1.
Pengertian
Yaitu
hak yang dimiliki oleh seorang hakim ( Mahkamah Konstitusi ) untuk menguji
suatu Undang-undang.
2.
Pembagian Pengertian
a.
Formil
Adalah
hak / wewenang untuk menilai suatu produk legislative seperti undang-undang
melalui cara-cara / prosedur sebagaimana yang telah ditentukan / diatur oleh
undang-undang apakah sudah sesuai dengan prosedur.
Tata
cara :
-
Persiapan
oleh Presiden
-
Adanya
Rencana Undang-undang
-
Disampaikan
ke DPR oleh Presiden dibahas oleh DPR
-
Dikembalikan
ke Presiden untuk disyahkan kalau disetujui oleh DPR
-
Di
undangkan untuk dimasukkan ke Lembaran Negara
b.
Materil
Adalah
wewenang dari hakim untuk menilai apakah suatu Undang-undang / peraturan itu
isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang / peraturan yang lebih tinggi
tingkatnya
Tingkatan Perundang-undangan
menurut UU No. 10/2004
-
UUD
1945
-
UU/Perpu
-
Perpres
-
Perda
1.
Pengertian Formil menurut ahli
a. Sri
Soemantino
Adalah
Hak/Wewenang untuk menilai apakah suatu produk dari lembaga legislative telah
melalui cara-cara/prosedur sebagaimana yang telah diatur dalam
Perundang-undangan.
Contoh
tata cara pembentukan UU di Indonesia berdasarkan UUD 1945 :
-
Pasal
5 (1)
-
Pasal
20 (1) dan (2)
-
Pasal
21 (1) dan (2)
-
Pasal
5 (1) perubahan pertama UUD 1945
-
Pasal
20 (1,2,3,4) perubahan pertama UUD 1945
-
Pasal
21 perubahan pertama UUD 1945
-
Pasal
20 (5) perubahan kedua UUD 1945
-
Pasal
20a (1,2,3,4) perubahan kedua UUD 1945
2.
Hak Menguji Materil Menurut Ahli
a. PH.
Kleimjtes
Adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu
perundang-undangan isinya sesuai / bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu.
b. Miriam
Budiarjo
Adalah
apakah peraturan hokum yang lebih rendah dari UU sesuai / tidak dengan UU yang
bersangkutan.
Example :
-
Pasal
60 huruf g UU No. 12/2003 mengenai hak pilih dari anggota exs PKI/Partai
terlarang lainnya (permohonan pemohon dikabulkan oleh MK dan pasal 60 tersebut
telah di anulir ).
Isi
pasal 60 tersebut
“
bahwa mereka yang tidak diberi hak politiknya adalah bekas anggota organisasi
terlarang PKI termasuk organisasi masanya / orang yang terlibat langsung /
tidak langsung dalam G 30 S PKI / organisasi terlarang lainnya ”.
Akibat putusan MK, exs PKI
memiliki hak politiknya kembali setelah ± 38 Tahun sehingga mereka bias
mencalonkan diri dan dipilih sebagai anggota legislative.
-
Pasal
31 UUD No. 18/2003 tentang advokat
(
permohonan pemohon dikabulkan MK dan pasal ini dianulir )
Isi
pasal 31 tersebut
“
setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi advokat dan bertindak
seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana yang diatur dalam
UU ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan didenda paling
banyak Rp. 50 juta “.
Akibat putusan MK, setiap orang
yang berlatar belakang ilmu hokum dan organisasi kemasyarakatan ( LSM ) yang
memberikan penyuluhan-penyuluhan hokum tidak lagi dibatasi haknya.
MK
→ menguji Undang-undang terhadap UUD
MA
→ menguji peraturan dibawah Undang-Undang
3.
Hak Menguji Materil di berbagai
Negara
a. Konstitusi
Prancis
Bahwa
badan/lembaga yang melaksanakan uji materil di Prancis adalah Dewan Konstitusi
( The Constitutional Consil ) yang pengaturannya terdapat dalam ketentuan pasal
56-63 konstitusi republic ke-5/konstitusi De Gaule
Pembentukan dewan konstitusi
adalah karena :
-
Historis
Adalah
ketidak percayaan rakyat prancis terhadap badan peradilan karena pengalaman
masa lalu yang dianggap sebagai antek-antek/alat penguasa yang absolute
-
Prancis
adalah Negara yang menolak member kewenangan kepada badan peradilan untuk
menguji UU karena dianggap bahwa pengujian UU bukan masalah hokum tapi masalah
politis, karena itu memberikan wewenang tersebut kebadan peradilan berarti
memberikan wewenang untuk mencampuri legislative.
-
Bahwa
UUD Prancis 1958 mengandung perbedaan prinsipil dengan UUD 1946 ( UU sebelumnya
).
Perbedaan
terlihat dari tidak dianutnya supremasi parlemen oleh UUD 1958 tampak dari
adanya parlemen dengan eksekutif ( pasal 34,37)
Pasal
34 mengatur secara enumerative bidang-bidang yang akan diatur dengan UU oleh
parlemen
Pasal
37 mengatur secara residu kekuasaan perundang-undangan yang diberikan kepada
eksekutif.
Dalam
hubungan ini, coppelleti menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kekuasaan
legislative antara parlemen dengan eksekutif maka diperlukan suatu badan yang
menangani dan memutus apabila terjadi sengketa wewenang antar keduanya.
Berdasarkan
alas an diatas, maka dibentuk Dewan Konstitusi.
b. Konstitusi
Germany
Di Jerman, satu-satu badan
peradilan yang berwenang menguji perundang-undangan dan tindakan pemerintah
terhadap Basic Law adalah Mahkamah Konstitusi yang untuk pertama kali dibentuk
Tahun 1951. Dalam UU pembentukannya dikatakan bahwa MK adalah Pengadilan
Federal Otonom yang merdeka dari segala alat sebelumnya yaitu UUD 1946.
Perbedaan Principil antara lain
terlihat dari tidak dianutnya supremasi.
Dipihak lain, UU menyatakan Hakim
MK secara administrasi ada dibawah pengawasanmenteri kehakiman Federal. Para
Hakim merasa keberatan atas pengawasan tersebut, mereka menuntut antara lain
dengan mengirim memorandum kepada Presiden Bundestog, Bundesrog dan Perdana
Menteri yang berbunyi :
“ kekebalan dari pengawasan
kementrian dan berpendapat bahwa kekuasaan untuk mengawasi hakim konstitusi
yang diberikan pada menteri kehakiman bertentangan dengan Basic law “.
Momerandum itu juga menyatakan
bahwa MK adalah organ konstitusi tertinggi yang sederajat dengan kedudukan
bundestog, bundesrog, konselir federal dan presiden federal. Karena itu hakim
MK bukan pegawai biasa.
Sama halnya dengan konselir
presiden dan anggota parlemen, para hakim punya tugas suci untuk tujuannya
bahkan sebenarnya mereka punya tugas yang lebih besar yaitu menjamin agar organ-organ
konstitusi lain mematuhi batas-batas yang ditentukan basic law.
Pada saat yang sama, MK juga
merupakan badan peradilan yang punya fungsi menerapkan hokum.
Berdasarkan hal-hal diatas,
momerandum berisi tuntutan agar MK memilik otonomi dalam budget, punya
kekuasaan penuh atas administrasi intern, mengangkat, memberhentikan, mengawasi
panitra dan pegawai lain dan mengecualikan hakim MK dari peraturan disiplin
yang berlaku bagi hakim-hakim lain.
Akhirnya, pada tahun 1960, hamper
semua tuntutan terpenuhi.
c. Konstitusi
Amerika
Di Amerika, badan yang berwenang
melakukan hak menguji materil adalah badan peradilan umum dengan MA sebagai
puncak. Amerika sama sekali tidak menentukan bahwa badan peradilan dapat
menguji UU yang dihasilkan kongres.
Menurut Robert Earr Cs, terdapat
banyak kontroversi mengenai asal tinjauan pengadilan di Amerika, sangat jelas
banyak kata-kata yang memisahkan pengadilan untuk mendeklerasikan tindakan
inskonstitusional kongres.
Apa yang dikemukakan tersebut,
tampak kebenarannya apabila disimak ketentuan artikel VI section 2.
Konstitusi Amerika
menyatakan bahwa
:
“ konstitusi ini dan semua UU di
Amerika harus dibuat untuk maksud dan tujuan yang telah ditentukan dan semua
perjanjian yang dibuat / akan dibuat dibawah wewenang Amerika akan menjadi
hokum tertinggi, dan para hakim di tiap-tiap Negara bagian akan terikat dalam
batas-batas peraturan perundang-undangan Negara bagian yang bersangkutan
meskipun bertentangan”.
Menjadi pertanyaan, apa yang
menjadi dasar/landasan penegasan bahwa badan peradilan berwenang melakukan hak
menguji materil di Amerika?
Bermula
dari tulisan Alexander Harmilton dalam surat kabar Federalis edisi 78 yang
secara khusus menyoroti hak menguji materil yang menyatakan :
“Interprestasi hokum merupakan wewenang yang
sesungguhnya dan khusus dari pengadilan suatu UUD adalah pada kenyataannya
harus dihormati oleh hakim sebagai suatu hokum yang Fundamental oleh karena
itu, bagi mereka UUD termasuk suatu arti yang khusus seperti arti suatu kinerja
khusus dari Badan Legislatif. Jika harus terjadi suatu perselisihan yang tidak
bias didamaikan diantara 2 pihak yang memiliki kewajiban terbesar dan kebenaran
yang semestinya tentu saja dilimpahkan pada UU dan tujuan masyarakat terhadap
wakil-wakil mereka”
Tulisan
Hamilton ini, telah memberikan inspirasi kepada MA Amerika untuk menempatkan
dirinya dalam kedudukan sebagai badan yang melaksanakan yudisial review
sehingga pada tahun 1803 dalam kasus William Mercury Vs Madison untuk pertama
kalinya MA menyatakan bahwa UU Federal sebagai Unconstitutional.
Statemet
ini tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan peranan dan keberanian Jhon
Marshall ( Ketua MA ) dalam memutuskan kasus Mercury Vs Madison dengan
menyatakan :
“ini merupakan salah satu tujuan pembuatan
UUD untuk menetapkan dan membatasi kekuasaan badan pembuat UU. Badan pembuat UU
tidak dapat diijinkan untuk mensyahkan anggaran dasar dan sebaliknya juga bagi
hokum tertinggi”
Suatu
pengadilan menghindari untuk memilih antara UUD dan suatu UU yang bertentangan
jika keduanya relevan terhadap kasus yang diajukan untuk pengadilan untuk
diputuskan.
Semenjak
UUD hokum tertinggi hakim tidak mempunyai pilihan selain menerima atau menolak
dan member kesan pada putusan akhir. Dalam kaitan ini C.F. Strong mengatakan
bahwa :
“Di Amerika, UUD merupakan yang tertinggi
bukan badan pembuat UU dan kenyataan ini memberikan pengadilan sebuah kekuasaan
yang menjadikannya alat pemerintahan yang berkoordinasi dengan badan pembuat UU
dan exekutif. Hakim federal yang
sesungguhnya merupakan hakim Negara memiliki kekuasaan selama tugas utama
mereka melindungi UUD dan mengatasi badan pembuat UU uang tidak konsisten
dengan UUD”.
Dengan
adanya putusan antara Mercury dan Medison telah menetapkan Doctrin Yudisial
Review ke dalam system hokum formal Amerika, sehingga sejak saat itu telah
banyak UU Federal dan UU Negara bagian dinyatakan bertentangan dengan
konstitusi oleh MA.
Kekuasaan
apa yang dimiliki oleh MA?
Dalam
hal ini, terdapat 2 pandangan yang punya pembenaran terhadap persoalan diatas
yaitu :
1.
Pandangan
yang beranggapan bahwa yudisial review merupakan kekuasaan otomatis MA.
Menurut
pandangan ini, konstitusi adalah hokum tertinggi ( supreme law ) dalam Negara
yang ditetapkan oleh rakyat karena konstitusi sebagai hokum tertinggi maka
segala per UU harus sesuai dengan konstitusi jika tidak atau bertentangan
adalah kewajiban MA untuk menyatakan sebagai unconstitutional.
2.
Pandangan
yang menganggap bahwa yudisial review merupakan kekuasaan yang merdeka atau
bebas dari MA.
Pandangan
ini menganggap bahwa apa yang dikemukakan, ditujukan atau yang diatur dalam
konstitusi adalah buatan manusia dan sesuai dengan fitrah manusia yang tidak
luput dari keterbatasan maka apa yang telah ditentukan dalam konstitusi itu
pada suatu saat akan menjadi tidak jelas maknanya, karena itu menjadi kewajiban
serta hak MA untuk memperjelas dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang dinilai
tidak jelas.
Meskipun terdapat adanya
Disagreement tentang masalah hak menguji atau yudial review yang berkaitan
dengan macam kekuasaan yang dilakukan MA namun banyak yang percaya bahwa
yudisial review merupakan kekuasaan otomatis MA.
d. Konstitusi
Inggris
Inggris Negara yang rakyatnya
berpegang kuat pada tradisi bahkan bagian yang paling besar dari hukumnya
terdiri dari Common Law. Beberapa ahli berpendapat bahwa pada awalnya hokum di
Inggris dipandang dan diakui sebagai hokum dasar yang tertinggi yang membatasi
kekuasaan raja atau ratu.
Sebagian menurut teori, common
law tidak hanya membatasi kekuasaan raja atau ratu melainkan kekuasaan
parlemen. Pembatasan kekuasaan putusan hakim Sir Edward Coke dalam kasus Dr. B
Onham yang melahirkan doktrin coke, seperti nyata dari sejarah bahwa Inggris
Tahun 1610 Hakim Agung Edward Coke dalam kasus Dr. B Onham menyatakan dalam
doktrin putusan bahwa :
“common law akan mengontrol tindakan parlemen dan suatu waktu akan
mengadili kekosongan sama sekali yang pernah ada”
Putusan ini yang melahirkan
doktrin coke. Bahkan doktrin ini sering digunakan sebagai salah satu sumber
pendukung pelaksanaan yudisial review di Amerika. Namun, di Inggris tidak
berkembang sehingga Inggris tidak mengenal Yudisial Review.
Dalam perkembangan, doktrin coke
ini dikesampingkan di Inggris dengan munculnya doktrin Supremasi parlemen yang
menegaskan bahwa parlemen bedaulat yaitu hak untuk membuat atau tidak membuat
hokum apapun dan selanjutnya bahwa tidak seorang pun yang diakui oleh hokum
Inggris sebagai pemilik hak untuk menolak atau mengkesampingkan per UU dari
parlemen.
Sejak parlemen menyatakan
supremasi parlemen dan menjadi alas an tidak berkembangnya yudisial review di
Inggris dan yang kedua tidak adanya atau dimilikinya konstitusi tertulis dalam
arti yang tertuang dalam suatu dokumen. Karena di Inggris kaedah atau hokum
konstitusinya atau prinsip konstitusinya dijumpai dalam UU (statuta), konvensi
ketatanegaraan, demikian juga dapat dilakukan dalam putusan pengadilan atau
hokum kebiasaan.
Sebuah UU atau staat yang memuat
prinsip konstitusi tidak lebih tinggi disbanding UU lain, sebuah UU dibuat oleh
parlemen dengan prosedur yang sama.
Di Inggris tidak ada badan khusus
dengan prosedur khusus untuk membuat dan mengubah UU yang berisi materi muatan,
prinsip-prinsip konstitusi, semua UU, dibuat oleh organ yang sama yaitu
parlemen dengan prosedur dengan pembentukan dan perubahan yang sama itulah
sebabnya semenjak UU yang membuat prinsip-prinsip konstitusi, derajatnya tidak
lebih tinggi dari UU lain sehingga UU tersebut tidak dapat digunakan untuk
menguji UU lain
e. Konstitusi
Jepang
Tahun
1947, Mac Arthur konstitusi terdapat 3 pasal yang berhubungan dengan yudisial
review yaitu :
1.
Pasal
41 “yang menentukan bahwa The Diet ( parlemen Jepang ) adalah organ-organ atau
lemabaga tertinggi Negara yang memiliki kekuasaan untuk membentuk UU”.
2.
Pasal
81 “Mahkamah Agung adalah Peradilan tertinggi yang mempunyai kekuasaan untuk
menentukan konstitisional tidanknya sejumlah UU, perintah, peraturan atau
tindakan pejabat”.
3.
Pasal
89 “Konstitusi ini menjadi hokum tertinggi dari seluruh bangsa atau peraturan
atau UU perintah kaisar atau tindakan pemerintah atau yang menjadi bagiannya
yang boleh bertentangan dengan konstitusi yang menjadikannya kekuatan berlaku /
memberikannya keabsahan.
Terhadap ketentuan yang
bertentangan tersebut, akhirnya Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa Yudisial
Review hanya dapat dilaksanakan dalam adanya kasus / sengketa.
f.
Konstitusi Thailand
Di
Kerajaan Thailand, hak menguji materil dipegang konstitusi di mana kedudukannya
diatur dalam konstitusi 1997, khususnya yang mengatur kedudukan peradilan,
kedudukan MA yang diatur dalam pasal 265-270, dimana Mahkamah Konstitusi adalah
merupakan salah satu dari 4 pilar mahkamah disamping adanya MA, Madminutrasi
dan Mahkamah Militer.
Dalam
menjalankan tugasnya, MK tetap berpatokan pada prinsip umum dalam peradilan
berdasarkan hokum dan dilakukan atas nama Raja. Di Thailand, MK beranggotakan 1
Ketua dan 14 Hakim Anggota, yang diangkat atas persetujuan Raja dan
pertimbangan senat.
Dalam
hal pengujian UU, Perdana Menteri sebelum menyampaikan UU atau peraturan
perundang-undangan organi yang telah disetujui oleh Majelis Nasional kepada
Raja harus memperhatikan kemungkinan terjadinya mosi dari anggota parlemen atau
senat yang menyatakan adanya inkonstitusi / penyimpangan konstitusi.
Mosi
dapat diajukan oleh ± 25 orang gabungan anggota parlemen / senat yang
disampaikan pada ketua parlemen untuk diuji dalam peradilan konstitusi.
Perdana
Menteri atas dasar mosi tersebut menunda terlebih dahulu pelaksanaan UU atau
perundang-undangan organi sampai MK menyampaikan putusannya. Jika MK menyatakan
UU / Perundang-undangan organi tersebut inkonstitusi atau penyimpangan
konstitusi maka MK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
dokumen dan para saksi yang berasal dari berbagai golongan baik pejabat
pemerintah maupun organisasi masyarakat.
Dalam
perselisihan antara lembaga Negara yang ditetapkan konstitusi lembaga tersebut
/ majelis nasional dapat menyampaikan permohonan pendapat dan pandangan
peradilan konstitusi oleh para hakim yang diambil berdasarkan pengambilan suara
terbanyak.
Putusan
MK tersebut, akan dipublikasikan dalam lembaga Negara yang bersifat final dan
mengikat majelis nasional, cabinet dan peradilan.
g. System
Pengujian Perudang-undangan di Indonesia
Dalam ketentuan UUD 45 tidak
ditemukan lembaga yang berwenang menguji perundang-undangan, hal ini sebagai
akibat ditentukannya pendapat Supomo dalam siding BPUPKI yang menyatakan bahwa
UUD kita tidak menerangkan asas pemisahan kekuasaan, oleh karena itu,
pengadilan tidak bisa mengontrol terhadap legislative.
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa
pengujian peraturan dianggap sebagai control terhadap produk legislative
sementara itu, control yang dilakukan yudisial terhadap legislative tidak
berlaku di Indonesia karena Indonesia tidak menganut asas pemisahan kekuasaan.
Dengan demikian, pengujian
perundang-undangan dilakukan oleh diluar lembaga yudisial sekalipun MA diberi
hak untuk melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UU namun kegiatan
tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu control terhadap legislatif.
Prof. M. Yamin, SH
Ada beberapa peraturan tentang pengujian
UU yang memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian
terhadap perundang-undangan dibawah UU yaitu :
-
UU
No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
-
UU
No. 14 tahun 1985 tentang MA
-
Perma
No. 1 tahun 1993 tentang hak uji materil hokum dan tata urutan
perundang-undangan ( pasal 5 ).
Maka
kemudian diadakan amandemen terhadap UUD 45 yang pada hasil amandemen ke-3
tanggal 18 Agustus 2001 pada pasal 24 ayat 2 secara resmi hak pengujian materil
di Indonesia dilakukan oleh 2 Lembaga Yudikatif :
a.
Mahkamah
Agung
Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi menguji Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU
dan mempunyai wewenang yang diberikan oleh UU.
b.
Mahkamah
Konstitusi
Berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negar
yang kewenangannya diberi oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik,
perselisihan tentang hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai pelanggaran oleh Presiden / Wakil Presiden menurut UUD.
A. Mahkamah
Agung
Merupakan puncak perjuangan
keadilan bagi warga Negara, hakekat fungsinya berbeda dari MK yang tidak
berhubungan dengan tuntunan keadilan bagi warga Negara melainkan dengan system
hokum berdasarkan konstitusi.
Dalam lingkungan MA terdapat 4
lingkungan peradilan, karena latar belakang sejarah, maka administrasi
lingkungan peradilan umum berada dibawah Departemen Kehakiman, PA berada
dibawah Departemen Agama dan Peradilan Militer dibawah Pengendalian Organisasi
Tentara, namun sejalan dengan reformasi ke-4 lingkungan peradilan itu sejak
lama diimpikan agar dikembangkan dibawah satu atap karena dalam rangka
perwujudan kekuasaan kehakiman yang menjamin tegaknya Negara hokum yang
didukung oleh system kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial.
Pembinaan kekuasaan dalam satu
atap dianggap penting sehingga pembinaan administrasi badan peradilan yang
selama ini ditangani secara terpisah dapat diorganisasikan seluruhnya dibawah
MA.
MA dapat dilihat sebagai puncak
pencerminan system pendaulatan hokum sebagai badan peradilan Negara, MA
memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan :
-
Permohonan
kasasi
-
Permohonan
PK terhadap putusan ikhrah
-
Sengketa
kewenangan ( kompetensi pengadilan )
-
Membatalkan
putusan/penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena :
1.
Tidak
berwenang / melampaui batas kewenangan
2.
Salah
menerapkan / melanggar hokum yang berlaku
3.
Lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
MA
menguji Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU.
B. Mahkamah
Konstitusi
1.
Posisi
dan kedudukan MK di Indonesia
Dalam
system ketatanegaraan Indonesia menunjukan 2 hal :
a.
Kedudukan
MK sebagai badan peradilan yang melakukan kekuasaan yudikatif sebagaimana
diatur dalam bab IX UUD 45 yang bertitel kekuasaan kehakiman dibawah pasal 24
ayat 2, MK adalah pelaku / pelaksana kekuasaan peradilan bersama MA dan
badan-badan peradilan yang berada dibawahnya guna menegakkan hokum dan
keadilan.
MK merupakan badan peradilan
tersendiri special yang mempunyai yuridiksi tepisah dari MA dan badan-badan
peradilan dibawahnya. MK tidak merupakan suatu jenjang yang lebih tinggi dari
MA dan badan lain tersebut.
Model kelembagaan tersebut dapat
dicapai setelah melalui perdebatan di forum siding panitia ad hoc 1 badan
pekerja MPR semula digagaskan MK dalam lingkungan MA namun tidak sempat dibahas
dalam siding tahunan MPR tahun 200.
Gagasan tersebut baru dibahas
pada siding MPR tahun 2001 yang mana dalam siding ad hoc dipaparkan / dengan
mengadopsikan usul tim ahli dipanitia ad hoc untuk selanjutnya ditetapkan dalam
rumusan perubahan ke III UUD 45 tanggal 10 November 2001.
Argument yang mendasari
dibentuknya MK terpisah dari MA dapat disimak dari pembicaraan Sucipto dalam
siding Pleno 35 ad hoc tanggal 25 September 2001 sebagai berikut :
Kaitan Hak Uji UU
dengan Konsep Negara Hukum
-
Arti
sempit
→
adalah Negara berdasarkan asas legalitas yaitu berdasarkan atas UU /
Konstitusional.
-
Arti
Luas
→
adalah Negara menjalankan pemerintahannya tidak harus selalu atas dasar
konstitusi tetapi harus ada pertanggungjawaban.
Maka Hak Uji UU terhadap UUD (
count of judicial )
MA menguji peraturan dibawah UU
terhadap UUD ( count of law )
Sebaiknya judicial review
diserahkan saja kepada MK karena tugas MA itu sudah demikian beratnya.
Oleh karena itu, jadikanlah MK
lembaga sendiri yang berlaku di Negara ini, kalau memang ada Mk itu, tentu lembaga
Negara sendiri tidak built up atau bagian dari Mahkamah Agung.
Sejalan dengan pendapat tersebut,
Harjono dalam siding Pleno Ke- 36 tanggal 26 September 2001 mengemukakan :
“posisi MK meskipun dalam rangka kekuasaan yudicial tetapi tidak dalam
hubungan fungsional dengan MA”
Demikian pula Suarno didalam
siding pleno yang sama menyatakan :
“Hak uji materil yang menyangkut UU kita serahkan saja pada Mahkamah
Konstitusi”
Berdasarkan kualifikasi itu,
hakim-hakim yang harus berperan sebagai hakim MK dengan semua tugas yang ia
tangani akan tidak cukup kalau tugas itu ditempelkan/diserahkan kewenangannya
pada hakim Mahkamah Agung. Dan itu pla sebabnya yang mendasari mengapa kami
mengusulkan.
Meskipun ia berada pada
lingkungan yudikatif tetapi MK merupakan lembaga tersendiri.
Terhadap argument diatas, dapat
dikemukakan beberapa hal :
1.
Gagasan
membentuk MK diluar lingkungan MA tetap dilakukan jika tidak argument yang
mendasarnya ditolak.
2.
Para
hakim MA yang pengangkatannya berdasarkan system karier tidak dibina untuk
menjadi law maker, tidak siap dengan
tugas yang bersifat quasi.
3.
Kedudukan
MK dengan kaitan dengan lembaga-lembaga Negara lain, ada yang berpendapat MK
berkedudukan lebih tinggi dari lembaga-lembaga lain.
Pendapat ini memahamkan MK
sebagai lembaga suplemen body. Persolan justru masuk ketika diadakan pembedaan
antara lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara.
Pasca perubahan UUD 1945 lembaga
Negara mengalami perubahan dengan diadakannya lembaga DPD, MK dan KY.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan