Tuesday, December 13, 2016

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

0 komentar

BAB I
CERAI GUGAT

Perceraian yang dilakukan dengan putusan Pengadilan Agama adalah perceraian yang dilakukan berdasarkan suatu gugatan perceraian oleh istri. Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat diminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian ( BP4 ) setempat. Bila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan lagi gugatan perceraian yang baru berdasarkan alasan-alasan yang sama, oleh sang istri ( pasal 30 PMA Nomor 3 Tahun 1975 ).

Tata cara perceraian yang berhubungan dengan gugatan, dilakukan sebagaimana pasal 28 PMA Nomor 3 Tahun 1975. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penitera Pengadilan Agama segera setelah perceraian itu diputuskan menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing suami istri yang bersangkutan. Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 ( tujuh ) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.

Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirim Putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatatan Nikah di daerah temapat tinggal istri untuk diadakan pencatatan. Panitera Pengadilan Agama memberikan surat keterangan kepada masing-masing suami istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut pada ayat ( 1 ) pasal 31 PMA Nomor 3 Tahun 1975 ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan.
Bekas suami dan bekas istri atau kuasanya dengan membawa surat keterangan tersebut di atas datang kepada Pegawai Pencatatan Nikah di daerah tempat tinggal istri untuk mendapatkan kutipan buku pendaftaran cerai atau KBPC dan Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan akta nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai (pasal 30, 31 peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975).

 

BAB II
KHULU’ : CERAI ATAS PERMINTAAN ISTRI


A.      DEFINISI KHULU’

Khulu’ berasal dari “khulu’ Al-Tsaub” berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki, dan sebaliknya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an : “mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki), dan kamipun adalah pakaian bagi mereka (wanita)”. (Q.S. 2:187).

Sama dengan hak yang diberikan bagi suami untuk menceraikan istrinya, maka si istri juga dapat menuntut cerai kalau ada cukup alasan untuknya. Jika suami berlaku kejam, maka dia, si istri, dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa untuk menerima perlakuan yang sekiranya tak patut baginya.

Sungguh telah sering terjadi kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan semena-mena atas si istri dalam masyarakat yang tidak diperkenankan cerai. Istri dengan izin cerai yang dituntut oleh si istri telah menolong banyak keluarga muslim serta menghindarkan kesengsaraan atas anak-anak yang disebabkan percekcokan dan pertikaian antara ayah dan ibu sedangkan kedua pasangan itu tidak dinyatakan salah terus hidup bersama tanpa bahagia.

Para  ulama Maliki menetapkan khulu’ sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwadh” atau “cerai dengan membayar”, sedangkan Ulama Hanafi berkata bahwa ia menandakan berakhirnya hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik dengan mengucapakan kata khulu’ atau pun kata lain yang berarti sama.

Para Ulama Syafi’I berkata, “ia merupakan cerai yang dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu dan dengan mengucapakan kata cerai atau khulu”. Ia dapat dicapai melalui kesempatan kedua belah pihak atau melalui perintah Qodhi agar si istri membayar/memberikan suatu jumlah tertentu kepada suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah diberikan suaminya sebagai maharnya.


B.       PETUNJUK AL-QUR’AN DAN SUNNAH TENTANG KHULU’
Perintah Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa seorang istri berhak menuntut cerai dari suaminya (khulu’), jika dia khawatir kekejamannya.

  
dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz ( kekejaman ) atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik ( bagi mereka ) walaupun manusia itu menurut tabiat kikir. Dan bila kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “.( Q.S. An-Nisa’, 128 ).

Dengan demikian bila istri merasa khawatir bahwa suaminya tidak menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Syari’ah dalam ikatan perkawinan mereka, maka ia dapat melepaskan diri dari jalinan itu dengan mengembalikan sebagian atau seluruh harta yang telah diterimanya kepada suaminya, dan kalau mereka telah melakukan hal ini, maka terjadilah perceraian yang tidak dapat diubah lagi. Tetapi kalau si istri gagal memberikan pembayaran ini, masih ada cara lain untuk memutuskan ikatan perkawinan itu melalui “Mubarat”, yaitu tak ada pembayaran yang harus diberikan, dan perceraian itu sendiri sah, semata-mata hanya dengan persetujuan kedua belah pihak.

Pembayaran itu merupakan suatu kesepakatan di antara suami dan istri. Istri boleh mengembalikan semua atau sebagian dari mas kawin yang telah diterimanya, tetapi tidak lebih dari mas kawin itu. Seandainya kelebihan itu telah dibayarkan, atau dia mungkin membuat kesepakatan lain yang menguntungkan pihak suami, sebagai contoh, merawat anak mereka selama menyusui dua tahun, atau memelihara si anak selama masa yang ditentukan, maka ia merupakan tanggungan biayanya sendiri, setelah anak itu dihentikan menyusuinya. Tetapi hal ini harus dilakukan dengan persetujuan suami.

Anggapan sebagai contoh, si istri adalah seorang wanita malang yang diperlakukan semena-mena dan diancam oleh suami kasar yang benar-benar menginginkan agar si istri mengembalikan seluruh maharnya, maka dia tak perlu mengembalikan seluruh mahar yang dimintanya. Dia pergi ke Qodhi mengadukan suaminya dan secara resmi menuntut cerai. Bila pengaduan benar, Qodhi akan memanggil suami agar menceraikannya. Seandainya si suami menolak melakukannya, maka Qodhi sendiri yang akan menetapkan perceraian mereka dan akan berlaku sah, serta si suami berhak memperoleh seluruh mahar yang telah dibayarnya, kalau ada. Hal ini disebut “Tafriq” atau “perceraian resmi”.

Kasus khulu’ yang pertama dalam Islam disebutkan oleh Imam Bukhari dalam riwayat berikut : ‘ Istri Tsabit bin Qais datAng mengahadap Nabi SAW dan berkata : “Wahai Rasulullah, Aku tidak marah dengan Tsabit karena perangai dan agamanya, tetapi aku takut mungkin akan terjadi sesuatu padaku yang bertentangan dengan Islam, sehingga karenanya aku ingin berpisah darinya”. Lalu Nabi SAW bersabda : “sudikah engkau mengembalikan kepada Tsabit kebun yang telah diberikannya kepadamu sebagai mas kawin?” Dia menjawab “ “ya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “sudikah engkau mengembalikan kepada Tsabit kebun yang telah diberikannya kepadamu sebagai mas kawin?” Dia menjawab “ “ya”. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada Tsabit: “Ambilah kembali kebunmu, dan ceraikan dia sekarang juga”. ( H.R. Bukhari).

Hadist ini dengan jelas menunjukkan bahwa Tsabit tiada tercela, sedangkan permintaan cerai datang dari istri yang takut bahwa dia tak akan mampu menjalankan perintah yang ditetapkan Allah, dia tidak dapat menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Di sini Nabi SAW mengizinkan wanita itu untuk melepaskan dirinya sendiri dengan mengembalikan maharnya kepada si suami sebagai “ganti rugi” atas pembebasan yang telah diberikan kepadanya.

Semua ulama sependapat tentang sahnya khulu’. Imam Malik berkata bahwa jika seorang suami memaksa istrinya untuk melakukan khulu’, maka si istri berhak mendapatkan kembali mas kawinnya dan perceraian itu akan tetap sah menurut Syariat. Satu-satunya ulama yang tidak sependapat dengan berlakunya khulu’ ini hanyalah Bikir bin Abdullah Al-Muzni, seorang sarjana Tabi’in yang terkenal. Menurut Al-Syaukani pendapat ini bertentangan/keluar dari Ijma; Ulama.


C.      KAPAN KHULU’ DAPAT DITUNTUT?
Patut dicatat bahwa khulu’ hanya dapat diminta dalam keadaan yang luar biasa. Ia tak diperkenankan dengan alasan yang lemah. Hadist Nabi SAW berikut ini mengingatkan kamu wanita yang meminta khulu’ tanpa alasan yang dapat diterima :

Nabi telah bersabda: “ wanita mana pun yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka diharamkan baginya semerbak surgawi”. (As_Syaukani, Fath Al-Qadir).

Hasan Al-Basri juga telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang berbunyi :
Wanita  yang meminta cerai dan khulu’ adalah orang-orang yang munafiq “. ( H.R. Baihaqi dalam Al-Sunan Al-kubra ).

Khulu’ Makruh hukumnya kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah tak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri ini ( bercerai ). Sedangkan menurut Al-Dasuqi, hukumnya mubah bukan makruh.

Berikut ini adalah beberapa alasan di mana istri dapat menuntut cerai dengan wewenang Qodhi. Bila si istri memiliki hak “Tafriq”, maka suami tak akan memperoleh “ganti rugi”.

Perceraian mungkin diberikan oleh Qodhi karena :
1.        Perlakuan menyakitkan yang biasa diterima istri
2.        Tak dipenuhi kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan tersebut
3.        Sakit ingatan
4.        Ketidak mampuan yang tak dapat disembuhkan
5.        Suami pindah tempat tinggal tanpa memberitahu istri
6.        Sebab-sebab lain yang serupa yang menurut pendapat Qodhi dapat dibenarkan untuk bercerai.


D.      PERTIMBANGAN DAN IDDAH BAGI KHULU’
Begitu kasus tersebut diajukan ke pengadilan, maka pertama-tama dicoba menyakinkan apakah si istri benar-benar tidak menyukai suaminya sehingga dia tak dapat hidup lebih lama lagi bersamanya. Lantas maka harus ditentukan imbalan (ganti rugi) yang dianggap sesuai, lalu suami akan menerimanya dan menceraikan si istri. Para ulama pada umumnya berpendapat bahwa pertimbalan itu sepatutnya tidak melebihi mas kawin yang diberikan oleh si suami.

Setelah perceraian karena khulu’ ditetapkan, maka suami kehilangan hal untuk rujuk (bersatu kembali) karena ia telah ditebus si istri. Namun mereka diperbolehkan menikah lagi dengan kesepakatan bersama.
Menurut sebagian besar kaum muslimin, masa iddah bagi istri dalam kasus khulu’ ini sama dengan perceraian (biasa). Tetapi Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW menetapkan hanya satu bulan masa iddah bagi si istri setalah perceraian itu, dan Khalifah Ustman telah memutuskan suatu perkara khulu’ sesuai dengan ketetapan ini.

Menurut Mazhab Maliki, khulu’ tidak dibatasi dengan mengucapkan perkataan apa pu. Beberapa kata lainnya seperti “Fidyah”, “Sulh”, dan “Mubarat” juga dapat dipergunakan. Kata khulu’ itu sendiri terutama dipergunakan bila seorang wanita meminta untuk melepaskan dirinya sendiri dengan mengembalikan semua (harta) yang telah diberikan kepadanya, “Sulh” lebih merujuk pada pembayaran, “Fidyah” pada pembayaran yang lebih, sedangkan “Mubarat” berarti jatuhnya/hilangnya hak yang dimiliki si istri atas suaminya. Ibnu Al-Arabi dalam karyanya “Alkam Al-Qur’an” telah menyebutkan bahwa Imam Malik telah menetapkan “Mubara’ah yang berarti khulu’ “(melepaskan diri)” dengan memberikan pembayaran sebelum perkawinan itu purna (mereka belum bercampur), sedangkan istilah khulu’ dipergunakan setelah bergaul.


E.       KHULU’ SEORANG WANITA YANG SEDANG SEKARAT
Jika seorang wanita sedang sakit akan mati/sekarat (Maradd Al-Maut) meminta khulu’ lalu dia meninggal dalam masa iddahnya, khulu’ tetap berlaku sah, dan menurut Mazhab Hanafi, suami yang terdahulu akan kehilangan hak untuk menerima apa pun, kecuali tiga hal berikut :

1.        Jumlah timbalan yang disepakati karena khulu’
2.        Sepertiga harta waris setelah hutang-hutangnya dilunasi
3.        Hartanya sendiri dari warisan peninggalannya ( si istri ).

Ibnu Rusyd, Ulama Mazhab Maliki telah meriwayatkan dari Ibn Nafi dari Imam Maliki bahwa khulu’ pada waktu sekarat hanya akan sah ( untuk menerima bagian ) sepertiga (Tsuluts). Mazhab Syafi’I juga sependapat dengan sahnya khulu’ pada saat sekarat dan suami terdahulu akan menerima apa pun yang lebih kecil dari “Maha Al-Mitsil” atau sepertiga dari peninggalan almarhum. Pandangan Hambali tentang hal ini sama dengan pendirian Maliki.

Khulu’ yang diminta oleh orang lain selain istri akan dianggap tiada dan tertolak menurut Mazhab Zhahiri dan Hambali dan Syafi’i. dikatakan dalam “Al-Muhalla” bahwa khulu’ yang diminta oleh ayah (si wanita) tertolak. Begitu juga, tak seorangpun yang diperkenankan menuntut khulu’ atas nama seseorang wanita yang sakit ingatan, berubah akalnya atau seoarang perempuan atau siapa pun. Menurut Mazhab Syafi’I, tak ada perbedaan apakah khulu’ itu diminta oleh ayah, wali si istri, atau orang lain sekalipun. Sedangkan Mazhab Hanafi berkata bahwa baik ayah atau orang asing hanya dapat memintakan khulu’ dengan seizing wanita tersebut.

Menurut Mazhab Maliki, khulu’ yang diminta oleh kanak-kanak, atau wanita yang sakit ingatan tidak sah. Bila ayah yang meminta atas nama anak perempuannya yang masih kecil atau sakit ingatan, maka khulu’ akan sah baik tebusannya dari harta si ayah atau dari milik putrinya, juga apakah harta itu diperoleh dengan persetujuan atau kah tanpa persetujuan anaknya. Sedangkan Mazhab Hanafi menganggap khulu’ yang diminta oleh seorang wanita yang sakit atau masih kanak-kanak, belum “Mumayyiz”, tertolak.


F.       DAPATKAH KHULU’ DIBERIKAN SETIAP WAKTU?
Sejak semula telah dikatakan dengan jelas bahwa persyaratan yang diterapkan pada perceraian karena thalaq juga dapat dipergunakan dalam khulu’. Namun ada perbedaan pendapat mengenai khulu’ yang diberikan pada waktu Haid. Menurut “Mukhtasar Al-Nafi”, “khulu’ hanya dapat diberikan pada saat suci (Thuhur)”.

Para Ahli Ibadah berkeyakinan bahwa menceraikan wanita seaktu haid merupakan Bid’ah (hal-hal yang mengada-ada dan terlarang). Ulama Hanafi menganggapnya makruh, tetapi sarjana terkemuka, Ibn ‘Abidin, berkata bahwa ia tidak makruh sama sekali (lihat Hasyiyah Ibn Abidin), karena Rasulullah SAW tidak menanyakan hal itu kepada istri Tsabit bin Qais ketika diberikan khulu’ kepadanya dengan peraturan Nabi SAW.

Al-Kharasyi, Ulama Maliki, berkata bahwa bila wanita ingin memperoleh khulu’ dengan pembayaran (tebusan), maka merupakan haknya untuk melakukan yang sedemikian itu sekalipun pada masa Haid. Sedangkan para Ulama Hambali berkata bahwa karena khulu’ terjadi dengan persetujuan kedua pasangan yang menikah itu, maka tak ada bahayanya meskipun ia dilakukan sewaktu Haid.




BAB III
SURAT GUGATAN
CERAI GUGAT



Perihal : Gugatan

          Bukittinggi, 10 April 2009

          Kepada
Yth.   Bapak Ketua Pengadilan Agama
          Bukittinggi
          Di
                 BUKITTINGGI

Dengan segala hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini mempermaklumkan

ARYANTI  WULANDARI, Spd , Umur ± 35 tahun, Suku Piliang, Pekerjaan Guru, Agama Islam, Tempat Tinggal di Pekan Kamis, Kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, untuk selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT ;

Perantaraan surat ini mengajukan gugatan terhadap :

Drs. WISNU SIMANJUNTAK , Umur ± 40 tahun, Suku Simabuau, Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, Tempat Tinggal di Pekan Kamis, Kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT ;


ADAPUN DUDUK PERMASALAHANNYA ADALAH SEBAGAI BERIKUT :

-          Bahwa Penggugat dan Tergugat dinikahkan secara Undang-undang di Kantor Urusan Agama pada tahun 1999 ;
-          Bahwa dari perkawinan mana telah lahir 2 ( dua ) orang putera puteri, masing-masing bernama
  1. RATIH AULIA FITRI, kini berumur 8 tahun ;
  2. DONI ABDI CHANDRA, kini berumur 5 tahun.

-          Bahwa semuanya masih hidup dan tinggal bersama Ibunya/ Penggugat di Pekan Kamis ;
-          Bahwa pada mulanya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dapat dikatakan rukun, yaitu dari tahun 1999 sampai tahun 2007, justru karena Tergugat tetap tinggal bersama Penggugat atau selalu mendampingi Penggugat di mana juga tempatnya penggugat bertugas sebagai seorang pengajar disalah satu Sekolah Dasar di Pekan Kamis ;
-          Bahwa pada tahun 2005 bisnis Tergugat yaitu berdagang di salah satu Toko di wilayah Pasar Atas mulai macet dan membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menambah omsetnya kembali ;
-          Bahwa sampai dengan tahun 2006 ini Tergugat pergi pulang kekampung halamannya yaitu di daerah Pasaman untuk meminjam uang kepada orang tuanya;
-          Bahwa usaha yang dilakukan Tergugat untuk meminjam uang kepada orang tuanya membuahkan hasil tapi orang tua tergugat meminta kepada Tergugat satu syarat ;
-          Bahwa syarat yang diminta orang tua Tergugat berupa kembali Tergugat untuk memeluk agama nya yang semula ( Kristen ) ;
-          Bahwa dengan kejadian tersebut Tergugat menyampaikan permintaan orang tuanya kepada Penggugat dan Penggugat menjadi berang kenapa karna kebutuhan uang Tergugat mau semudah itu untuk pindah Agama ;
-          Bahwa Penggugat dengan tidak mempunyai niat untuk menceraikan Tergugat karna mereka telah mempunyai putra-putri yang beranjak besar dan memerlukan perhatian dari kedua orang tuanya. Dengan usaha keras Penggugat meyakinkan Tergugat untuk supaya tidak menerima saja bantuan dari orang tuanya, karna dibalik cobaan yang dihadapinya sekarang ini pasti ada hikmahnya dari Allah ;
-          Bahwa usaha yang dilakukan oleh Penggugat tidak membuahkan hasil, karna Tergugat tidak mau jadi pengangguran.
-          Bahwa dengan kejadian ini permintaan cerai datang dari Penggugat yang takut bahwa Penggugat tak akan mampu menjalankan perintah yang ditetapkan Allah, Penggugat tidak dapat menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri ;
-          Bahwa dengan datangnya cerai gugat ini Penggugat berjanji akan mengembalikan mahar yang diterimanya ;
-          Bahwa untuk ini sebelum dinyatakan putusnya nikah antara Penggugat dengan Tergugat kerana tidak ada persesuaian di dalam rumah tangga, Penggugat memintakan pula kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Bukittinggi Cq. Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini agar anak-anak tersebut dipelihara / diasuh oleh Penggugat ;
-          Bahwa oleh karena gugatan ini Penggugat ajukan dengan dasar hukum yang kuat, maka sewajarnyalah segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Tergugat ;

Berdasarkan atas hal-hal yang telah Penggugat sampaikan tersebut, Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Bukittinggi untuk memanggil kami kedua belah pihak menghadap persidangan Pengadilan Agama Bukittinggi pada hari, waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk itu dan selanjutnya mohon putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

PRIMAIR :

1.      Mengabulkan isi gugatan Penggugat seluruhnya ;
2.      Menyatakan menerima gugatan Penggugat ;
3.      Menyatakan putusnya nikah antara Penggugat dengan Tergugat yang berlangsung di Kantor Urusan Agama di Pekan Kamis tahun 1999, karena perceraian ;
4.      Menyatakan anak-anak :
  1. RATIH AULIA FITRI;
  2. DONI ABDI CHANDRA;
dikembalikan kepada Penggugat untuk mendapat asuhan dan pemeliharaan yang layak dan wajar ;
3.        Biaya yang timbul dalam perkara ini, supaya dibebankan kepada Tergugat sendiri ;


SUBSIDAIR :
-          Mohon putusan yang seadil-adilnya ;


HORMAT PENGGUGAT,


ARYANTI  WULANDARI, Spd


0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan