Thursday, December 8, 2016

AZAZ-AZAZ HUKUM ACARA PERDATA

0 komentar

AZAZ-AZAZ HUKUM ACARA PERDATA
1.        Hakim Bersifat Menunggu
Makna dari azaz hakim bersifat menunggu ini ialah bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak, sepenuhnya diserahkan kepada yang berkepentingan. Apakah aka ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak maka tidak ada hakim. Jadi hakim hanya bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Akan tetapi sekali tuntutan hak ( perkara ) diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya sekalipun dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas ( pasal 16 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 ). Larangan menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curia novit ). Kalau sekiranya tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam kenyataannya tidak dapat diharapkan bahwa seorang Hakim mengetahui segala peraturan hukum. Seperti telah diuraikan dimuka, bahwa pada hakekatnya seorang Hakim hanya diharapkan atau diminta untuk mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa, maka pada hakekatnya Hakim tidak perlu tahu akan hukum nya. Hukum atau peraturannya dapat ditanyakan kepada ahlinya. Akan tetapi berhubung dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu lintas hukum, dan mengingat kedudukan Hakim atau Pengadilan adalah merupakan tempat atau alternative terakhir bagi para pencari keadilan, maka Hakim dianggap tahu akan hukum.

2.        Hakim Pasif
Yang dimaksud dengan Hakim pasif ialah Hakim tidak mmenentukan luas pokok permasalahan yang disengketakan oleh para pihak yang berpekara. Ruang lingkup atau luas pokok persoalan yang disengketakan para pihak itu sendiri dan bukanlah oleh Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan ( Yustisiabelen ) dan berusaha mengatasi segala hambatan demi tercapainya peradilan. Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak dan para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukanlah hakim. ( azaz Verhandlungsmaxime ).

Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari apa yang dituntut ( pasal 178 ayat 2 atau pasal 189 ayat 2 dan 3 Rbg ). Akan tetapi pengertian Hakim pasif bukan berarti Hakim tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, Hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara, bukan sekedar sebagai pegawai atau alat dari para pihak, Hakim harus berusaha semaksimal mungkin mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan. Hakim berhak memberi nasehat kepada para pihak dan menunjukan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka ( pasal 132 HIR-pasal 156 Rbg ).

Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi masyarakat. Dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta wibawanya. Diharapkan dari Hakim sebagai orang yang bijaksana, aktif dalam pemecahan masalah.

3.        Sifat Terbuka Persidangan
Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair.

4.        Mendengar Kedua Belah Pihak
Kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan sama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.

5.        Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili ( pasal 23 UU 14/1970, 184 ayat 1, 319 HIR, 618 Rbg ). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban Hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu yang menjatuhkannya.

Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan M.A yang menetapkannya, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan ( onvoldoende gemotiveerd ) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.

Untuk lebih dapat mmpertanggung jawabkan putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.

Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa Hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh M.A, P.T atau yang telah pernah diputuskannya sendiri saja. Walaupun kita pada asasnya tidak menganut azaz “the binding force of precedent”, namun memang janggal kirannya kalau Hakim memutuskan bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan atasannya mengenai perkara yang sejenis, karena lalu menunjukkan tidak adanya kepastian hukum. Tetapi sbaliknya Hakim harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang  hidup dalam masyarakat. Ia harus berani pada suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya sudah using dan tidak lagi sesuai dengan zaman atau keadaan masyarakat.

6.        Ber Acara Dikenakan Biaya
Untuk berpekara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2 UU 14/1970, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg ).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Bagi mereka mampu untuk membayar perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma ( prodeo ) dengan mendapakan izin untuk dibebaskan dari pembayaran/biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi ( pasal 237 HIR, 273 Rbg ). Di dalam praktek surat keterangan itu cukup dibuat oleh Camat yang membawahkan daerah tempat yang berkepentingan tinggal.

Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak oleh Pengadilan apabila Penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.

7.        Tidak Ada Keharusan Mewakililkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu/diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya ( pasal 123 HIR, 147 Rbg ). Dengan demikian Hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.

Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung Hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, para pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya.


Sebaliknya adanya seorang wakil mempunyai manfaat juga. Orang yang belum pernah berhubungan dengan Pengadilan dan harus berpekara, biasanya gugup menghadapi Hakim, maka seorang wakil/pembantu sangat bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tau akan hukumnya dan mempunyai iktiad baik, merupakan bantuan yang tidak kecil bagi Hakim dalam memeriksa suatu perkara, karna memberi sumbangan pikiran dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum. Karna tau akan hukumnya maka wakil ini akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang relatif saja bagi hukum. Hal ini akan memperlancar jalannya peradilan. Bagi para pihak yang buta hukum sama sekali, sehingga menjadi sasaran penipuan/perlakuan sewenang-wenang/tidak layak, seorang wakil yang tau akan hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak fair tersebut.

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan