Sunday, December 11, 2016

MAKALAH HUKUM PIDANA KHUSUS

0 komentar
BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH

Knapa penulis harus memilih judul makalah tentang Hukum Pidana Ekonomi ? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan ini. Sebagai suatu tugas masing-masing Mahasiswa juga sebagai seorang Mahasiswa Fakultas Hukum yang harus mengerti dan faham tentang permasalahan-permasalahan hukum yang sering terjadi terutama juga Mahasiswa dituntut untuk dapat menganalisa serta menelaah hukum tersebut.

Makalah ini membahas tentang “Hukum Pidana Ekonomi” yang akan dibahas secara garis besar. Yang mencakup tentang sanksi-sanksi dalam Hukum Pidana Ekonomi, Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Hukum Pidana Ekonomi serta Delik-delik Ekonomi tertentu.

Penulis juga menjelaskan tentang pengertian Hukum Pidana Ekonomi secara ringkas. Dengan sederhana dapat dikatakan Hukum Pidana Ekonomi adalah bagian dari pada hukum. Suatu hukum yang mempunyai corak tersendiri.

Maka jelas bahwa Hukum Pidana Ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang merupakan corak-corak ekonomi atau ilmu ekonomi secara sederhana, dapat dilukiskan sebagai ilmu yang mempelajari manusia tentang usahanya, tindakan-tindakannya, untuk mencapai kemakmuran.

Manusia perlu berpikir, timbang menimbang keperluan-keperluan mana yang dipuaskan terlebih dahulu dengan alat pemuas yang terbatas jumlahnya itu. Dan juga menjadi tabiat manuasia pada umumnya akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, alat yang ada padanya. Sebab tak lain karena manusia mengahadapi kekurangan kemakmuran. Seperti dikatakan oleh Walter Eucken masalah ekonomi yang sentral adalah kekurangan ( Knappheit ) ¹.
 


Politik ekonomi dirumuskan oleh Herbert Giersch ² sebagai berikut : “ Politik ekonomi ( kebijaksanaan ekonomi ) adalah semua usaha-usaha, perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan maksud mempengaruhi atau langsung menetapkan jalan-jalan kejadian-kejadian ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah”.

Jadi di samping pengetahuan yang cukup dari para petugas di lapangan ekonomi dan Hukum Pidana Ekonomi tentang ilmu ekonomi, politik ekonomi dan politik perekonomian itu diperlukan juga suatu kebijaksanaan tertentu sehingga hukum pidana ekonomi sebagai alat pembantu dan obat terakhir, benar-benar diterapkan secara jitu, sehingga benar-benar tiba pada sasarannya yang dituju, dan bukan hal-hal sebaliknya yang negatif.

Bagi kita di Indonesia dari sejarah dapat dilihat bahwa muncul peraturan-peraturan di lapangan Hukum Pidana Ekonomi itu adalah sejajar dengan Negara-negara liberal, yaitu pada masa perang dan krisis. Juga tidak bisa lepaskan pikiran bahwa Indonesia adalah jajahan Belanda pada masa itu. Santoso Poedjosoebroto mengatakan lebih maju lagi, bahwa UUTPE adalah seduran dari “ Wet op de economische delicten “ itu. Beliau menganjurkan agar diciptakan perundang-undangan yang sesuai dengan kepribadian nasional ³.

Penulis di sini memilih bahan tentang hukum pidana ekonomi karna penulis ingin mencari dan mengetahui serta ingin menganalisa tentang permasalahan-permasalahan dalam Tindak Pidana Ekonomi itu sendiri dan juga ingin mendapatkan wawasan yang luas dan ilmu pengetahuan tentang hukum itu sendiri khususnya di bidang Hukum Pidana Ekonomi tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
  
A.      PENGERTIAN TINDAK PIDANA EKONOMI
Sejak berlakunya UU No. 7 Drt Tahun 1955 pada tanggal 13 Mei 1955, oleh pasal 1 telah diberikan suatu pengertian yaitu bahwa yang diartikan dengan Tindak Pidana Ekonomi adalah :
1.        Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan :
F Ordonantie Gecontroleerde Goederen 1948 ( S No. 144 Tahun 1948 ) sebagaimana diubah dan ditambah dengan S No. 160 Tahun 1949 .
F Prijsbeheersing-ordonantie 1948 ( S No. 295 Tahun 1948 ).
F UU Penimbunan Barang-barang 1951 ( LN No. 4 Tahun 1933 ).
F Rijsordonantie 1948 ( S No. 253 Tahun 1948 ).
F UU Darurat tentang Kewajiban Penggilingan Padi ( LN No. 33 Tahun 1952 ).

2.        Tidak-tindak pidana tersebut dalam Pasal 26, 32 dan 33.
3.        Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan UU lain sekedar UU itu menyebut pelanggaran itu sebagai Tindak Pidana Ekonomi.

Tetapi kenyataannya didala sejarah perkembangan berlakunya UU No. 7 Drt Tahun 1955, mengenai pengertian tindak pidana ekonomi seperti yang terdapat didalam pasal 1 ini sejak semula sudah diperkirakan oleh pembuat UU sendiri, sebab didalam penjelasan Umum UU No. 7 Drt Tahun 1955 diterangkan kalau penunjukan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut hanyalah bersifat sementara saja. 



B.       ANEKA RAGAM SANKSI-SANKSI DALAM HUKUM PIDANA EKONOMI
Sanksi-sanksi Hukum Pidana Ekonomi berupa pidana konvensional dan yang tidak konvensional. Pidana yang konvensional seperti yang kita kenal pada hukum pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP sebagai berikut :
Hukuman utama :
F Hukuman mati,
F Hukuman penjara,
F Hukuman kurungan.

Hukuman tambahan :
F Pencabutan beberapa hak yang tertentu,
F Perampasan beberapa barang tertentu,
F Pengumuman keputusan Hakim.

Pidana tambahan yang terdapat dalam Hukum Pidana Ekonomi lebih banyak dari yang tercantum dalam pasal 10 KUHP itu, dan lagi lebih diperluas. Adapun secara formal rupa-rupa sanksi-sanksi tersebut dapat diperinci sebagai berikut :

1.        Pidana Mati
Pasal 1 ayat 2 Perpu No. 21 Tahun 1959 jo UUTPE No. 7 Tahun 1955(sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik ekonomi yang dilakukan itu ada alasan-alasan memberatkan pidana yaitu : “dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat”.

Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 jo UUTPE No. 7 Tahun 1955 (sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik ekonomi itu ada hal memberatkan hukuman yaitu : “dengan mengetahui atau patut harus menduga tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program Pemerintah yaitu ……… dan seterusnya”.
Persamaan antara Pen-Pres No. 5 Tahun 1959 dan Perpu No. 21 Tahun 1959 adalah merupakan hal yang memberatkan pidana.

Perbedaannya adalah bahwa Perpu tersebut tidak disyaratkan adanya sengaja, jadi “obyektif straf verzawarende omstandigheden, ‘ ….. Pen Pres, sengaja atau patut harus menduga”.

UU No. 17 Tahun 1964 tentang larangan penarikan cek kosong juga mengancam pidana mati ( pasal I ). (sudah dicabut!).

2.        Pidana Penjara
a.    Seumur Hidup
F Yaitu Perpu No. 21 Tahun 1959 jo. UUTPE No. 7 Tahun 1955 (sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik ekonomi yang dilakukan itu ada alasan-alasan memberatkan pidana yaitu : “dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat”.
F Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 jo UUTPE No. 7 Tahun 1955 (sebagaimana telah dirubah dan ditambah). Khususnya jika delik ekonomi itu ada hal memberatkan hukuman yaitu : “dengan mengetahui atau patut harus menduga tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program Pemerintah yaitu ……… dan seterusnya”.
F UU No. 17 Tahun 1964 tentang larangan penarikan cek kosong.

b.    Penjara Sementara
Menurut UUTPE No. 7 Tahun 1955 jo UU Darurat No. u Tahun 1958 jo. Perpu No. 21 Tahun 1959, maka maksimum pidana penjara sementara untuk delik ekonomi yang dilakukan dengan sengaja melanggar pasal 1 suble UUTPE adalah tiada berubah (tetap 6 tahun).

3.        Pidana Kurungan
Pidana kurungan dalam hukuman pidana ekonomi agak lain dengan pidana kurungan menurut KUHP, karena pidana kurungan dalam Hukum Pidana Ekonomi harus dijatuhkan bersama-sama dengan pidana denda ( pasal 1 ayat 1 Perpu No. 21 Tahun 1959 beserta penjelasannya ). Maksimum pidana 1 tahun dalam hal pelanggaran berdasarkan pasal 1 sub 3e maksimum 6 bulan.

4.        Pidana Denda
Pidana denda juga lain dari KUHP, pidana penjara atau kurungan dijatuhkan bersama-sama pidana denda.
a.       Untuk kejahatan melanggar yang tersebut pada pasal 1 sub 1e UUTPE maksimum 30 kali 1 juta = 30 juta rupiah.
b.      Untuk kejagatan termasuk pasal 1 sub 2e dan sub 3e, maksimum 30 kali 100 ribu rupiah = 3 juta rupiah.
c.       Untuk pelanggaran yang disebut berdasarkan pasal 1 sub 3e ( UU lain yang menyebut pelanggaran atasnya delik ekonomi ) maksimum 30 kali 50 ribu rupiah = 1 ½ juta rupiah (pasal 6 ayat 1d UUTPE.

5.        Pidana Tambahan
Pidana tambahan pada Hukum Pidana Ekonomi adalah lebih dari dalam KUHP. Pasal 7 UUTPE ayat 1 :
a.       Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 KUHP untuk waktu sekurang-kurangnya 6 bulan dan selama-lamanya 6 tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya 6 bulan dan sekala-lamanya 6 tahun ( sebagai tambahan dari KUHP itu di sini ditetapkan jangka waktunya ).

b.      Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, di mana Tindak Pidana Ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya 1 tahun ( ini kelebihan dari pasal 10 KUHP. Hal penutupan perusahaan itu sebagai pidana ).
c.       Perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau sebagian diperolehnya dengan Tindak Pidana Ekonomi itu, begitu pula harga lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tidak peduli apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan.

d.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh Pemerintah berhungan dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya 10 KUHP, semua hal ini merupakan sanksi-sanksi administrasi dan perdata, yang khususnya terdapat dalam Hukum Pidana Ekonomi.

6.        Tindakan Tata Tertib Sementara
Tindakan tata tertib sementara ini bukanlah berarti pidana yang telah diputuskan Hakim, ataupun sanksi-sanksi yang telah diputuskan demikian, tetapi hanya merupakan tindakan sementara dalam rangka pengusutan delik ekonomi oleh Jaksa. Namun demikian, karena secara material marupakan saksi pendahuluan, maka dicantumkan di sini sebagai sanksi. Jaksa berhak untuk memerintahkan kepada tersangka sebagai tindakan sementara untuk :
A.    Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka, di mana delik ekonomi itu disangka telah dilakukan.
B.     Penetapan perusahaan si tersangka, di mana delik ekonomi itu disangka telah dilakukan di bawah pengampunan.
C.     Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada si tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
D.    Supaya si tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.




C.      PENGUSUTAN, PENUNTUTAN DAN PERADILAN HUKUM PIDANA EKONOMI
1.        Alat-Alat Pengusutan
Alat-alat pengusut dalam Hukum Pidana Ekonomi adalah alat-alat pengusut biasa yang berwenang mengusut delik biasa ditambah dengan mereka yang ditunjuk oleh Perdana Menteri sesudah mendengar Menteri yang bersangkutan.
Demikian ketentuan pasal 17 ayat 1 UUTPE.

Adapun alat-alat pengusut biasa yang berwenang mengusut delik biasa itu tercantum dalam HIR ( RIB ). Memang HIT atau RIB sebagai pedoman berlaku juga bagi Hukum Pidana Ekonomi sebagai acara sepanjang tidak ditetapkan lain oleh UUTPE.

Hukum Pidana Ekonomi sebagai Hukum Pidana Khusus pula. Alat-alat pengusut menurut PP No. 27 Tahun 1983 pasal 17 adalah :
F Penyidik (maksudnya : POLISI).
F Jaksa.
F Penyidik berwenang lainnya munurut ketentuan undang-undang.
F Pegawai Polisi yang tidak gaji, yang dianggap sebagai Polisi dengan mengingat peraturan yang akan ditetapkan dengan verordening pemerintah, masing-masing menurut kekuasaan yang diberikan kepadanya pada akte pengangkatan.

Menurut pasal 17 ayat ( 1 ) jo pasal 25 dapat mengetahui ketentuan-ketentuan tentang pengusutan tindak pidana ekonomi, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengenai :
a.    Siapa yang termasuk pengusut Tindak Pidana Ekonomi
b.    Kekuasaan dari pengusut Tindak Pidana Ekonomi.
  
Ad. a :
Menurut pasal 17 ayat (1) pengusut yang dibebani tugas pengusutan Tindak Pidana Ekonomi itu adalah terdiri dari :
1.        Pengusut yang “pada umumnya dibebani pengusutan tindak pidana”.
Terlebih dahulu perlu untuk diketahui bahwa pengertian pengusut yang “pada umumnya dibebani pengusutan tindak pidana”seperti yang terdapat di dalam pasal 17 ayat (1) tersebut tidak dapat hanya dikaitkan dengan pengertian penyidik seperti yang terdapat di dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP, tetapi harus juga dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat di dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP, sebab dengan tegas penjelasan pasal 284 ayat (2) KUHAP menerangkan kalau yang dimaksudkan dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” adalah antara lain termasuk juga UU No. 7 Drt tahun 1955.

2.        Pengusut yang “ditunjuk oleh Perdana Menteri setelah mendengar Menteri yang bersangkutan”.
Mengingat ketentuan yang terdapat di dalam pasal 17 ayat (1) UUD 1945 tidak mengenal adanya Perdana Menteri dan semua Menteri hanyalah pembantu Presiden saja, maka sudah pada tempatnya kalau kalimat “Perdana Menteri” dalam pasal 17 ayat (1) itu harus dibaca dengan kata “Presiden” yang di dalam hal ini sayang sekali kami belum dapat mengetahui bagaimana prakteknya setelah UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali sejak tanggal 5 Juli 1959.

Ad. b :
Di dalam pasal 25 ditentukan : “ Terhadap pengusutan tindak pidana ekonomi untuk selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam Het Herziene Indonesische Reglement, terkecuali jika Undang-Undang Darurat ini menentukan lain”.

Mengingat “Het Herziene Indonesische Reglement” sejak tanggal 31 Desember 1981 sudah tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah KUHAP, maka sudah dengan sendirinya yang dimaksud dengan “Het Herziene Indonesische Reglement” dalam pasal 25 pada saat sekarang adalah KUHAP.

Dengan demikian dari ketentuan yang terdapat di dalam pasal 25 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuai dengan pasal 2 jo pasal 284 ayat (2) KUHAP yang harus diturut sebagai dasar hukum untuk melakukan pengusutan Tindak Pidana Ekonomi adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, dengan catatan jika tidak ditentukan lain oleh UU No. 7 Drt Tahun 1955 sendiri.

Dengan berpegangan pada penjelasan Umum UU No. 7 Drt Tahun 1955, maka perlu diadakan perbedaan kekuasaan anatara lain :

1.        Pengusut
Menurut UU No. 7 Drt 1955 kekuasaan-kekuasaan dari pengusut itu dapat dikemukakan sebagai berikut :
F Di dalam pasal 18 ayat 1, dengan tegas ditentukan kalau kepada pengusut Tindak Pidana Ekonomi itu diberikan kekuasaan bahwa setiap waktu dapat mensita atau menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan.

F Berdasarkan pasal 19 ayat 1, kepada pengusut diberikan kekuasaan untuk setiap waktu dapat menentukan diperlihatkannya segara surat yang dipandang perlu untuk diketahui.

F Menurut pasal 20 ayat 1, kepada pengusut yang mengusut Tindak Pidana Ekonomi diberikan kekuasaan untuk setiap waktu memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya perlu dimasuki dan jika perlu masuk ke dalam tempat itu dengan bantuan kekuasaan umum.
F Di dalam pasal 22 ayat 1 ditentukan bahwa untuk kepentingan pengusutan, pengusut mempunyai kekuasaan untuk menuntut supaya bungkusan barang-barang dibuka, jika hal itu dipandang perlu untuk memeriksa barang-barang tersebut.

F Pada pasal 23 ayat 1 kita mengetahui kalau kepada pengusut itu diberikan kekuasaan untuk menuntut supaya pengemudi-pengemudi kendaraan memberhentikan kendaraannya dan menyetujui pemeriksaan tentang diturutinya peraturan-peraturan .

2.        Jaksa
Di dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955 ditentukan secara khusus kekuasaan-kekuasaan Jaksa yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
F Untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu jika orang yang melakukan suatu Tindak Pidana Ekonomi itu meninggal dunia atau tidak dikenal.

F Untuk mengambil tindakan tata tertib sementara

F Berdasarkan pasal 3 UU No. 5 Pnps tahun 1959 Jaksa Agung RI / Oditur Jenderal dapat menahan preventif untuk selama-lamanya 1 (satu) tahun dengan tidak perlu meminta perpanjangan waktu kepada Hakim terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana ekonomi .


2.        Penuntutan
Sebagaimana halnya dalam semua delik, maka pada delik ekonomi pun monopoli penuntutan berada di tangan Jaksa.

Ini sesuai dengan UU Pokok Kejaksaan pasal 2 ayat 1b. hanya dalam hal ini ada spesialisasi lagi, bahwa hanya Jaksa Ekonomi yang berwenang mengadakan penuntutan. Ini sesuai dengan pasal 35 UUTPE. Jaksa Ekonomi diangkat oleh Jaksa Agung. Adapun syarat untuk diangkat menjadi Jaksa Ekonomi ialah ia harus Jaksa biasa lebih dahulu.

3.        Wewenang Jaksa Dalam Penuntutan Delik Ekonomi
Jika ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka dan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar memerlukan tindakan dengan segera, Jaksa berwenang :
F Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan tersangka, dimana delik ekonomi disangka telah dilakukan.

F Penempatan perusahaan di tersangka di mana delik ekonomi disangka telah dilakukan di bawah pengampuan.

F Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.

F Supaya tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
F Supaya tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu ( pasal 27 UUTPE jo Perpu No. 26 Tahun 1960 jo Perpu No. 1 Tahun 1960 ).


4.        Kekuasaan dan Susunan Pengadilan
Di tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang atau lebih Hakim Ekonomi dan seorang Panitera Ekonomi.

Pengluasan kekuasaan lingkungan wilayah pengadilan pada Pengadilan Ekonomi ternyata pada ketentuan bahwa pengadilan ekonomi berkuasa mengadili tersangka-tersangka atau pengikut-pengikut serta jika ada penghubung sedemikian rupa antara tersangka-tersangka yang terlingkup dalam wilayah hukum pengadilan tersebut. Ini dimaksudkan agar pemeriksaan perkara-perkara ekonomi dipermudah dan diperlancar ( pasal 39 UUTPE beserta penjelasan umumnya ).

5.        Banding
Semua keputusan Pengadilan Ekonomi dapat dimintakan banding pada Pengadilan Tinggi Ekonomi seperti halnya delik biasa kecuali apa yang ditentukan pasal 43 ayat 1 UUTPE :
terhadap putusan Pengadilan Ekonomi dapat dimohonkan banding kecuali jika putusan terakhir diberikan mengenai suatu pelanggaran ekonomi dan jika dalam putusan penghabisan :
F Tidak dijatuhkan hukuman pidana atau tindak pidana tata tertib;
F Tidak dijatuhkan hukuman pidana lain

6.        Kasasi
Ketentuan mengenai Kasasi perkara Ekonomi sama dengan pada perkara biasa ( Pasal 47 UUTPE ), dengan pengecualian yang seperti kekecualian banding diatas, yaitu kelalaian pada pengadilan tingkat pertama atau banding mengenai cara-cara yang harus diindahkan pada peradilan tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membatalkan petusan jika tidak merugikan Jaksa dalam tuntutannya atau tersangka dalam pembelaannnya ( Pasal 48 UUTPE ).

D.      DELIK-DELIK EKONOMI TERTENTU
1.        Delik Devisa
Di banding dengan Undang-Undang lainnya yang tercakup dalam UUTPE, maka undang-undang, maka undang-undang devisa ini ada kelainan. Kelainan itu pertama-pertama disebutkan disini bahwa hanya separuh dari undang-undang tersebut, yang dicakup oleh UUTPE, sedangkan separuh lagi tinggal diluarnya. Ini akibat bunyi pasal 33 Undang-undang devisa yang mengatakan : “ Pasal 1 ayat 1e sub f dari undang-undang tindak pidana ekonomi ( UU No. 7 darurat tahun 1955 ) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut : “ Pasal 7, 8 dan 9 dari UU No. 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintasa Devisa 1964, terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan eksport “.

Kelainan kedua ialah bahwa UU Devisa tersebut mengatur aturan pidana tersendiri begitu pula acaranya, yaitu bab X dari Pasal 18 sampai dengan 27. Kalau menelaah pasal 20 UU Devisa itu yang mengatur tentang aturan pidana dan acara pidana devisa, maka kita lihat tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan dari UUTPE yaitu pasal 6, 8 dan 9 yaitu pasal 10, 11, 16 dan 17 UU Devisa tersebut tidaklah menjadi persoalan karena tokoh berada di luar jangkauan UUTPE.

Menjadi masalah ialah delik yang melanggar pasal 7, 8 dan 9 UU Devisa tersebut yang dimaksudkan dalam UUTPE, dimana UUTPE mempunyai ketentuan tentang ancaman pidana (pasal 6), yang lain dari yang tersebut dalam pasal 20 UU Devisa itu.

Kalau ancaman pidana dan ancaman pidana devisa diatur tersendiri dan kita berpegang pada adagium lex spesialis derogate legi generali, maka seperti dikatakan untuk apa lagi pasal 7, 8 dan 9 itu dimasukkan dalam UUTPE?

Mungkin bias dijawab sendiri disini adalah bahwa acara pidana untuk peradilan delik devisa itu tidak diatur dalam UU Devisa tersebut, sehingga peradilannya dilakukan oleh Pengadilan Ekonomi, dan juga penuntutannya oleh Jaksa Ekonomi sesuai UUTPE.

2.        Delik Yang Berhubungan Dengan Izin Perusahaan
Maksud segala peraturan mengenai pembatasan dan penyaluran perusahaan ialah menyesuaikan dan menyerasikan perkembangan industri serta perdagangan dengan politik perekonomian Pemerintah. Segala hal yang dipandang berbahaya bagi pertumbuhan industri dan perdagangan dalam Negara sedapat mungkin dicegah dan terakhir kalau perlu diancam dengan pidana ekonomi yang terkandung dalam segala peraturan mengenai pembatasan dan penyaluran perusahaan tersebut.

Ancaman pidana ekonomi tercantum dalam pasal 14 ayat k sub a, b, c, d, e dan f Bedrijfs-reglementering-ordonnantie 1934; pasal 15 ayat 1 dan 2  Bedrijfs-reglementering-ordonnantie 1934. Yang tersebut dalam pasal 14 itu merupakan kejahatan menurut pasal 14 ayat 3 ordonnantie tersebut dan dengan sendirinya tetap merupakan kejahatan menurut pasal 2 ayat 1 UUTPE.

Begitu pula tersebut dalam pasal 15, juga merupakan kejahatan menurut pasal 15 ayat 4 ordonnantie tersebut dan tetap merupakan kejahatan menurut pasal 2 ayat 1 UUTPE.

Yang tersebut pada pasal 14 ayat 1 sub a sebagai berikut :
pengusaha yang menjalankan perusahaan, dengan tidak mempunyai lisensi yang diwajibkan sedangkan seharusnya pasal 3 wajib mempunyai lisensi tersebut”. Yang harus mempunyai lisensi menurut pasal 3 ialah orang yang menjalankan Perusahaan”.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


1.         Kesimpulan
Bahwa hal yang terpenting ialah perencanaan dan pelaksanaan yang rasional dari politik ekonomi di mana teori ekonomi menjadi penyuluh dan petunjuk jalan, sedangkan tindakan yang drastic dalam bentuk pidana ekonomi sebaliknya digunakan sebagai tindakan terakhir dari penguasa di dalam rangka penertiban proses ekonomi.

Hukum Pidana Ekonomi hendaknya mengambil tempat di samping hukum pidana kita. Kita telah tahu bahwa hukum itu ialah gejala masyarakat. Hukum Pidana Ekonomi digambarkan tentang elastic dan mudahnya berubah-ubah peraturan hukum pidana ekonomi, bukan saja sesuai perubahan pasar, tetapi perubahan ekonomi sosial pada umumnya.

Dapat dikatakan bahwa dengan UUTPE ini telah dihimpun segala peraturan-peraturan yang ada dan memberi lowongan untuk peraturan yang akan datang sebagai hukum pidana ekonomi. Adapun UUTPE itu sendiri merupakan undang-undang yang banyak sekali persamaannya dengan “ Wet op de economische delicten “ tahun 1950 di tanah Belanda.

2.        Saran
Adapun saran yang dapat penulis ungkapkan adalah sebagai berikut :
F Dengan mengetahui pengertian Tindak Pidana Ekonomi, Pembagian Tindak Pidana Ekonomi, Sanksi-sanksi Tindak Pidana Ekonomi, Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, serta delik-delik ekonomi, tentulah kita dapat menelaah serta menganalisa Hukum Tindak Pidana Ekonomi tersebut.

F Dengan tidak melupakan diri penulis, penulis Cuma menyarankan supaya UUTPE Pemerintah / DPR segera mengeluarkan UUTPE yang tidak menyalin sebagian besar dari “Wet op de economische delicten “ dan UUTPE tersebut sesuai dengan keperibadian Nasioanal.

F Khusus untuk makalah ini, penulis sadar bahwa jauh dari kesempurnaan, maka penulis mohon kritik dan sarannya dan semogo makalah ini dapat berguna bagi para pembacanya.




DAFTAR LITERATUR

Dr. A. Hamzah, SH,  Hukum  Pidana Ekonomi,  Penerbit Erlangga,  Jakarta,  1991.
R. Wiyono, SH, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
Dr. Moh. Hatta, Peranan Pemuda Menuju Indonesia Merdeka Adil dan Makmur, Djakarta : Tinta Mas, 1966,
Santoso Poedjosoebroto, Tindak Pidana Ekonomi dalam Hukum dan Masyarakat, Nomor Kongres I, 1961.


0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan