BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
Knapa penulis harus
memilih judul makalah tentang Hukum Pidana Ekonomi ? Tidaklah mudah menjawab
pertanyaan ini. Sebagai suatu tugas masing-masing Mahasiswa juga sebagai
seorang Mahasiswa Fakultas Hukum yang harus mengerti dan faham tentang
permasalahan-permasalahan hukum yang sering terjadi terutama juga Mahasiswa
dituntut untuk dapat menganalisa serta menelaah hukum tersebut.
Makalah ini membahas
tentang “Hukum Pidana Ekonomi” yang akan dibahas secara garis besar.
Yang mencakup tentang sanksi-sanksi dalam Hukum Pidana Ekonomi, Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Hukum Pidana Ekonomi serta Delik-delik Ekonomi
tertentu.
Penulis juga
menjelaskan tentang pengertian Hukum Pidana Ekonomi secara ringkas. Dengan
sederhana dapat dikatakan Hukum Pidana Ekonomi adalah bagian dari pada hukum.
Suatu hukum yang mempunyai corak tersendiri.
Maka jelas bahwa Hukum
Pidana Ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang merupakan corak-corak
ekonomi atau ilmu ekonomi secara sederhana, dapat dilukiskan sebagai ilmu yang
mempelajari manusia tentang usahanya, tindakan-tindakannya, untuk mencapai
kemakmuran.
Manusia perlu berpikir,
timbang menimbang keperluan-keperluan mana yang dipuaskan terlebih dahulu
dengan alat pemuas yang terbatas jumlahnya itu. Dan juga menjadi tabiat
manuasia pada umumnya akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, alat yang ada
padanya. Sebab tak lain karena manusia mengahadapi kekurangan kemakmuran.
Seperti dikatakan oleh Walter Eucken masalah ekonomi yang sentral adalah
kekurangan ( Knappheit ) ¹.
Politik ekonomi
dirumuskan oleh Herbert Giersch ² sebagai berikut : “ Politik ekonomi ( kebijaksanaan
ekonomi ) adalah semua usaha-usaha,
perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan maksud mempengaruhi atau langsung
menetapkan jalan-jalan kejadian-kejadian ekonomi dalam suatu daerah atau
wilayah”.
Jadi di samping
pengetahuan yang cukup dari para petugas di lapangan ekonomi dan Hukum Pidana
Ekonomi tentang ilmu ekonomi, politik ekonomi dan politik perekonomian itu
diperlukan juga suatu kebijaksanaan tertentu sehingga hukum pidana ekonomi
sebagai alat pembantu dan obat terakhir, benar-benar diterapkan secara jitu,
sehingga benar-benar tiba pada sasarannya yang dituju, dan bukan hal-hal sebaliknya
yang negatif.
Bagi kita di Indonesia
dari sejarah dapat dilihat bahwa muncul peraturan-peraturan di lapangan Hukum
Pidana Ekonomi itu adalah sejajar dengan Negara-negara liberal, yaitu pada masa
perang dan krisis. Juga tidak bisa lepaskan pikiran bahwa Indonesia adalah jajahan
Belanda pada masa itu. Santoso Poedjosoebroto mengatakan lebih maju lagi, bahwa
UUTPE adalah seduran dari “ Wet op de
economische delicten “ itu. Beliau menganjurkan agar diciptakan
perundang-undangan yang sesuai dengan kepribadian nasional ³.
Penulis di sini memilih
bahan tentang hukum pidana ekonomi
karna penulis ingin mencari dan mengetahui serta ingin menganalisa tentang
permasalahan-permasalahan dalam Tindak Pidana Ekonomi itu sendiri dan juga
ingin mendapatkan wawasan yang luas dan ilmu pengetahuan tentang hukum itu
sendiri khususnya di bidang Hukum Pidana Ekonomi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TINDAK PIDANA EKONOMI
Sejak
berlakunya UU No. 7 Drt Tahun 1955 pada tanggal 13 Mei 1955, oleh pasal 1 telah
diberikan suatu pengertian yaitu bahwa yang diartikan dengan Tindak Pidana
Ekonomi adalah :
1.
Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau
berdasarkan :
F Ordonantie
Gecontroleerde Goederen 1948 ( S No. 144 Tahun 1948 ) sebagaimana diubah dan
ditambah dengan S No. 160 Tahun 1949 .
F Prijsbeheersing-ordonantie
1948 ( S No. 295 Tahun 1948 ).
F UU
Penimbunan Barang-barang 1951 ( LN No. 4 Tahun 1933 ).
F Rijsordonantie
1948 ( S No. 253 Tahun 1948 ).
F UU
Darurat tentang Kewajiban Penggilingan Padi ( LN No. 33 Tahun 1952 ).
2.
Tidak-tindak pidana tersebut dalam Pasal
26, 32 dan 33.
3.
Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau
berdasarkan UU lain sekedar UU itu menyebut pelanggaran itu sebagai Tindak
Pidana Ekonomi.
Tetapi
kenyataannya didala sejarah perkembangan berlakunya UU No. 7 Drt Tahun 1955,
mengenai pengertian tindak pidana ekonomi seperti yang terdapat didalam pasal 1
ini sejak semula sudah diperkirakan oleh pembuat UU sendiri, sebab didalam
penjelasan Umum UU No. 7 Drt Tahun 1955 diterangkan kalau penunjukan
peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut hanyalah bersifat sementara
saja.
B.
ANEKA
RAGAM SANKSI-SANKSI DALAM HUKUM PIDANA EKONOMI
Sanksi-sanksi
Hukum Pidana Ekonomi berupa pidana konvensional dan yang tidak konvensional.
Pidana yang konvensional seperti yang kita kenal pada hukum pidana tercantum
dalam pasal 10 KUHP sebagai berikut :
Hukuman utama
:
F Hukuman
mati,
F Hukuman
penjara,
F Hukuman
kurungan.
Hukuman tambahan
:
F Pencabutan
beberapa hak yang tertentu,
F Perampasan
beberapa barang tertentu,
F Pengumuman
keputusan Hakim.
Pidana
tambahan yang terdapat dalam Hukum Pidana Ekonomi lebih banyak dari yang
tercantum dalam pasal 10 KUHP itu, dan lagi lebih diperluas. Adapun secara
formal rupa-rupa sanksi-sanksi tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
1.
Pidana
Mati
Pasal
1 ayat 2 Perpu No. 21 Tahun 1959 jo UUTPE No. 7 Tahun 1955(sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik
ekonomi yang dilakukan itu ada alasan-alasan memberatkan pidana yaitu : “dapat menimbulkan kekacauan di bidang
perekonomian dalam masyarakat”.
Penetapan
Presiden No. 5 Tahun 1959 jo UUTPE No. 7 Tahun 1955 (sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik
ekonomi itu ada hal memberatkan hukuman yaitu : “dengan mengetahui atau patut harus menduga tindak pidana itu akan
menghalang-halangi terlaksananya program Pemerintah yaitu ……… dan seterusnya”.
Persamaan
antara Pen-Pres No. 5 Tahun 1959 dan Perpu No. 21 Tahun 1959 adalah merupakan
hal yang memberatkan pidana.
Perbedaannya
adalah bahwa Perpu tersebut tidak disyaratkan adanya sengaja, jadi “obyektif straf verzawarende omstandigheden,
‘ ….. Pen Pres, sengaja atau patut harus menduga”.
UU
No. 17 Tahun 1964 tentang larangan penarikan cek kosong juga mengancam pidana
mati ( pasal I ). (sudah dicabut!).
2.
Pidana
Penjara
a. Seumur
Hidup
F Yaitu
Perpu No. 21 Tahun 1959 jo. UUTPE No. 7 Tahun 1955 (sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik
ekonomi yang dilakukan itu ada alasan-alasan memberatkan pidana yaitu : “dapat menimbulkan kekacauan di bidang
perekonomian dalam masyarakat”.
F Penetapan
Presiden No. 5 Tahun 1959 jo UUTPE No. 7 Tahun 1955 (sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik
ekonomi itu ada hal memberatkan hukuman yaitu : “dengan mengetahui atau patut harus menduga tindak pidana itu akan
menghalang-halangi terlaksananya program Pemerintah yaitu ……… dan seterusnya”.
F UU
No. 17 Tahun 1964 tentang larangan penarikan cek kosong.
b. Penjara
Sementara
Menurut UUTPE
No. 7 Tahun 1955 jo UU Darurat No. u Tahun 1958 jo. Perpu No. 21 Tahun 1959,
maka maksimum pidana penjara sementara untuk delik ekonomi yang dilakukan
dengan sengaja melanggar pasal 1 suble UUTPE adalah tiada berubah (tetap 6
tahun).
3.
Pidana
Kurungan
Pidana
kurungan dalam hukuman pidana ekonomi agak lain dengan pidana kurungan menurut
KUHP, karena pidana kurungan dalam Hukum Pidana Ekonomi harus dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana denda ( pasal
1 ayat 1 Perpu No. 21 Tahun 1959 beserta penjelasannya ). Maksimum pidana 1
tahun dalam hal pelanggaran berdasarkan pasal 1 sub 3e maksimum 6 bulan.
4.
Pidana
Denda
Pidana
denda juga lain dari KUHP, pidana penjara atau kurungan dijatuhkan bersama-sama
pidana denda.
a. Untuk
kejahatan melanggar yang tersebut pada pasal 1 sub 1e UUTPE maksimum 30 kali 1
juta = 30 juta rupiah.
b. Untuk
kejagatan termasuk pasal 1 sub 2e dan sub 3e, maksimum 30 kali 100 ribu rupiah
= 3 juta rupiah.
c. Untuk
pelanggaran yang disebut berdasarkan pasal 1 sub 3e ( UU lain yang menyebut
pelanggaran atasnya delik ekonomi ) maksimum 30 kali 50 ribu rupiah = 1 ½ juta
rupiah (pasal 6 ayat 1d UUTPE.
5.
Pidana
Tambahan
Pidana
tambahan pada Hukum Pidana Ekonomi adalah lebih dari dalam KUHP. Pasal 7 UUTPE
ayat 1 :
a. Pencabutan
hak-hak tersebut dalam pasal 35 KUHP untuk waktu sekurang-kurangnya 6 bulan dan
selama-lamanya 6 tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal
dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya 6 bulan dan sekala-lamanya 6 tahun
( sebagai tambahan dari KUHP itu di sini
ditetapkan jangka waktunya ).
b. Penutupan
seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, di mana Tindak Pidana Ekonomi dilakukan,
untuk waktu selama-lamanya 1 tahun ( ini
kelebihan dari pasal 10 KUHP. Hal penutupan perusahaan itu sebagai pidana
).
c. Perampasan
barang-barang tidak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud, dengan mana
atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau sebagian diperolehnya
dengan Tindak Pidana Ekonomi itu, begitu pula harga lawan barang-barang itu
yang menggantikan barang-barang itu, tidak peduli apakah barang-barang atau
harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan.
d. Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh
Pemerintah berhungan dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya 10 KUHP,
semua hal ini merupakan sanksi-sanksi administrasi dan perdata, yang khususnya
terdapat dalam Hukum Pidana Ekonomi.
6.
Tindakan
Tata Tertib Sementara
Tindakan
tata tertib sementara ini bukanlah berarti pidana yang telah diputuskan Hakim,
ataupun sanksi-sanksi yang telah diputuskan demikian, tetapi hanya merupakan
tindakan sementara dalam rangka pengusutan delik ekonomi oleh Jaksa. Namun
demikian, karena secara material marupakan saksi pendahuluan, maka dicantumkan
di sini sebagai sanksi. Jaksa berhak untuk memerintahkan kepada tersangka
sebagai tindakan sementara untuk :
A. Penutupan
sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka, di mana delik ekonomi itu
disangka telah dilakukan.
B. Penetapan
perusahaan si tersangka, di mana delik ekonomi itu disangka telah dilakukan di
bawah pengampunan.
C. Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada si tersangka
berhubung dengan perusahaan itu.
D. Supaya
si tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
C.
PENGUSUTAN,
PENUNTUTAN DAN PERADILAN HUKUM PIDANA EKONOMI
1.
Alat-Alat
Pengusutan
Alat-alat
pengusut dalam Hukum Pidana Ekonomi adalah alat-alat pengusut biasa yang
berwenang mengusut delik biasa ditambah dengan mereka yang ditunjuk oleh
Perdana Menteri sesudah mendengar Menteri yang bersangkutan.
Demikian
ketentuan pasal 17 ayat 1 UUTPE.
Adapun
alat-alat pengusut biasa yang berwenang mengusut delik biasa itu tercantum
dalam HIR ( RIB ). Memang HIT atau RIB sebagai pedoman berlaku juga bagi Hukum
Pidana Ekonomi sebagai acara sepanjang tidak ditetapkan lain oleh UUTPE.
Hukum
Pidana Ekonomi sebagai Hukum Pidana Khusus pula. Alat-alat pengusut menurut PP
No. 27 Tahun 1983 pasal 17 adalah :
F Penyidik
(maksudnya : POLISI).
F Jaksa.
F Penyidik
berwenang lainnya munurut ketentuan undang-undang.
F Pegawai
Polisi yang tidak gaji, yang dianggap sebagai Polisi dengan mengingat peraturan
yang akan ditetapkan dengan verordening pemerintah, masing-masing menurut
kekuasaan yang diberikan kepadanya pada akte pengangkatan.
Menurut
pasal 17 ayat ( 1 ) jo pasal 25 dapat mengetahui ketentuan-ketentuan tentang
pengusutan tindak pidana ekonomi, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengenai :
a. Siapa
yang termasuk pengusut Tindak Pidana Ekonomi
b. Kekuasaan
dari pengusut Tindak Pidana Ekonomi.
Ad. a
:
Menurut
pasal 17 ayat (1) pengusut yang dibebani tugas pengusutan Tindak Pidana Ekonomi
itu adalah terdiri dari :
1.
Pengusut yang “pada umumnya dibebani pengusutan tindak pidana”.
Terlebih
dahulu perlu untuk diketahui bahwa pengertian pengusut yang “pada umumnya dibebani pengusutan tindak
pidana”seperti yang terdapat di dalam pasal 17 ayat (1) tersebut tidak
dapat hanya dikaitkan dengan pengertian penyidik seperti yang terdapat di dalam
pasal 6 ayat (1) KUHAP, tetapi harus juga dikaitkan dengan ketentuan yang
terdapat di dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP, sebab dengan tegas penjelasan pasal
284 ayat (2) KUHAP menerangkan kalau yang dimaksudkan dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu” adalah antara lain termasuk juga UU
No. 7 Drt tahun 1955.
2.
Pengusut yang “ditunjuk oleh Perdana Menteri setelah mendengar Menteri yang
bersangkutan”.
Mengingat
ketentuan yang terdapat di dalam pasal 17 ayat (1) UUD 1945 tidak mengenal
adanya Perdana Menteri dan semua Menteri hanyalah pembantu Presiden saja, maka
sudah pada tempatnya kalau kalimat “Perdana
Menteri” dalam pasal 17 ayat (1) itu harus dibaca dengan kata “Presiden” yang di dalam hal ini sayang
sekali kami belum dapat mengetahui bagaimana prakteknya setelah UUD 1945
dinyatakan berlaku kembali sejak tanggal 5 Juli 1959.
Ad. b :
Di
dalam pasal 25 ditentukan : “ Terhadap
pengusutan tindak pidana ekonomi untuk selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan
tersebut dalam Het Herziene Indonesische Reglement, terkecuali jika
Undang-Undang Darurat ini menentukan lain”.
Mengingat
“Het Herziene Indonesische Reglement”
sejak tanggal 31 Desember 1981 sudah tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah
KUHAP, maka sudah dengan sendirinya yang dimaksud dengan “Het Herziene Indonesische Reglement” dalam pasal 25 pada saat
sekarang adalah KUHAP.
Dengan
demikian dari ketentuan yang terdapat di dalam pasal 25 tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa sesuai dengan pasal 2 jo pasal 284 ayat (2) KUHAP yang harus
diturut sebagai dasar hukum untuk melakukan pengusutan Tindak Pidana Ekonomi adalah
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, dengan catatan jika tidak
ditentukan lain oleh UU No. 7 Drt Tahun 1955 sendiri.
Dengan
berpegangan pada penjelasan Umum UU No. 7 Drt Tahun 1955, maka perlu diadakan
perbedaan kekuasaan anatara lain :
1.
Pengusut
Menurut
UU No. 7 Drt 1955 kekuasaan-kekuasaan dari pengusut itu dapat dikemukakan
sebagai berikut :
F Di
dalam pasal 18 ayat 1, dengan tegas ditentukan kalau kepada pengusut Tindak
Pidana Ekonomi itu diberikan kekuasaan bahwa setiap waktu dapat mensita atau
menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk
mendapatkan keterangan.
F Berdasarkan
pasal 19 ayat 1, kepada pengusut diberikan kekuasaan untuk setiap waktu dapat
menentukan diperlihatkannya segara surat yang dipandang perlu untuk diketahui.
F Menurut
pasal 20 ayat 1, kepada pengusut yang mengusut Tindak Pidana Ekonomi diberikan
kekuasaan untuk setiap waktu memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya
perlu dimasuki dan jika perlu masuk ke dalam tempat itu dengan bantuan
kekuasaan umum.
F Di
dalam pasal 22 ayat 1 ditentukan bahwa untuk kepentingan pengusutan, pengusut
mempunyai kekuasaan untuk menuntut supaya bungkusan barang-barang dibuka, jika
hal itu dipandang perlu untuk memeriksa barang-barang tersebut.
F Pada
pasal 23 ayat 1 kita mengetahui kalau kepada pengusut itu diberikan kekuasaan
untuk menuntut supaya pengemudi-pengemudi kendaraan memberhentikan kendaraannya
dan menyetujui pemeriksaan tentang diturutinya peraturan-peraturan .
2.
Jaksa
Di
dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955 ditentukan secara khusus kekuasaan-kekuasaan
Jaksa yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
F Untuk
mengambil tindakan-tindakan tertentu jika orang yang melakukan suatu Tindak
Pidana Ekonomi itu meninggal dunia atau tidak dikenal.
F Untuk
mengambil tindakan tata tertib sementara
F Berdasarkan
pasal 3 UU No. 5 Pnps tahun 1959 Jaksa Agung RI / Oditur Jenderal dapat menahan
preventif untuk selama-lamanya 1 (satu)
tahun dengan tidak perlu meminta perpanjangan waktu kepada Hakim terhadap orang
yang disangka melakukan tindak pidana ekonomi .
2.
Penuntutan
Sebagaimana
halnya dalam semua delik, maka pada delik ekonomi pun monopoli penuntutan
berada di tangan Jaksa.
Ini
sesuai dengan UU Pokok Kejaksaan pasal 2 ayat 1b. hanya dalam hal ini ada
spesialisasi lagi, bahwa hanya Jaksa Ekonomi yang berwenang mengadakan
penuntutan. Ini sesuai dengan pasal 35 UUTPE. Jaksa Ekonomi diangkat oleh Jaksa
Agung. Adapun syarat untuk diangkat menjadi Jaksa Ekonomi ialah ia harus Jaksa
biasa lebih dahulu.
3.
Wewenang
Jaksa Dalam Penuntutan Delik Ekonomi
Jika
ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka dan kepentingan-kepentingan
yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar
memerlukan tindakan dengan segera, Jaksa berwenang :
F Penutupan
sebagian atau seluruh perusahaan tersangka, dimana delik ekonomi disangka telah
dilakukan.
F Penempatan
perusahaan di tersangka di mana delik ekonomi disangka telah dilakukan di bawah
pengampuan.
F Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada tersangka
berhubung dengan perusahaan itu.
F Supaya
tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
F Supaya
tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah yang dapat
disita, dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu ( pasal 27 UUTPE jo Perpu No. 26 Tahun 1960 jo
Perpu No. 1 Tahun 1960 ).
4.
Kekuasaan
dan Susunan Pengadilan
Di
tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang atau lebih Hakim Ekonomi dan seorang
Panitera Ekonomi.
Pengluasan
kekuasaan lingkungan wilayah pengadilan pada Pengadilan Ekonomi ternyata pada
ketentuan bahwa pengadilan ekonomi berkuasa mengadili tersangka-tersangka atau
pengikut-pengikut serta jika ada penghubung sedemikian rupa antara
tersangka-tersangka yang terlingkup dalam wilayah hukum pengadilan tersebut.
Ini dimaksudkan agar pemeriksaan perkara-perkara ekonomi dipermudah dan
diperlancar ( pasal 39 UUTPE beserta
penjelasan umumnya ).
5.
Banding
Semua
keputusan Pengadilan Ekonomi dapat dimintakan banding pada Pengadilan Tinggi
Ekonomi seperti halnya delik biasa kecuali apa yang ditentukan pasal 43 ayat 1
UUTPE :
“
terhadap putusan Pengadilan Ekonomi dapat
dimohonkan banding kecuali jika putusan terakhir diberikan mengenai suatu pelanggaran
ekonomi dan jika dalam putusan penghabisan :
F Tidak
dijatuhkan hukuman pidana atau tindak pidana tata tertib;
F Tidak
dijatuhkan hukuman pidana lain
6.
Kasasi
Ketentuan
mengenai Kasasi perkara Ekonomi sama dengan pada perkara biasa ( Pasal 47 UUTPE
), dengan pengecualian yang seperti kekecualian banding diatas, yaitu kelalaian
pada pengadilan tingkat pertama atau banding mengenai cara-cara yang harus
diindahkan pada peradilan tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk
membatalkan petusan jika tidak merugikan Jaksa dalam tuntutannya atau tersangka
dalam pembelaannnya ( Pasal 48 UUTPE ).
D.
DELIK-DELIK
EKONOMI TERTENTU
1.
Delik
Devisa
Di
banding dengan Undang-Undang lainnya yang tercakup dalam UUTPE, maka
undang-undang, maka undang-undang devisa ini ada kelainan. Kelainan itu
pertama-pertama disebutkan disini bahwa hanya separuh dari undang-undang
tersebut, yang dicakup oleh UUTPE, sedangkan separuh lagi tinggal diluarnya. Ini
akibat bunyi pasal 33 Undang-undang devisa yang mengatakan : “ Pasal 1 ayat 1e
sub f dari undang-undang tindak pidana ekonomi ( UU No. 7 darurat tahun 1955 )
dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut : “ Pasal 7, 8 dan 9
dari UU No. 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintasa Devisa 1964,
terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian
atau seluruhnya ataupun mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu
perbuatan dalam penyelenggaraan eksport “.
Kelainan
kedua ialah bahwa UU Devisa tersebut mengatur aturan pidana tersendiri begitu
pula acaranya, yaitu bab X dari Pasal 18 sampai dengan 27. Kalau menelaah pasal
20 UU Devisa itu yang mengatur tentang aturan pidana dan acara pidana devisa,
maka kita lihat tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan dari UUTPE yaitu pasal
6, 8 dan 9 yaitu pasal 10, 11, 16 dan 17 UU Devisa tersebut tidaklah menjadi
persoalan karena tokoh berada di luar jangkauan UUTPE.
Menjadi
masalah ialah delik yang melanggar pasal 7, 8 dan 9 UU Devisa tersebut yang
dimaksudkan dalam UUTPE, dimana UUTPE mempunyai ketentuan tentang ancaman
pidana (pasal 6), yang lain dari yang tersebut dalam pasal 20 UU Devisa itu.
Kalau
ancaman pidana dan ancaman pidana devisa diatur tersendiri dan kita berpegang
pada adagium lex spesialis derogate legi
generali, maka seperti dikatakan untuk apa lagi pasal 7, 8 dan 9 itu
dimasukkan dalam UUTPE?
Mungkin
bias dijawab sendiri disini adalah bahwa acara pidana untuk peradilan delik
devisa itu tidak diatur dalam UU Devisa tersebut, sehingga peradilannya
dilakukan oleh Pengadilan Ekonomi, dan juga penuntutannya oleh Jaksa Ekonomi
sesuai UUTPE.
2.
Delik
Yang Berhubungan Dengan Izin Perusahaan
Maksud
segala peraturan mengenai pembatasan dan penyaluran perusahaan ialah
menyesuaikan dan menyerasikan perkembangan industri serta perdagangan dengan
politik perekonomian Pemerintah. Segala hal yang dipandang berbahaya bagi
pertumbuhan industri dan perdagangan dalam Negara sedapat mungkin dicegah dan
terakhir kalau perlu diancam dengan pidana ekonomi yang terkandung dalam segala
peraturan mengenai pembatasan dan penyaluran perusahaan tersebut.
Ancaman
pidana ekonomi tercantum dalam pasal 14 ayat k sub a, b, c, d, e dan f
Bedrijfs-reglementering-ordonnantie 1934; pasal 15 ayat 1 dan 2 Bedrijfs-reglementering-ordonnantie 1934. Yang
tersebut dalam pasal 14 itu merupakan kejahatan menurut pasal 14 ayat 3
ordonnantie tersebut dan dengan sendirinya tetap merupakan kejahatan menurut
pasal 2 ayat 1 UUTPE.
Begitu
pula tersebut dalam pasal 15, juga merupakan kejahatan menurut pasal 15 ayat 4
ordonnantie tersebut dan tetap merupakan kejahatan menurut pasal 2 ayat 1
UUTPE.
Yang
tersebut pada pasal 14 ayat 1 sub a sebagai berikut :
“
pengusaha yang menjalankan perusahaan,
dengan tidak mempunyai lisensi yang diwajibkan sedangkan seharusnya pasal 3
wajib mempunyai lisensi tersebut”. Yang harus mempunyai lisensi menurut pasal 3
ialah orang yang menjalankan Perusahaan”.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Bahwa
hal yang terpenting ialah perencanaan dan pelaksanaan yang rasional dari
politik ekonomi di mana teori ekonomi menjadi penyuluh dan petunjuk jalan,
sedangkan tindakan yang drastic dalam bentuk pidana ekonomi sebaliknya
digunakan sebagai tindakan terakhir dari penguasa di dalam rangka penertiban
proses ekonomi.
Hukum
Pidana Ekonomi hendaknya mengambil tempat di samping hukum pidana kita. Kita
telah tahu bahwa hukum itu ialah gejala masyarakat. Hukum Pidana Ekonomi
digambarkan tentang elastic dan mudahnya berubah-ubah peraturan hukum pidana
ekonomi, bukan saja sesuai perubahan pasar, tetapi perubahan ekonomi sosial
pada umumnya.
Dapat
dikatakan bahwa dengan UUTPE ini telah dihimpun segala peraturan-peraturan yang
ada dan memberi lowongan untuk peraturan yang akan datang sebagai hukum pidana
ekonomi. Adapun UUTPE itu sendiri merupakan undang-undang yang banyak sekali
persamaannya dengan “ Wet op de
economische delicten “ tahun 1950 di tanah Belanda.
2.
Saran
Adapun
saran yang dapat penulis ungkapkan adalah sebagai berikut :
F Dengan
mengetahui pengertian Tindak Pidana Ekonomi, Pembagian Tindak Pidana Ekonomi,
Sanksi-sanksi Tindak Pidana Ekonomi, Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi, serta delik-delik ekonomi, tentulah kita dapat menelaah
serta menganalisa Hukum Tindak Pidana Ekonomi tersebut.
F Dengan
tidak melupakan diri penulis, penulis Cuma menyarankan supaya UUTPE Pemerintah
/ DPR segera mengeluarkan UUTPE yang tidak menyalin sebagian besar dari “Wet op de economische delicten “ dan
UUTPE tersebut sesuai dengan keperibadian Nasioanal.
F Khusus
untuk makalah ini, penulis sadar bahwa jauh dari kesempurnaan, maka penulis
mohon kritik dan sarannya dan semogo makalah ini dapat berguna bagi para
pembacanya.
DAFTAR LITERATUR
Dr. A. Hamzah, SH,
Hukum Pidana Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1991.
R. Wiyono, SH, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi
Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
Dr. Moh. Hatta, Peranan Pemuda Menuju Indonesia
Merdeka Adil dan Makmur, Djakarta : Tinta Mas, 1966,
Santoso Poedjosoebroto, Tindak Pidana Ekonomi dalam
Hukum dan Masyarakat, Nomor Kongres I, 1961.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan