BAB
I
KEADAAN
SEBELUM PENGARUH BUDAYA BARAT
Proses perkembangan
hukum adat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor iklim dan keadaan
lingkungan serta sifat watak sesuatu bangsa, begitu pula ia dipengaruhi oleh
kepercayaan magi dan animisme peninggalan zaman leluhur,
masuknya pengeruh agama, dan oleh adanya kekuasaan pemerintahan atasan atau
dikarenakan pergaulan dengan orang-orang asing.
1.
ZAMAN
MALAIO POLINESIA
Zaman
Malaio Polinesia kita artikan dengan suatu zaman dimana nenek moyang bangsa
Indonesia tersebar mengarungi lautan diantara pulau Madagaskar di sebelah
barat, pulau Taiwan dan kepulauan Hawai di sebelah utara, sampai pulau Paska di
sebelah timur.
Keadaan
hukum adat dimasa Malaio Polynesia yaitu segala sesuatunya bersumber pada pusat
kesaktian, magi dan animism.
Kepercayaan animisme, baik yang bersifat “fetisisme”,
yaitu faham yang menganggap segala sesuatu di alam semesta ini serba berjiwa
dengan kemampuannya yang lebih besar dari kemampuan manusia; maupun yang
bersifat “spiritisme” yaitu anggapan
bahwa roh-roh leluhur itu selalu ada disekeliling kita oleh karenanya selalu
dipuja, hingga kini masih nampak pengaruhnya, walaupun masyarakat sudah modern.
2.
ZAMAN
HINDU
Menurut
zaman Hindu di Indonesia berlaku selama 15 abad dan selama masa itu Indonesia
memiliki kebudayaan yang tinggi, dikarenakan terjadinya bentuk Negara dan
berkembangnya perekonomian.
Selanjutnya
akan dikemukakan berita-berita tentang Negara, Raja dan peraturannya dari zaman
Hindu, yang dapat dicatat para ahli sejarah dari inskripsi atau piagam yang
dikemukakan.
a.
Berita
tentang P’o-li
Negara
P’o-li yang belum jelas dimana letaknya, dengan keluarga raja yang disebut Kaundinya pada abad ke-6 telah
mengadakan hubungan dengan Negeri Cina. Hukum Pidana yang berlaku adalah hukum
potong tangan untuk kejahatan pembunuhan atau pencurian, diikat dengan rantai
untuk perbuatan zina.
b.
Masa
Criwijaya dan kaum Cailendra
Walaupun
Negara ini hidup selama tiga abad, yaitu dari abad ke-7 s/d abad ke-9 yang
meliputi daerah jajahan dari Jawa, Sumatra, Malaya sampai Kamboja, namun
sejarah belum banyak dapat mengemukakan tentang hukum adat yang berlaku dimasa
kekuasaan itu. Hanya dapat diperkirakan di pusat-pusat pemerintahan, sedangkan
di daerah-daerah pedalaman tetap berlaku hukum adat dari zaman Malaio
Polynesia.
c.
Medang
pada abad kesepuluh
Menurut
berita asal dari cina pada abad ke-10 kerajaan Mataram yang meliputi wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan) dan rajanya Belitung membawahi 28 kabupaten, yang
diawasi oleh 4 pejabat tinggi sebagai menteri dibawah pimpinan Da-Tso-Kan-Hiung
(Dakshottama bahubajra Pratipakshakaya)
sebagai Perdana Menteri. Raja memerintah didampingi Rakryan Hino (putera Mahkota)
Pada
masa kekuasaan Raja Lokapala yang memerintah dibantu oleh Rakyan Kanuruhun
mengeluarkan piagam disekitar tahun 950 untuk daerah merdeka di Gendangan
sidoarjo, yang menentukan tentang hak-hak istimewa bagi seorang muliawan Budha,
ditentukan pula bahwa para tukang tidak membayar pajak, penarikan pajak dari
tempat lain dilarang menarik pajak disitu, para budak dan wanita, pencuri dan
pengasuh yang memasuki daerah itu dilindungi tidak boleh dituntut terus.
Sebelum
memasuki zaman Kediri ada beberapa uraian yang menyangkut Hukum Adat dari zaman
abad ke-9 dan ke-10, antara lain sebagai berikut :
· Didalam
prasasti dari abad ke-9 dan ke-10 hanya dijumpai dua istilah untuk pejabat
kehakiman, yaitu dengan gelar “samgat-i-tiruan”
dan “samgat-i-manhuri”.
· Jabatan
kehakiman didalam kitab “Purwadhigama”
disebut “bhujanga haji”.
· Prasasti
Bulai (860 M) melukiskan seorang bernama Daputa Angada yang ingin menyelesaikan
sejumlah uang emas, tetapi entah mengapa perkaranya dikalahkan.
· Prasasti
Kurunan (885 M) melukiskan Dan Acaryya Munindra membeli sawah di kurunan
seharga 1 kati perak untuk tempat bangunan suci. Transaksi disaksikan oleh para
pejabat desa Parhyanan dan desa-desa tetangga.
d.
Zaman
Airlangga dan Kediri
Pada
tahun 1010 menerima permintaan rakyat dan orang-orang brahmana agar ia
melanjutkan kedudukannya sebagai ahli waris kerajaan Jawa yang telah jatuh.
Pada tahun 1019 ia diresmikan sebagai raja oleh para pendeta, pada penobatannya
ia bergelar Airlangga Anantawikramot tungga Dewa. Ada tercatat bahwa dimasa
airlangga sudah ada materai raja yang berkepala garuda, berbagai macam pajak
dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja.
e.
Zaman
Singasari (Tumapel)
Negara
Singasari yang berlangsung di antara tahun 1222 s/d 1292 didirikan oleh bekas
perampok “Angrok” di atas kehancuran Kediri. Setelah Angrok menjadi raja ia
bergelar Rajasa. Riwayat ini penuh dengan perang saudara. Rajanya yang terkenal
adalah Prabu Kartanegara.
Gambaran
tentang susunan pemerintahan dimasa Singasari diperintah Kartanegara adalah
sebagai berikut :
PRABU
(Maharaja)
KUMARA
(Raja muda)
PATIH
(Rajakula)
DHARMAJAKSA KAKRYAN UPAPATI
(pengawas agama) (dewan menteri) (pamegat = Hakim)
Jadi
pada dasarnya dimasa kekuasaan Kartanegara sudah ada tata hukum berupa “Sapta Menteri” dengan Mahkamah “Sapta Upapati” dengan tiga orang pemegat
yaitu Tirwan, Mandamuri dan Manghuri.
f.
Zaman
Majapahit
Sebagai
Maharaja Majapahit yang pertama Wijaya dinobatkan dengan gelar Kertarajasa
Jayawardana, ia menempatkan dirinya sebagai penerus kekuasaan Kartanegara, oleh
karenanya susunan pemerintahan disusunnya seperti dizaman Singasari. Ketika
Prabu pertama ini wafat pada tahun 1309 maka ia digantikan oleh puteranya Kala
gemet anak dari permaisuri Dara Petak yang berasal dari Sumatera (Melayu).
Pada
tahun 1331 Gajahmada diangkat sebagai Mangkubumi Majapahit. Jayawisnuwardani
kawin dengan Kertawardana dan melahirkan Ayam Wuruk pada tahun 1334, yang
kemudian setelah berumur 16 tahun diangkat menjadi Raja dengan gelar Sri
Rajasanegara pada tahun 1350.
Dengan
mencatat uraian dari Muhammad Yamin maka karya-karya Gajahmada yang menyangkut hukum
adat antara lain adalah sebagai berikut :
· Ketika
ia sebagai Bekel Bhayangkara para pemuda dibaginya dalam dua golongan, pertama
yang disebut Darmaputera dan kedua disebut Bhayangkara.
· Ketika
ia sebagai Mangkubumi dimasa kekuasaan Raja Ayam Wuruk maka tugas-tugas
ketatanegaraan diaturnya didalam beberapa instansi :
٭ Sang Prabu adalah Ketua sidang mahkota. Sidang
mengurus urusan rumah
tangga keraton dan anggota keluarga prabu, mengatur soal-soal perkawinan, peralihan mahkota dan
ketatanegaraan Negara.
٭ Sang
Prabu memerintah Negara dengan empat badan pemerintahan yang terdiri dari “Mantri katrini”, “panca ring wilwatikta”,Dharmajaksa”, “Sapta papatti”.
٭ Pemerintahan
Majapahit dijalankan atas dasar musyawarah dan mufakat yang dipimpin langsung oleh Gajahmada atau anggota sidang saptaprabu.
٭ kedudukan
Hakim lansung dibawah Sang Prabu. Didalam memutuskan perkara didasarkan pada hukum adat setempat dengan mengindahkan hukum adat yang tertulis dari
Negara.
Pada masa Kerajaan
Majapahit hukum adat lebih banyak dipengaruhi ajaran Hindu. Ancaman hukum lebih
banyak diserahkan kepada kekuasaan Dewata yang gaib, yang pada masa itu rakyat
sungguh takut terkutuk dari yang maha gaib. Kalau ada hukuman maka berbentuk
“denda” atau “bunga” yang ditarik dari penguasa.
3.
ZAMAN
ISLAM
Untuk
dapat menyelami sejauh mana pengaruh ajaran Islam terhadap hukum adat didalam
uraian ini akan dicoba menguraikan tentang beberapa Negara dan masyarakat Islam
yang pernah tumbuh dan berkembang di Indonesia.
a.
Negara
Islam Aceh
Sehubungan
dengan masyarakat adat Aceh, sebenarnya sama saja dengan masyarakat adat di
sumatera lainnya, yang pada dasarnya tidak mengenal sistim kerajaan. Dari
cerita dongeng tentang asal-usul raja-raja Pasai yang dimulai dari nama Marah
Gajah dan Puteri Betung yang kemudian menurunkan Marah silu dan kemudian
setelah berhubungan dengan kekuasaan Islam di Mesir lalu diangkat menjadi
sultan dengan gelar Malikul Saleh (wafat 1297 M), maka dapat disimpulkan bahwa
pada mulanya Marah Silu itu tidak lain adalah seorang Pemimpin Persekutuan
Hukum Adat saja di hulu sungai Peusangan.
b.
Di
Minangkabau dan Batak
(1)
Pengislaman daerah Minangkabau dilaksanakan secara intensif baru sejak tahun
1513 oleh penguasa Aceh di Pariaman yaitu Tuangku Burhanudin Syah. Dengan
masuknya ajaran Islam di tanah Minang, maka Nagari-nagari dalam Laras Koto
Piliang dan Laras Bodi Caniago mengatur pemerintahan persekutuan hukum adatnya
dengan sistim “orang empat jenis”,
sebagai suatu badan eksekutif yang terdiri dari empat jabatan yaitu Penghulu,
Malin, Manti dan Dubalang.
Setelah
masuknya Islam masyarakat Minang tidak semata-mata hidup berdasarkan hukum adat
tetapi juga berdasarkan hukum syara’. Hukum adat bersendi pada hulur dan patut,
sedangkan hukum syara’ bersendi pada kitab-Allah.
Masuknya
ajaran Islam tidak menggoyahkan kedudukan “rumah gadang”, yaitu rumah adat yang
mempunyai 5 sampai 15 ruang atau lebih, yang kemudian oleh ibu dengan bantuan
sudara lelaki ibu sebagai “mamak” yang ikut bertanggung jawab atas rumah dan
isinya.
Susunan
kepenghuluan antara Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago terdapat
perbedaan.
Laras
Koto Piliang, kedudukan penghulunya berjenjang naik bertangga turun, berpucuk
bulat berurat tunggang, berlaras bertujuh langgam, dengan balai adatnya yang
beranjung dan berlabuh gajah .
YANG DIPERTUAN RAJA
Di Pagaruyung
RAJO ADAT
RAJO IBADAT
RAJO NAN TIGO
1.
Besar
empat balai, di sungai Tarab, di Suruaso, di Padang Gantiang, di sumanik.
2.
Sungai
Jambu
3.
Singkarak,
Saningbakar.
4.
Sulitair,
Tanjungbalit.
5.
Silungkang,
Padang Sibusuk.
6.
Tuan
Gadang di Batipuh.
7.
Simawang, Bukitkandung.
Laras
Bodi Caniago, kedudukan penghulunya sama besar-sama gadang-tidak bertinggi
rendah karena yang tertinggi adalah kata mufakat, dengan balai adatnya yang
tidak beranjung dan tidak berlebuh gajah.
KATO MUPAKAT
PENGHULU
PENGHULU
LUBUK NAN TIGO
TANJUNG NAN TIGO
1.
Lubuk
Sipunai, 1. Tanjung Alam,
Koto Tujuh. Luhak Tanah Datar.
2.
Lubuk
Simawang, 2.
Tanjung Sungayang,
Negeri Talawi. Batu Sangkar.
3.
Lubuk
Sekarah, 3.
Tanjng Berulak,
Negeri Solok. Luhak Tanah Datar.
(2)
Penyebaran Islam dari tanah Minang menjelajah sampai ke daerah suku Bengkulu
dan Lampung barat. Tetapi apa yang telah dicapai oleh Islam di pantai Tapanuli,
dimasa kekuasaan Islam berpengaruh di Minang, dalam penyebarannya kepedalaman
di daerah Batak dapat dikatakan tidak berkemajuan, dikarenakan kuatnya Hukum
Adat di bawah pimpinan Sisingamangaraja di Bakara itu.
Hubungan
kekerabatan orang Batak bersifat “asymmetrisch
connubium” dimana Marga Hula-hula (moro = Mandailing ; Kalimbubu = Karo)
selalu berfungsi sebagai pemberi hidup (pemberi wanita) bagi Marga Boru (Karo;
Beru) dan tidak boleh sebaliknya atau timbal balik seperti adat “ngejuk ngajuk” (ambil beri) di daerah
Lampung. Oleh karenanya maka susunan masyarakat hukum adat Batak
setidak-tidaknya harus didasarkan pada tiga unsur dengan gambaran sebagai
berikut :
Marga rakyat
Marga penumpang/paripe
(NOTURAS)
Ketiga
unsur marga ini yang merupakan badan
pemerintahan adat yang tradisionil dalam kemasyarakatan Batak.
c.
Di
Sumatera Selatan
Dimasa
pemerintahan Ratu Senuhun seding (l.b. 1630) Hukum Adat mulai dibukukan dalam
bahasa aksara arab Melayu yang kemudian terkenal dengan “Undang-undang Simbur Cahaya”. Hukum adat dalam bentuk tertulis ini
mulai dipengaruhi Hukum Islam oleh karena didalamnya sudah dimasukkan
ketentuan-ketentuan tentang kedudukan kaum (pejabat)
agama yang terdiri dari “Mudin” (Khatib),
“Bilal”, “Merbut” dan “Penghulu”, dengan tugas-tugas mengurus soal kawin, pegat
(cerai), puasa, pitrah, zakat, tempat
ibadah, kelahiran, kematian, keramat, pengajian dan pemeliharaan anak yatim.
Masuknya
para mubaligh dan atau pedagang dari Aceh dan Minangkabau dibagian barat daerah
Sumatera selatan, yang berarti pula masuknya ajaran Islam dan pengaruh hukum
adat yang serba matrilineal.
d.
Di
Pulau Jawa
1.
Jawa
Timur
Penyebaran
Islam di Jawa Timur adalah sebagian jasa dari Raden Rakhmat alias Sunan Ngampel
(asal Campa). Keadaan pergaulan hidup
sehari-hari dan susunan masyarakat tetap saja sebagai sedia kala. Pengaruh
ajaran Islam hanya menyusur hukum adat kekeluargaan, seperti pelaksanaan
perkawinan, lemahnya sistim kasta dan terbukanya sistim adat musyawarah.
2.
Jawa
Tengah
Penyebaran
pengaruh Islam ketika itu dilaksanakan dengan sistim persaudaraan dan
perkawinan, didaerah-daerah yang didatangi pasukan Islam Demak, kepala-kepala
masyarakat setempat diajak masuk Islam, bahkan puteri-puteri setempat
dikawinkan dengan perwira-perwira Demak. Pada upacara-upacara perkawinan itu
disampaikan tentang ajaran Islam, tetapi ajaran-ajaran tersebut tidak
mempengaruhi struktur pemerintahan adat kekerabatan setempat.
3.
Jawa
Barat
Pada
masa Pamerintahan sultan Abdulkadir (1596-1651) Bandar Banten banyak dikunjungi
pedagang. Kepala-kepala adat berdatang serba ke Banten dengan membawa hasil
bumi, kemudian kembali ke daerahnya dengan membawa gelar Pangeran, tanda
pengakuan dengan piagam dalung dan barang-barang hasil antar pulau Nusantara.
Pemerintah
dimasing-masing daerah berjalan mengatur diri sendiri menurut hukum adat
setempat.
e.
Bali
Pulau
Bali sampai pada periode Islam dapat dikatakan tidak kemasukan pengaruh ajaran
Islam, masyarakatnya tetap mempertahankan adat istiadatnya berdasarkan agama
Hindu. Pemerintahan Desa didasarkan pada ikatan persaudaraan adat keagamaan
dengan memelihara tempat pemujaan, dimana kekerabatan warga desanya berdasarkan
kekeluargaan patrilinialyang sudah-sudah kabur, disamping desa-desa yang dapat
dikatakan kekeluargaannya sudah bersifat parental.
f.
Di
Kalimantan
Di
Kalimantan terdapat banyak suku-suku, suku-suku ini telah berdiam menjadi satu
tetapi hubungan hukumnya masih dikuasai oleh suku yang mempunyai hak ulayat
atas tanah sendiri. Pimpinan masyarakat berada ditangan penghulu yang memimpin
atas dasar kerjasama dan mufakat diantara para warga pria yang merdeka.
g.
Di
Sulawesi
Masyarakat
di Sulawesi Tengah seperti suku To-Mori dan To-Raja walaupun sudah hidup
terpisah dari suku asal tetapi didusun-dusun mereka masih tetap terikat pada
keanggotaan suku yang sama, dan para penghulu adatnya walaupun di luar dusun
tetap masih kuat pengaruhnya.
Pemerintahan
adat desa di Gorontalo juga merupakan masyarakat wilayah yang disebut “wanua” atau “banua” yang satu sama lain terikat pada ikatan kesaktian berupa
benda, batu, senjata, alat pertanian, bendera
Di
Minahasa di dalam suatu daerah suku yang dahulu disebut “walak” berdiam masyarakat sesama anggota suku. Susunan
kekerabatannya bersifat patrilinial dan endogaam yang dipimpin oleh Ketua
Kerabat (Tua Unteranak).
BAB II
HUKUM ADAT DIMASA KEKUASAAN V.O.C.
BAB III
HUKUM ADAT DIMASA
HINDIA TIMUR DAN INGGRIS
(1800-1811-1816)
BAB IV
HUKUM ADAT DIMASA
HINDIA BELANDA
BAB V
HUKUM ADAT SETELAH KEMERDEKAAN
Please Contact Us
085265707511
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan