Monday, December 12, 2016

TITIK-TITIK TAUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

0 komentar


Titik-titik taut
( titik-titik pertalian )

Setelah pokok masalah dalam perkara dapat ditetapkan melalui kualifikasi maka umumnya orang harus menentukan hukum apa yang harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara yang bersangkutan.

Oleh karena itu, harus mencari titik-titik taut yang berkaitan dengan perkara tersebut. Setiap factual berisi element/unsur yang bila dikaitkan dengan suatu sistem hukum apa yang harus / dapat digunakan untuk mengatur situasi factual tersebut.
  
Ex :
Seorang warga Negara jerman, berdomisili di England, meninggal di Prancis dan meninggalkan sejumlah warisan di Italy dan membuat surat wasiat di Rusia, perkara diajukan di Pengadilan Indonesia.

Hal tersebut diatas, dapat menunjukan adanya kaitan antara fakta-fakta yang ada di dalam perkara dengan suatu tempat dan suatu sistem hukum yang harus / mungkin digunakan
Ex :
1.      Kewarganegaraan si pewaris
2.      Tempat kediaman tetap ( domisili )
3.      Tempat letaknya benda
4.      Tempat penetapan surat wasiat
5.      Tempat pengajuan perkara

Hal-hal yang menunjukan pertautan itulah yang dalam HPI disebut titik-titik taut. Factor-faktor yang relefan itu akan memberikan akibat yang berbeda-beda di berbagai system hukum dan arena itu faktor/titik taut mana yang bersifat menentukan akan bergantung pada suatu sistem HPI suatu Negara.

Salah satu objek dari HPI adalah untuk meletakkan / menentukan aturan-aturan dalam rangka pemilihan hukum ( menurut Prof. Cohn ).

Aturan-aturan HPI itu adalah aturan-aturan yang akan menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur suatu perkara yang mengandung unsur asing.

Usaha pemulihan hukum ini hampir selalu bergantung pada titik taut yang akan menunjukan sistem hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta yang dihadapi, disamping kewarganegaraan pihak-pihak yang berperkara ( Lex resita ) beberapa titik-titik taut yang dianggap penting menurut Prof. Cohn adalah Lex Loci actus ( hukum dari tempat perbuatan dilakukan ) Lex Recitae ( hukum dari tempat benda terletak ) locus contractus / locus solusionis ( tempat pembuatan perjanjian/tempat pelaksanaan kontrak ).

Prof. R. H. Grafeson berpendapat bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara HPI perlu di perhatikan 3 hal yaitu :
1.    Titik-titik taut apa sajakah yang dipilih oleh system HPI tertentu yang dapat diterapkan pada sekumpulan fakta yang bersangkutan.
2.    Berdasarkan system hukum manakah diantara berbagai system hukum yang relevan dengan perkara titik-titik taut itu akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena factor-faktor yang sama mungkin secara teoritis diberi inter prestasi yang berbeda di dalam berbagai system hukum.
3.    Setelah kedua masalah tadi ditetapkan barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu dibatasi oleh system hukum yang akan diberlakukan

Dalam HPI dikenal 2 macam titik taut yaitu :
1.      Titik taut primer ( primary points of contact ).
2.      Titik taut scunder ( secoundary points of contact ).
Titik primer adalah
→ unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang menunjukan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa HPI dan bukan merupakan hukum intern.

Titik scunder adalah
→ unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus berlaku untuk mengatur peristiwa HPI yang bersangkutan.

Jenis-jenis titik taut yang dikenal dalam HPI :
1.    Kewarganegaraan pihak-pihak yang bersangkutan
2.    Domicile ( tempat tinggal / tempat asal orang / badan hukum )
3.    Tempat ( status suatu benda )
4.    Bendera kapal
5.    Tempat perbuatan hukum dilakukan
6.    Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum / tempat pelaksanaan perjanjian
7.    Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi
8.    Tempat perkara / gugatan diajukan

Titik-titik taut ini difungsikan dalam proses penyelesaian suatu perkara HPI adalah dengan bertahap. Tahap-tahap penyelesaian suatu perkara HPI adalah sebagai berikut :
1.      Harus ditentukan dahulu titik taut primer dalam perkara dalam rangka menentukan apakah peristiwa hukum yang dihadapi merupakan suatu peristiwa HPI. Disini orang akan mencari unsur-unsur asing dari sekempulan fakta yang dicari.

2.      Setelah ditemukan unsur asing maka diadakanlah kwalifikasi fakta yaitu kwalifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum berdasarkan kategori hukum dan kaidah-kaidah hukum dari system yang dianggap seharusnya berlaku. Yang dilakukan berdasarkan lex fori ( hukum sang hakim yang mengadili perkara ) dalam rangka penetapan kategori yuridis dari perkara yang sedang dihadapi.

3.      Ditentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang harus digunakan untuk menentukan lex causae. Pada tahap ini sebenarnya orang menentukan titik-titik taut scunder apa yang bersifat menentukan berdasarkan kaedah HPI lex fori.

4.      Setelah lex causae ditentukan maka dengan menggunakan titik taut yang dikenal dalam lex causae hakim berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum intern apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara.

5.      Apabila berdasarkan titik-titik taut dari lex causae hakim telah dapat menentukan kaidah hukum intern apa yang harus diberlakukan, maka barulah pokok perkara dapat diputuskan.

Penggunaaan proses penyelesaian perkara HPI seperti tersebut diatas dinamakan juga penggunaan titik-titik taut secara tradisional dan menurut ahlinya akan menimbulkan 2 masalah utama khususnya :
a.    Titik taut yang digunakan secara tradisional tidak selalu menunjukan kaedah pemilihan hukum yang tidak rasional.

b.    Titik taut yang dipilih sering kali di dasarkan pada anggapan adanya kesetaraan konsep hukum yang mungkin dalam kenyataanya tidak ada.



Didalam UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 menjelaskan yang menjadi WNI itu :
1.      orang yang berdasarkan pada UU dan atau perjanjian-perjanjian semenjak diproklamasikan menjadi Warga Negara.

2.      UU No. 62 Tahun 1958 menyinggung disini bahwa orang-orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya WNI sedangkan hubungan kekeluargaan diadakan sebelum orang itu berumur 18 Tahun dan sebelum ia kawin pada usia dibawah 18 tahun.

3.      Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, disaat ayahnya meninggal adalah warga Negara Indonesia sehingga anak juga WNI.

4.      Orang yang pada waktu lahir, ibunya WNI maka jika ayahnya tidak punya kewarganegaraan/selamanya tidak diketahui warga negaranya maka si anak dinyatakan WNI.


Ketertiban Umum ( Openboar orde )

-          Public Polise    ( bahasa Belanda )
-          Orde of public ( bahasa Inggris )

Kata ketertiban umum diawali oleh Sudargo Gautama kemudian di lanjutkan oleh Mas Mu’in dimana ia mengartikan ketertiban umum sama dengan tata tertib dalam suatu Negara / masyarakat.

Penyebutan ketertiban umum dalam HPI hampir selalu dilakukan untuk memberikan alas an-alasan bahwa dalam suatu peristiwa hukum dimana pada umumnya hukum perdata yang diberlakukan dari Negara sendiri.

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan