Fungsi utama MK adalah menjaga
agar konstitusi dilaksanakan secara konsekwen dan bertanggung jawab oleh segala
/ setiap penyelenggara kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Fungsi
tersebut, terfleksikan dalam kewenangannya sebagaimana dicantumkan dalam UUD
1945.
Kewenangan MK, berdasarkan pasal
24 c ayat 1, UUD 1945 dan pasal 10 ayat 1 dan 2 UU No. 24 Tahun 2003 tetang MK
dapat dikolaborasi :
1. Menguji UU terhadap UUD
2. Memutuskan
sengeketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
3.
Memutus
pembubaran parpol dan
4.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilu dan pilkada
5. Memutus
pemdapat DPR bahwa Presiden dan / wakil presiden telah melanggar satu/beberapa
ketentuan yang diatur dalam pasal 1a UUD 1945.
Rincian
ketentuan mengenai kewenagan MK diatur lebih lanjut dalam UU dalam rangka itu
pada tanggal 7 Agustus 2003 DPR bersama Presiden telah menyetujui RUU MK (
inisiatif DPR )
Pada
tanggal 13 Agustus 2003 RUU ini disyahkan menjadi UU No. 24 Tahun 2003 dan
diundangkan dalam lembaran Negara RI 2003 No. 98 UU. UUD 1945.
1.
Menguji
UU terhadap UUD
Terdapat
dalam pasal 25 c UUD 1945 menunjuk kepada pengertian pengujian secara materil
dan formil UUD 1945 yang menjadi batu uji mengatur tentang materi dan tata cara
dan prosedur pembentukan UU.
Kewenangan
ini merupakan tindak lanjut dari kritikan pasal 5 ayat 1 Tap MPR No. III/MPR/2000
tentang sumber hokum dan tata urutan perundang-undangan yang member kewenangan
untuk MPR untuk menguji UU terhadap UUD.
Dengan
demikian, kewenangan MPR setelah amandemen ke-3 UUD 1945 ( pasal 24 c ayat 1
beralih pada Mahkamah Konstitusi
UU
yang dimaksud pasal 24 c ayat 1 adlah merupakan suatu peraturan perUU yang
tertinggi di Indonesia yang dibentuk oleh Presiden bersama DPR ( pasal 5 ayat 1
dan pasal 20 ayat 2 dan 4 UUD 1945)
UU
tersebut merupakan sebagai aspek kewenangan Mahkamah Konstitusi ( Formal dan
Materil)
Sebagai
pemohon adalah pihak yang menganggap hal/kwenangan Konstitusionalnya dirugikan
oleh UU tersebut yaitu :
a.
Perorangan
WNI
b.
Kesatuan
masyarakat hokum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara RI yang diatur UU
c.
Badan
Hukum Publik/Privat
d.
Lembaga
Negara
Sedangakn
UU yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 50 UU No 34/2003 UU
yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945
Dengan
tidak deberikannya hak menguji UU dn peraturan dibawah UU ke Mahkamah
Konstitusi tidak akan membantu mengurangi beban Mahkamah Agung. Sehingga
reformasi kinerja Mahkamah Agung tidak segera diwujudkan
Jimly
Asidikin bahwa
‘
jika wewenang pengujian peraturan dibawah UU sepenuhnya diberikan pada Mahkamah
Konstitusi tentu beban Mahkamah Agung, dapat dikurangi termasuk upaya
menyelesaikan banyak perkara yang waktu ke waktu terus bertambah tanpa
mekanisme penyelesaian yang jelas.
UU
No 34 2003 tidakmenentukan apakah putusan Yudisial Review bersifat ERGA ORNES//
Interpories 9berlaku hanya bagi para pihak ERGA ORNES/berlaku umum)
Berhubung
karena perkara pengujian UU adalah perkara hokum yang berlaku umum sehingga
akan menyebabkan putusan Mahkamah Agung bersifat ERGA Ornes ( berlaku bagi
siapa saja)
UU
no 34 2003 tidak menyebutkan apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
mempunyai daya laku Rectro Active
Daya
laku putusan berkaitan dengan dasar pengujian dari segi waktu dibedakan antara
pengujian ex Tune dan Pengujian Ex Nuno
Ex-Nuno
Digunakan
untuk pengujian ketepatan….(doel Matif Heid)
Ex.
Tune
Untuk
pengujian keabsahan ( Rech Mtg Heid)
Pengujian
Ex Tune merupakan cirri khas badan peradilan. Terbats fakta/keadaan hokum pada
saat UU tersebut diundangkan maka, krena Mahkamah Konstitusi adalah badan peradilan
maka pengujiannya adalah Ex Tune
Sehingga
putusannya mempunyai dayalaku REkstroactive ( suatu ketentuan UU yang
dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan UUD akan berakibat tidk
sah/nunlidi) terhitung dari saat diundangkan. Putusan tersebut bersifat deklarator
bukan konstitutif yang berisi pembatalan.
2.
Memutus
sengketa lembaga Negara
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa kelembagaan Negara mengalami perubahan pasca
diamandemennya UUD 1945 myang mengintrodusir lahirnya lembaga DPA ditiadakan.
Dalam
konteks perengketaan antara lembaga Negara Mahkamah Agung tidak dapat menjadi
pihak karena tidak mungkin timbul sengketa kewenangan antara MK dengan lembaga
lian. Demikian pula dengan MK meski berkedudukan sebagai lembaga Negara tidak
fair jika MK memutus sengketa yang menyangkut dirinya sendiri
Sengketa
kewenangan timbul karena adanya perbesaan diantara para pihak (lembaga Negara)
dalam penafsiran materi UUD yang mengatur kewengan para pihak dalam menjalankan
fungsinya
Ungkapan
dalam menjalankan fungsinya merupakan pangkal sengketa kewenangan, artinya
harus ada tindakan/ perbuatan yang didasarkan pada selisih kewenangan
Dalam
memutus, MK akan membri putusan yangmenafsiran artiyang terkandung dalam UUD
yang didasarkan yang kewenangan diberikan UUD, dalam perumusan pasal 24 c (1)
diamandemen ke 111 UUD 1945
Ungkapan
tersebut, secara a contratio, mengandung makna kalau timbul sengketa yang
menyangkut kewenangan yang diberi UU tidak ditangani oleh MK, persoalan yang
muncul, bagaimana jika UU yang menyebabkan sengketa oleh MA dianggap
bertentangan dengan UUD.
Apabila
terjadi sengketa lembaga Negara maka yang menjadi pemohon adalah lembaga Negara
yang kewenagannya dan punya kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
disengketakan.
Sebagai
contoh :
a.
Antara
Presiden dengan MPR dalam hal apabila presiden mengagap :
-
MPR
tidak melaksanakan ketentuan pasal 3 ayat 2 UUD 1945
-
MPR
mempergunakan kewenangan dalam pasal 3 (3) tidak melalui alas an-alasan
sebagaimana dalam pasal 7a UUD 1945 atau tidak melalui prosedur dalam pasal 7b
(1), (2), (3), (5), (6), dan (7)
b.
Presiden
Vs DPR, Presiden beranggapan :
-
DPR
dalam melaksanakan kewenangan membentuk UU ( pasal 20 ayat 1 dan 2 ) tidak
bekerjasama dengan Presiden.
-
DPR
dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan ( pasal 20 a ayat 1 ) tidak
menghormati hak presiden sebagai kepala Negara.
-
DPR
dalam hak interpelasi, angket dan hak menyatakan pendapat serta hak imunitas (
pasal 20 a ayat 2 dan 3 ) tidak sesuai dengan ketentuannya.
c.
Presiden
Vs BPK, Presden menganggap :
-
BPK
dalam kewenangan keuangan Negara ( pasal 23 e ayat 1 ) BPK bertindak tidak
sesuai dengan perundang-undangan / melakukan hal-hal yang menurut presiden
telkah melampaui kewenangan.
d.
DPR
Vs Presiden, DPR menganggap :
-
Presiden
dalam haknya ( pasal 11 ayat 1,2 ) tidak melalui persetujuan DPR
-
Presiden
dan / Wapres melakukan pelanggaran hokum / tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden / Wapres.
e.
DPR
Vs BPK, DPR berpendapat :
-
BPK
melakukan perbuatan yang diluar kewenagannya (pasal 23 e ayat 1,2,3)
f.
DPR
Vs DPD, DPR menganggap :
-
DPD
melakukan perbuatan diluar kewenangannya ( pasal 22 d ayat 1,2,3 )
3.
Membubarkan
Parpol
Dalam
UU No. 24/2003 ditentukan suatu Parpol dapat dibubarkan bila ideology asas
tujuan dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945.
Secara
khusus, dalam UU No. 31/2002 ditentukan parpol dibubarkan bila menganut,
mengembangkan dan mengajarkan ajaran komunis.
Pembubaran
parpol tidak atas inisiatif sendiri ( ex officio ) MK melainkan atas permohonan
pemerintah, jika parpol terbukti menganut, mengembangkan dan mengajarkan
komunisme maka parpol tersebut diputus pembubarannya oleh MK yang mana
putusannya bersifat konstitutif yaitu suatu parpol bubar ketika diputus
pembubarannya.
4.
Memutus
hasil pemilu
Pemilu
menurut UU meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wakil Presiden,
Gubernur dan lain-lain.
Bahwa
hasil pemilu yang diselisihkan / dimohonkan ke MK adalah hasil yang ditetapkan
secara nasional oleh KPU bukan parsial/kewilayahan sedangkan bagi kepala
daerah, gubernur yang disengketakan adalah hasil pemilu yang ditetapkan KPU
Daerah.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan