanjian/tempat pelaksanaan kontrak ).
Prof.
R. H. Grafeson
berpendapat bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara HPI perlu di perhatikan 3
hal yaitu :
1.
Titik-titik
taut apa sajakah yang dipilih oleh system HPI tertentu yang dapat diterapkan
pada sekumpulan fakta yang bersangkutan.
2.
Berdasarkan
system hukum manakah diantara berbagai system hukum yang relevan dengan perkara
titik-titik taut itu akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena factor-faktor
yang sama mungkin secara teoritis diberi inter prestasi yang berbeda di dalam
berbagai system hukum.
3.
Setelah
kedua masalah tadi ditetapkan barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu
dibatasi oleh system hukum yang akan diberlakukan
Dalam
HPI dikenal 2 macam titik taut yaitu :
1.
Titik
taut primer ( primary points of contact
).
2.
Titik
taut scunder ( secoundary points of
contact ).
Titik primer adalah
→
unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang menunjukan bahwa suatu peristiwa hukum
merupakan peristiwa HPI dan bukan merupakan hukum intern.
Titik scunder adalah
→
unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus
berlaku untuk mengatur peristiwa HPI yang bersangkutan.
Jenis-jenis titik taut yang
dikenal dalam HPI :
1.
Kewarganegaraan
pihak-pihak yang bersangkutan
2.
Domicile
( tempat tinggal / tempat asal orang / badan hukum )
3.
Tempat
( status suatu benda )
4.
Bendera
kapal
5.
Tempat
perbuatan hukum dilakukan
6.
Tempat
timbulnya akibat perbuatan hukum / tempat pelaksanaan perjanjian
7.
Tempat
pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi
8.
Tempat
perkara / gugatan diajukan
Titik-titik
taut ini difungsikan dalam proses penyelesaian suatu perkara HPI adalah dengan
bertahap. Tahap-tahap penyelesaian suatu perkara HPI adalah sebagai berikut :
1.
Harus
ditentukan dahulu titik taut primer dalam perkara dalam rangka menentukan
apakah peristiwa hukum yang dihadapi merupakan suatu peristiwa HPI. Disini
orang akan mencari unsur-unsur asing dari sekempulan fakta yang dicari.
2.
Setelah
ditemukan unsur asing maka diadakanlah kwalifikasi fakta yaitu kwalifikasi yang
dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk
ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum berdasarkan kategori hukum
dan kaidah-kaidah hukum dari system yang dianggap seharusnya berlaku. Yang
dilakukan berdasarkan lex fori ( hukum
sang hakim yang mengadili perkara ) dalam rangka penetapan kategori yuridis
dari perkara yang sedang dihadapi.
3.
Ditentukan
kaidah HPI mana dari lex fori yang harus digunakan untuk menentukan lex causae.
Pada tahap ini sebenarnya orang menentukan titik-titik taut scunder apa yang
bersifat menentukan berdasarkan kaedah HPI lex fori.
4.
Setelah
lex causae ditentukan maka dengan menggunakan titik taut yang dikenal dalam lex
causae hakim berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum intern apa yang akan
digunakan untuk menyelesaikan perkara.
5.
Apabila
berdasarkan titik-titik taut dari lex causae hakim telah dapat menentukan
kaidah hukum intern apa yang harus diberlakukan, maka barulah pokok perkara
dapat diputuskan.
Penggunaaan proses penyelesaian
perkara HPI seperti tersebut diatas dinamakan juga penggunaan titik-titik taut
secara tradisional dan menurut ahlinya akan menimbulkan 2 masalah utama
khususnya :
a.
Titik
taut yang digunakan secara tradisional tidak selalu menunjukan kaedah pemilihan
hukum yang tidak rasional.
b.
Titik
taut yang dipilih sering kali di dasarkan pada anggapan adanya kesetaraan
konsep hukum yang mungkin dalam kenyataanya tidak ada.
Didalam
UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 menjelaskan yang menjadi WNI itu :
1. orang yang berdasarkan pada UU
dan atau perjanjian-perjanjian semenjak diproklamasikan menjadi Warga Negara.
2. UU No. 62 Tahun 1958 menyinggung
disini bahwa orang-orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya WNI sedangkan hubungan kekeluargaan diadakan
sebelum orang itu berumur 18 Tahun dan sebelum ia kawin pada usia dibawah 18
tahun.
3. Anak yang lahir dalam 300 hari
setelah ayahnya meninggal dunia, disaat ayahnya meninggal adalah warga Negara
Indonesia sehingga anak juga WNI.
4. Orang yang pada waktu lahir,
ibunya WNI maka jika ayahnya tidak punya kewarganegaraan/selamanya tidak
diketahui warga negaranya maka si anak dinyatakan WNI.
Ketertiban Umum ( Openboar orde )
-
Public
Polise ( bahasa Belanda )
-
Orde
of public ( bahasa Inggris )
Kata ketertiban umum diawali oleh
Sudargo Gautama kemudian di lanjutkan oleh Mas Mu’in dimana ia mengartikan
ketertiban umum sama dengan tata tertib dalam suatu Negara / masyarakat.
Penyebutan ketertiban umum dalam
HPI hampir selalu dilakukan untuk memberikan alas an-alasan bahwa dalam suatu
peristiwa hukum dimana pada umumnya hukum perdata yang diberlakukan dari Negara
sendiri.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan