BAB I
CERAI GUGAT
Perceraian
yang dilakukan dengan putusan Pengadilan Agama adalah perceraian yang dilakukan
berdasarkan suatu gugatan perceraian oleh istri. Pengadilan Agama dalam setiap
kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat diminta bantuan
kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian ( BP4 ) setempat.
Bila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan lagi gugatan perceraian yang
baru berdasarkan alasan-alasan yang sama, oleh sang istri ( pasal 30 PMA Nomor
3 Tahun 1975 ).
Tata
cara perceraian yang berhubungan dengan gugatan, dilakukan sebagaimana pasal 28
PMA Nomor 3 Tahun 1975. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya
terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Penitera Pengadilan Agama segera setelah perceraian itu
diputuskan menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau
kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing suami istri yang
bersangkutan. Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 ( tujuh ) hari setelah perceraian
diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.
Panitera
Pengadilan Agama berkewajiban mengirim Putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai
kepada Pegawai Pencatatan Nikah di daerah temapat tinggal istri untuk diadakan
pencatatan. Panitera Pengadilan Agama memberikan surat keterangan kepada masing-masing
suami istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut pada ayat ( 1 ) pasal 31 PMA
Nomor 3 Tahun 1975 ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah
dikukuhkan.
Bekas
suami dan bekas istri atau kuasanya dengan membawa surat keterangan tersebut di
atas datang kepada Pegawai Pencatatan Nikah di daerah tempat tinggal istri
untuk mendapatkan kutipan buku pendaftaran cerai atau KBPC dan Panitera
Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan akta
nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai (pasal 30, 31 peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975).
BAB II
KHULU’
: CERAI ATAS PERMINTAAN ISTRI
A.
DEFINISI
KHULU’
Khulu’ berasal dari “khulu’ Al-Tsaub” berarti melepaskan atau
mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita merupakan pakaian bagi
lelaki, dan sebaliknya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an : “mereka (wanita) adalah pakaian bagimu
(lelaki), dan kamipun adalah pakaian bagi mereka (wanita)”. (Q.S. 2:187).
Sama dengan hak yang
diberikan bagi suami untuk menceraikan istrinya, maka si istri juga dapat
menuntut cerai kalau ada cukup alasan untuknya. Jika suami berlaku kejam, maka
dia, si istri, dapat meminta cerai (khulu’)
dan tidak dipaksa untuk menerima perlakuan yang sekiranya tak patut baginya.
Sungguh telah sering
terjadi kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan semena-mena atas si istri dalam
masyarakat yang tidak diperkenankan cerai. Istri dengan izin cerai yang
dituntut oleh si istri telah menolong banyak keluarga muslim serta
menghindarkan kesengsaraan atas anak-anak yang disebabkan percekcokan dan
pertikaian antara ayah dan ibu sedangkan kedua pasangan itu tidak dinyatakan
salah terus hidup bersama tanpa bahagia.
Para ulama Maliki menetapkan khulu’ sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwadh” atau “cerai dengan membayar”, sedangkan Ulama
Hanafi berkata bahwa ia menandakan berakhirnya hubungan perkawinan yang
diperkenankan, baik dengan mengucapakan kata khulu’ atau pun kata lain yang
berarti sama.
Para Ulama Syafi’I
berkata, “ia merupakan cerai yang
dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu dan dengan mengucapakan kata cerai
atau khulu”. Ia dapat dicapai melalui kesempatan kedua belah pihak atau
melalui perintah Qodhi agar si istri membayar/memberikan suatu jumlah tertentu
kepada suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah diberikan suaminya sebagai
maharnya.
B.
PETUNJUK
AL-QUR’AN DAN SUNNAH TENTANG KHULU’
Perintah Al-Qur’an
telah menjelaskan bahwa seorang istri berhak menuntut cerai dari suaminya (khulu’), jika dia khawatir kekejamannya.
“ dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz ( kekejaman ) atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,
dan perdamaian itu lebih baik ( bagi mereka ) walaupun manusia itu menurut
tabiat kikir. Dan bila kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara
dirimu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “.(
Q.S. An-Nisa’, 128 ).
Dengan demikian bila
istri merasa khawatir bahwa suaminya tidak menunaikan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh Syari’ah dalam ikatan perkawinan mereka, maka ia dapat
melepaskan diri dari jalinan itu dengan mengembalikan sebagian atau seluruh
harta yang telah diterimanya kepada suaminya, dan kalau mereka telah melakukan
hal ini, maka terjadilah perceraian yang tidak dapat diubah lagi. Tetapi kalau
si istri gagal memberikan pembayaran ini, masih ada cara lain untuk memutuskan
ikatan perkawinan itu melalui “Mubarat”,
yaitu tak ada pembayaran yang harus diberikan, dan perceraian itu sendiri sah,
semata-mata hanya dengan persetujuan kedua belah pihak.
Pembayaran itu
merupakan suatu kesepakatan di antara suami dan istri. Istri boleh
mengembalikan semua atau sebagian dari mas kawin yang telah diterimanya, tetapi
tidak lebih dari mas kawin itu. Seandainya kelebihan itu telah dibayarkan, atau
dia mungkin membuat kesepakatan lain yang menguntungkan pihak suami, sebagai
contoh, merawat anak mereka selama menyusui dua tahun, atau memelihara si anak
selama masa yang ditentukan, maka ia merupakan tanggungan biayanya sendiri,
setelah anak itu dihentikan menyusuinya. Tetapi hal ini harus dilakukan dengan
persetujuan suami.
Anggapan sebagai
contoh, si istri adalah seorang wanita malang yang diperlakukan semena-mena dan
diancam oleh suami kasar yang benar-benar menginginkan agar si istri
mengembalikan seluruh maharnya, maka dia tak perlu mengembalikan seluruh mahar
yang dimintanya. Dia pergi ke Qodhi mengadukan suaminya dan secara resmi
menuntut cerai. Bila pengaduan benar, Qodhi akan memanggil suami agar
menceraikannya. Seandainya si suami menolak melakukannya, maka Qodhi sendiri
yang akan menetapkan perceraian mereka dan akan berlaku sah, serta si suami
berhak memperoleh seluruh mahar yang telah dibayarnya, kalau ada. Hal ini
disebut “Tafriq” atau “perceraian resmi”.
Kasus khulu’ yang
pertama dalam Islam disebutkan oleh Imam Bukhari dalam riwayat berikut : ‘
Istri Tsabit bin Qais datAng mengahadap Nabi SAW dan berkata : “Wahai Rasulullah, Aku tidak marah dengan
Tsabit karena perangai dan agamanya, tetapi aku takut mungkin akan terjadi
sesuatu padaku yang bertentangan dengan Islam, sehingga karenanya aku ingin
berpisah darinya”. Lalu Nabi SAW bersabda : “sudikah engkau mengembalikan kepada Tsabit kebun yang telah
diberikannya kepadamu sebagai mas kawin?” Dia menjawab “ “ya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “sudikah engkau mengembalikan kepada Tsabit
kebun yang telah diberikannya kepadamu sebagai mas kawin?” Dia menjawab “ “ya”. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada
Tsabit: “Ambilah kembali kebunmu, dan
ceraikan dia sekarang juga”. ( H.R. Bukhari).
Hadist ini dengan jelas
menunjukkan bahwa Tsabit tiada tercela, sedangkan permintaan cerai datang dari
istri yang takut bahwa dia tak akan mampu menjalankan perintah yang ditetapkan
Allah, dia tidak dapat menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Di sini
Nabi SAW mengizinkan wanita itu untuk melepaskan dirinya sendiri dengan
mengembalikan maharnya kepada si suami sebagai “ganti rugi” atas pembebasan yang telah diberikan kepadanya.
Semua ulama sependapat
tentang sahnya khulu’. Imam Malik berkata bahwa jika seorang suami memaksa
istrinya untuk melakukan khulu’, maka si istri berhak mendapatkan kembali mas
kawinnya dan perceraian itu akan tetap sah menurut Syariat. Satu-satunya ulama
yang tidak sependapat dengan berlakunya khulu’ ini hanyalah Bikir bin Abdullah
Al-Muzni, seorang sarjana Tabi’in yang terkenal. Menurut Al-Syaukani pendapat
ini bertentangan/keluar dari Ijma; Ulama.
C.
KAPAN
KHULU’ DAPAT DITUNTUT?
Patut dicatat bahwa
khulu’ hanya dapat diminta dalam keadaan yang luar biasa. Ia tak diperkenankan
dengan alasan yang lemah. Hadist Nabi SAW berikut ini mengingatkan kamu wanita
yang meminta khulu’ tanpa alasan yang dapat diterima :
Nabi telah bersabda: “ wanita mana pun yang meminta cerai dari
suaminya tanpa alasan maka diharamkan baginya semerbak surgawi”.
(As_Syaukani, Fath Al-Qadir).
Hasan Al-Basri juga
telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang berbunyi :
“ Wanita yang meminta cerai dan khulu’ adalah
orang-orang yang munafiq “. ( H.R. Baihaqi dalam Al-Sunan Al-kubra ).
Khulu’ Makruh hukumnya
kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah
tak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri ini ( bercerai ). Sedangkan menurut Al-Dasuqi,
hukumnya mubah bukan makruh.
Berikut ini adalah
beberapa alasan di mana istri dapat menuntut cerai dengan wewenang Qodhi. Bila
si istri memiliki hak “Tafriq”, maka
suami tak akan memperoleh “ganti rugi”.
Perceraian mungkin diberikan oleh Qodhi karena :
1.
Perlakuan menyakitkan yang biasa
diterima istri
2.
Tak dipenuhi kewajiban-kewajiban dalam
ikatan perkawinan tersebut
3.
Sakit ingatan
4.
Ketidak mampuan yang tak dapat
disembuhkan
5.
Suami pindah tempat tinggal tanpa
memberitahu istri
6.
Sebab-sebab lain yang serupa yang
menurut pendapat Qodhi dapat dibenarkan untuk bercerai.
D.
PERTIMBANGAN
DAN IDDAH BAGI KHULU’
Begitu kasus tersebut
diajukan ke pengadilan, maka pertama-tama dicoba menyakinkan apakah si istri
benar-benar tidak menyukai suaminya sehingga dia tak dapat hidup lebih lama lagi
bersamanya. Lantas maka harus ditentukan imbalan (ganti rugi) yang dianggap sesuai, lalu suami akan menerimanya dan
menceraikan si istri. Para ulama pada umumnya berpendapat bahwa pertimbalan itu
sepatutnya tidak melebihi mas kawin yang diberikan oleh si suami.
Setelah perceraian
karena khulu’ ditetapkan, maka suami kehilangan hal untuk rujuk (bersatu kembali) karena ia telah ditebus
si istri. Namun mereka diperbolehkan menikah lagi dengan kesepakatan bersama.
Menurut sebagian besar
kaum muslimin, masa iddah bagi istri dalam kasus khulu’ ini sama dengan
perceraian (biasa). Tetapi Abu Daud,
Turmudzi, dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi
SAW menetapkan hanya satu bulan masa iddah bagi si istri setalah perceraian
itu, dan Khalifah Ustman telah memutuskan suatu perkara khulu’ sesuai dengan
ketetapan ini.
Menurut Mazhab Maliki,
khulu’ tidak dibatasi dengan mengucapkan perkataan apa pu. Beberapa kata
lainnya seperti “Fidyah”, “Sulh”, dan “Mubarat” juga dapat dipergunakan. Kata khulu’ itu sendiri terutama
dipergunakan bila seorang wanita meminta untuk melepaskan dirinya sendiri
dengan mengembalikan semua (harta)
yang telah diberikan kepadanya, “Sulh”
lebih merujuk pada pembayaran, “Fidyah” pada pembayaran yang lebih, sedangkan “Mubarat” berarti jatuhnya/hilangnya hak
yang dimiliki si istri atas suaminya. Ibnu Al-Arabi dalam karyanya “Alkam Al-Qur’an” telah menyebutkan bahwa
Imam Malik telah menetapkan “Mubara’ah
yang berarti khulu’ “(melepaskan diri)”
dengan memberikan pembayaran sebelum perkawinan itu purna (mereka belum bercampur), sedangkan istilah khulu’ dipergunakan
setelah bergaul.
E.
KHULU’
SEORANG WANITA YANG SEDANG SEKARAT
Jika seorang wanita
sedang sakit akan mati/sekarat (Maradd
Al-Maut) meminta khulu’ lalu dia meninggal dalam masa iddahnya, khulu’
tetap berlaku sah, dan menurut Mazhab Hanafi, suami yang terdahulu akan
kehilangan hak untuk menerima apa pun, kecuali tiga hal berikut :
1.
Jumlah timbalan yang disepakati karena
khulu’
2.
Sepertiga harta waris setelah
hutang-hutangnya dilunasi
3.
Hartanya sendiri dari warisan
peninggalannya ( si istri ).
Ibnu Rusyd, Ulama
Mazhab Maliki telah meriwayatkan dari Ibn Nafi dari Imam Maliki bahwa khulu’
pada waktu sekarat hanya akan sah ( untuk
menerima bagian ) sepertiga (Tsuluts).
Mazhab Syafi’I juga sependapat dengan sahnya khulu’ pada saat sekarat dan suami
terdahulu akan menerima apa pun yang lebih kecil dari “Maha Al-Mitsil” atau sepertiga dari peninggalan almarhum. Pandangan
Hambali tentang hal ini sama dengan pendirian Maliki.
Khulu’ yang diminta
oleh orang lain selain istri akan dianggap tiada dan tertolak menurut Mazhab
Zhahiri dan Hambali dan Syafi’i. dikatakan dalam “Al-Muhalla” bahwa khulu’ yang diminta oleh ayah (si wanita) tertolak. Begitu juga, tak
seorangpun yang diperkenankan menuntut khulu’ atas nama seseorang wanita yang
sakit ingatan, berubah akalnya atau seoarang perempuan atau siapa pun. Menurut
Mazhab Syafi’I, tak ada perbedaan apakah khulu’ itu diminta oleh ayah, wali si
istri, atau orang lain sekalipun. Sedangkan Mazhab Hanafi berkata bahwa baik
ayah atau orang asing hanya dapat memintakan khulu’ dengan seizing wanita
tersebut.
Menurut Mazhab Maliki,
khulu’ yang diminta oleh kanak-kanak, atau wanita yang sakit ingatan tidak sah.
Bila ayah yang meminta atas nama anak perempuannya yang masih kecil atau sakit
ingatan, maka khulu’ akan sah baik tebusannya dari harta si ayah atau dari
milik putrinya, juga apakah harta itu diperoleh dengan persetujuan atau kah
tanpa persetujuan anaknya. Sedangkan Mazhab Hanafi menganggap khulu’ yang
diminta oleh seorang wanita yang sakit atau masih kanak-kanak, belum “Mumayyiz”, tertolak.
F.
DAPATKAH
KHULU’ DIBERIKAN SETIAP WAKTU?
Sejak semula telah
dikatakan dengan jelas bahwa persyaratan yang diterapkan pada perceraian karena
thalaq juga dapat dipergunakan dalam khulu’. Namun ada perbedaan pendapat
mengenai khulu’ yang diberikan pada waktu Haid. Menurut “Mukhtasar Al-Nafi”, “khulu’ hanya dapat diberikan pada saat suci (Thuhur)”.
Para Ahli Ibadah
berkeyakinan bahwa menceraikan wanita seaktu haid merupakan Bid’ah (hal-hal yang mengada-ada dan terlarang).
Ulama Hanafi menganggapnya makruh, tetapi sarjana terkemuka, Ibn ‘Abidin, berkata
bahwa ia tidak makruh sama sekali (lihat
Hasyiyah Ibn Abidin), karena Rasulullah SAW tidak menanyakan hal itu kepada
istri Tsabit bin Qais ketika diberikan khulu’ kepadanya dengan peraturan Nabi
SAW.
Al-Kharasyi, Ulama
Maliki, berkata bahwa bila wanita ingin memperoleh khulu’ dengan pembayaran (tebusan), maka merupakan haknya untuk
melakukan yang sedemikian itu sekalipun pada masa Haid. Sedangkan para Ulama
Hambali berkata bahwa karena khulu’ terjadi dengan persetujuan kedua pasangan
yang menikah itu, maka tak ada bahayanya meskipun ia dilakukan sewaktu Haid.
BAB III
SURAT GUGATAN
CERAI GUGAT
Perihal : Gugatan
|
Bukittinggi, 10 April 2009
Kepada
Yth. Bapak Ketua Pengadilan Agama
Bukittinggi
Di
BUKITTINGGI
|
Dengan segala hormat,
Saya yang
bertanda tangan di bawah ini mempermaklumkan
ARYANTI WULANDARI,
Spd , Umur ± 35 tahun, Suku Piliang, Pekerjaan Guru,
Agama Islam, Tempat Tinggal di Pekan Kamis, Kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Tilatang
Kamang, Kabupaten Agam, untuk selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT ;
Perantaraan
surat ini mengajukan gugatan terhadap :
Drs. WISNU SIMANJUNTAK , Umur ± 40
tahun, Suku Simabuau, Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, Tempat Tinggal di Pekan
Kamis, Kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, untuk
selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT
;
ADAPUN DUDUK PERMASALAHANNYA ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
-
Bahwa
Penggugat dan Tergugat dinikahkan secara Undang-undang di Kantor Urusan Agama
pada tahun 1999 ;
-
Bahwa
dari perkawinan mana telah lahir 2 ( dua
) orang putera puteri, masing-masing bernama
- RATIH AULIA FITRI, kini berumur 8 tahun ;
- DONI ABDI CHANDRA, kini berumur 5 tahun.
-
Bahwa
semuanya masih hidup dan tinggal bersama Ibunya/ Penggugat di Pekan Kamis ;
-
Bahwa
pada mulanya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dapat dikatakan rukun,
yaitu dari tahun 1999 sampai tahun 2007, justru karena Tergugat tetap tinggal
bersama Penggugat atau selalu mendampingi Penggugat di mana juga tempatnya
penggugat bertugas sebagai seorang pengajar disalah satu Sekolah Dasar di Pekan
Kamis ;
-
Bahwa
pada tahun 2005 bisnis Tergugat yaitu berdagang di salah satu Toko di wilayah Pasar
Atas mulai macet dan membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menambah
omsetnya kembali ;
-
Bahwa
sampai dengan tahun 2006 ini Tergugat pergi pulang kekampung halamannya yaitu
di daerah Pasaman untuk meminjam uang kepada orang tuanya;
-
Bahwa
usaha yang dilakukan Tergugat untuk meminjam uang kepada orang tuanya
membuahkan hasil tapi orang tua tergugat meminta kepada Tergugat satu syarat ;
-
Bahwa
syarat yang diminta orang tua Tergugat berupa kembali Tergugat untuk memeluk
agama nya yang semula ( Kristen ) ;
-
Bahwa
dengan kejadian tersebut Tergugat menyampaikan permintaan orang tuanya kepada
Penggugat dan Penggugat menjadi berang kenapa karna kebutuhan uang Tergugat mau
semudah itu untuk pindah Agama ;
-
Bahwa
Penggugat dengan tidak mempunyai niat untuk menceraikan Tergugat karna mereka
telah mempunyai putra-putri yang beranjak besar dan memerlukan perhatian dari
kedua orang tuanya. Dengan usaha keras Penggugat meyakinkan Tergugat untuk
supaya tidak menerima saja bantuan dari orang tuanya, karna dibalik cobaan yang
dihadapinya sekarang ini pasti ada hikmahnya dari Allah ;
-
Bahwa
usaha yang dilakukan oleh Penggugat tidak membuahkan hasil, karna Tergugat
tidak mau jadi pengangguran.
-
Bahwa
dengan kejadian ini permintaan cerai datang dari Penggugat
yang takut bahwa Penggugat tak akan mampu menjalankan perintah yang ditetapkan
Allah, Penggugat tidak dapat menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri ;
-
Bahwa dengan datangnya cerai gugat ini
Penggugat berjanji akan mengembalikan mahar yang diterimanya ;
-
Bahwa
untuk ini sebelum dinyatakan putusnya nikah antara Penggugat dengan Tergugat
kerana tidak ada persesuaian di dalam rumah tangga, Penggugat memintakan pula
kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Bukittinggi Cq. Majelis Hakim yang
menyidangkan perkara ini agar anak-anak tersebut dipelihara / diasuh oleh
Penggugat ;
-
Bahwa
oleh karena gugatan ini Penggugat ajukan dengan dasar hukum yang kuat, maka
sewajarnyalah segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Tergugat
;
Berdasarkan atas hal-hal yang telah Penggugat sampaikan tersebut, Penggugat
mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Bukittinggi untuk memanggil kami
kedua belah pihak menghadap persidangan Pengadilan Agama Bukittinggi pada hari,
waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk itu dan selanjutnya mohon putusan
yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
PRIMAIR
:
1.
Mengabulkan
isi gugatan Penggugat seluruhnya ;
2.
Menyatakan
menerima gugatan Penggugat ;
3.
Menyatakan
putusnya nikah antara Penggugat dengan Tergugat yang berlangsung di Kantor
Urusan Agama di Pekan Kamis tahun 1999, karena perceraian ;
4.
Menyatakan
anak-anak :
- RATIH AULIA FITRI;
- DONI ABDI CHANDRA;
dikembalikan kepada Penggugat untuk mendapat asuhan dan
pemeliharaan yang layak dan wajar ;
3.
Biaya
yang timbul dalam perkara ini, supaya dibebankan kepada Tergugat sendiri ;
SUBSIDAIR
:
-
Mohon putusan yang seadil-adilnya ;
HORMAT PENGGUGAT,
ARYANTI WULANDARI,
Spd
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan