AZAZ-AZAZ
HUKUM ACARA PERDATA
1.
Hakim
Bersifat Menunggu
Makna dari azaz hakim bersifat
menunggu ini ialah bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak, sepenuhnya
diserahkan kepada yang berkepentingan. Apakah aka ada proses atau tidak, apakah
suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak sepenuhnya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak maka
tidak ada hakim. Jadi hakim hanya bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang
diajukan kepadanya. Akan tetapi sekali tuntutan hak ( perkara ) diajukan
kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya sekalipun
dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas ( pasal 16 ayat 1 UU No. 4
Tahun 2004 ). Larangan menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara disebabkan
anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius
curia novit ). Kalau sekiranya tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka
hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Dalam kenyataannya tidak dapat
diharapkan bahwa seorang Hakim mengetahui segala peraturan hukum. Seperti telah
diuraikan dimuka, bahwa pada hakekatnya seorang Hakim hanya diharapkan atau
diminta untuk mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa, maka pada hakekatnya
Hakim tidak perlu tahu akan hukum nya. Hukum atau peraturannya dapat ditanyakan
kepada ahlinya. Akan tetapi berhubung dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu lintas hukum, dan mengingat kedudukan
Hakim atau Pengadilan adalah merupakan tempat atau alternative terakhir bagi
para pencari keadilan, maka Hakim dianggap tahu akan hukum.
2.
Hakim
Pasif
Yang dimaksud dengan Hakim pasif
ialah Hakim tidak mmenentukan luas pokok permasalahan yang disengketakan oleh para
pihak yang berpekara. Ruang lingkup atau luas pokok persoalan yang
disengketakan para pihak itu sendiri dan bukanlah oleh Hakim. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan ( Yustisiabelen
) dan berusaha mengatasi segala hambatan demi tercapainya peradilan. Hanya
peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada
peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada
peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak dan para pihaklah
yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukanlah hakim. ( azaz Verhandlungsmaxime ).
Hakim wajib mengadili seluruh
gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
mengabulkan lebih dari apa yang dituntut ( pasal 178 ayat 2 atau pasal 189 ayat
2 dan 3 Rbg ). Akan tetapi pengertian Hakim pasif bukan berarti Hakim tidak
aktif. Selaku pimpinan sidang, Hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara,
bukan sekedar sebagai pegawai atau alat dari para pihak, Hakim harus berusaha
semaksimal mungkin mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya
peradilan. Hakim berhak memberi nasehat kepada para pihak dan menunjukan upaya
hukum dan memberi keterangan kepada mereka ( pasal 132 HIR-pasal 156 Rbg ).
Hakim sebagai tempat pelarian
terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum,
bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi masyarakat. Dari
padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan
martabatnya serta wibawanya. Diharapkan dari Hakim sebagai orang yang
bijaksana, aktif dalam pemecahan masalah.
3.
Sifat
Terbuka Persidangan
Untuk lebih menjamin obyektivitas
peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair.
4.
Mendengar
Kedua Belah Pihak
Kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan sama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membedakan orang.
5.
Putusan
Harus Disertai Alasan-Alasan
Semua putusan pengadilan harus
memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili ( pasal 23 UU
14/1970, 184 ayat 1, 319 HIR, 618 Rbg ). Alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban Hakim dari pada putusannya terhadap
masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga
oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah
maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu yang
menjatuhkannya.
Betapa pentingnya alasan-alasan
sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan M.A yang
menetapkannya, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan ( onvoldoende gemotiveerd
) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
Untuk lebih dapat mmpertanggung
jawabkan putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu
pengetahuan.
Mencari dukungan pada yurisprudensi
tidak berarti bahwa Hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai
perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh M.A, P.T atau yang telah
pernah diputuskannya sendiri saja. Walaupun kita pada asasnya tidak menganut
azaz “the binding force of precedent”,
namun memang janggal kirannya kalau Hakim memutuskan bertentangan dengan
putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan atasannya mengenai perkara
yang sejenis, karena lalu menunjukkan tidak adanya kepastian hukum. Tetapi
sbaliknya Hakim harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia harus berani pada
suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya sudah using
dan tidak lagi sesuai dengan zaman atau keadaan masyarakat.
6.
Ber
Acara Dikenakan Biaya
Untuk berpekara pada asasnya
dikenakan biaya ( pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2 UU 14/1970, 121 ayat 4, 182, 183 HIR,
145 ayat 4, 192-194 Rbg ).
Biaya perkara ini meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya
materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus
pula dikeluarkan biaya. Bagi mereka mampu untuk membayar perkara, dapat
mengajukan perkara secara Cuma-Cuma ( prodeo
) dengan mendapakan izin untuk dibebaskan dari pembayaran/biaya perkara, dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi ( pasal
237 HIR, 273 Rbg ). Di dalam praktek surat keterangan itu cukup dibuat oleh Camat
yang membawahkan daerah tempat yang berkepentingan tinggal.
Permohonan perkara secara prodeo
akan ditolak oleh Pengadilan apabila Penggugat ternyata bukan orang yang tidak
mampu.
7.
Tidak
Ada Keharusan Mewakililkan
HIR tidak mewajibkan para pihak
untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi
secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para
pihak dapat dibantu/diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya ( pasal 123
HIR, 147 Rbg ). Dengan demikian Hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang
diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan
secara langsung Hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, para
pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya.
Sebaliknya adanya seorang wakil
mempunyai manfaat juga. Orang yang belum pernah berhubungan dengan Pengadilan
dan harus berpekara, biasanya gugup menghadapi Hakim, maka seorang
wakil/pembantu sangat bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tau akan hukumnya
dan mempunyai iktiad baik, merupakan bantuan yang tidak kecil bagi Hakim dalam
memeriksa suatu perkara, karna memberi sumbangan pikiran dalam memecahkan
persoalan-persoalan hukum. Karna tau akan hukumnya maka wakil ini akan
mengemukakan peristiwa-peristiwa yang relatif saja bagi hukum. Hal ini akan
memperlancar jalannya peradilan. Bagi para pihak yang buta hukum sama sekali,
sehingga menjadi sasaran penipuan/perlakuan sewenang-wenang/tidak layak,
seorang wakil yang tau akan hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak fair
tersebut.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan