Saturday, December 10, 2016

MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA

0 komentar
BAB I
PROSES PEMERIKSAAN DI DEPAN SIDANG PENGADILAN

       A.      PEMANGGILAN SIDANG
Sebagaimana yang telah pernah disinggung, KUHAP menganut prinsip hadir terdakwa dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Tanpa hadirnya terdakwa di depan pemeriksaan di sidang pengadilan, pemerisaan atas perkara yang didakwakan tidak dapat dilakukan. Tegasnya, KUHAP tidak mengenal dan tidak memperkenankan sidang peradilan “in absensia”, seperti apa yang diperkenankan dalam acara pemeriksaan tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi dan ekonomi. Ketiga macam tindak pidana tersebut memuat ketentuan acara, yang memperbolehkan dilakukan pemeriksaan persidangan pengadilan tanpa hadirnya terdakwa.

Memang ditinjau dari segi kepentingan pembelaan terdakwa serta dihubungkan pula dengan perlindungan hukum yang harus diberikan terhadap kepentingan pembelaan diri terdakwa, sudah sewajarnya pemeriksaan persidangan pengadilan dihadiri oleh terdakwa. Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan KUHAP, apabila seorang terdakwa hendak diperiksa di sidang pengadilan, penuntut umum harus “menghadirkan” terdakwa.

Upaya penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa ialah dengan jalan “memanggil” terdakwa. Penuntut umum diberi wewenang untuk memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal yang ditentukan dan tempat persidangan pengadilan yang telah ditentukan. Ini berarti pemeriksaan persidangan tanpa hadirnya terdakwa, dianggap tidak sah kalau penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan, persidangan dimundurkan pada hari yang lain. Memberi kesempatan lagi kepada penuntut umum untuk memanggil dan menghadirkan terdakwa.

Syarat Sahnya Panggilan
Memperhatikan ketentuan pasal 145 dan pasal 146, terdapat beberapa aturan penggarisan yang harus dipenuhi oleh penuntut umum, sebagai syarat sahnya suatu panggilan terhadap terdakwa maupun panggilan terhadap saksi. Untuk sahnya suatu panggilan :
1.        Panggilan berbentuk surat panggilan.
Sesuai dengan ketentuan pasal 145 ayat 1, panggilan terhadap terdakwa atau saksi, harus berbentuk “surat panggilan”. Kemudian disamping panggilan berbentuk surat panggilan, pasal 146 ayat 1 menentukan pula hal-hal yang harus dipenuhi surat panggilan itu sendiri. Yakni surat panggilan tersebut memuat :
ü  Tanggal, hari serta jam sidang,
ü  Tempat gedung persidangan,
ü  Untuk perkara apa ia dipanggil.

2.        Panggilan harus disampaikan :
a.       Bagi terdakwa yang berada diluar tahanan :
Ø  Panggilan disampaiakan secara langsung kepada terdakwa di alamat “tempat tinggalnya”,
Ø  Apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa “ditempat kediaman terakhir”,
Ø  Apabila terdakwa tidak ada atau tidak dijumpai ditempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui “Kepala Desa” yang berdaerah hukum di tempat tinggal atau kediaman terakhir terdakwa (pasal 145 a 2). Jadi kalau temapat tinggal terdakwa tidak diketahui, lantas pada waktu penuntut umum mendatangi tempat tinggal tadi, dan terdakwa secara kebetulan sedang tidak ada, surat panggilan dapat dilakukan melalui “kepala desa”.
Ø  Surat panggilan “tempelan
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir terdakwa tidak diketahui atau tidak dikenal, penuntut umum dapat menempelkan surat panggilan di tempat pengumuman gedung pengadilan yang berwenang mengadili pekara dimaksud, sebagaimana yang diatur dalam pasal 145 ayat 5.

b.      Bagi terdakwa yang berda dalam tahanan.
Bagi seorang terdakwa yang sedang berada dalam tahanan, surat panggilan sidang dilakukan melalui pejabat Rutan atau pejabat rumah tahanan Negara, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam pasal 145 ayat 3. Bagaimana caranya kalau pada suatu tempat Rutan belum ada. Melaui pejabat mana panggilan disampaikan bagi seorang terdakwa yang berada dalam tahanan. Selama Rutan belum ada, surat panggilan disampaikan melalui pejabat instansi tempat dimana terdakwa sedang ditahan. Seandainya terdakwa ditahan dalam rumah tahanan kepolisian atau lembaga permasyarakatan, surat panggilan disampaikan melaui pejabat tersebut.

3.        Surat tanda penerimaan.
Sesuai dengan ketentuan pasal 145 ayat 4, setiap orang yang menerima surat panggilan, apakah itu seorang terdakwa atau saksi, sipenerima surat panggilan harus menanda tangani surat tanda penerimaan. Surat tanda penerimaan merupakan bukti bahwa penuntut umum benar-benar menyampaikan surat panggilan. Ini penting bagi kepastian hukum. Sebab menururt pengalaman, sering terjadi pada masa yang lalu, hakim mengeluarkan perintah penangkapan atas alasan keingkaran terdakwa menghadiri persidangan sekalipun panggilan sudah disampaikan kepadanya secara sah. Nantinya dipersidangan, terdakwa membantah kebenaran tersebut. Terdakwa menganggap penangkapan tidak sah, karena panggilan tidak pernah disampaikan penuntut umum kepadanya. Maka untuk menghindari saling salah menyalahkan, tepat sekali ketentuan pasal 145 ayat 4 sebagai alat pembuktian tentang sampai tidaknya surat panggilan.
Membicarakan ketentuan ayat 4 dimaksud, nampaknya KUHAP memperluas orang-orang yang dapat menerima surat panggilan. Bertitik tolak dari ketentuan ayat 4, disamping terdakwa , surat panggilan dapat juga diterima oleh “orang lain” tersebut? Menurut penjelasan pasal 145 ayat 4 yang dimaksud dengan “orang lain” ialah keluarga atau penasehat hukum. Kalau begitu surat panggilan yang disampaikan penuntut umum melalui keluarga atau penasehat  dialamat tempat kediaman terakhir terdakwa dianggap telah dilakukan dengan sempurna dan panggilan dianggap telah sah.
Keluarga atau penasehat hukum yang menerima surat panggilan harus membuat surat tanda penerimaan. Dan ketentuan seperti ini dapat kita anggap beralasan. Dengan adanya ketentuan yang memungkinkan surat panggilan dapat disampaikan melalui keluarga dan penasehat hukum, diharapkan akan mempercepat proses pemeriksaan. Karena dengan demikian, penuntut umum tidak wajib langsung menyampaikannya kepada terdakwa.

4.        Tenggang waktu penyampaian surat panggilan
Apa yang digariskan pada ketentuan ini, setiap panggilan sudah diterima selambat-lambatnya tiga hari sebelum hari persidangan dimulai. Penuntut umum harus benar-benar memperhatikan ketentuan ini, sebab surat panggilan yang disampaikan bertentangan dengan tenggang waktu tiga hari, panggilan dianggap “tidak sah”, dan tidak ada kewajiban hukum bagi terdakwa untuk mematuhi panggilan tersebut. Ketentuan tenggang waktu pemanggilan dan pemberitahuan berlaku untuk semua tingkat pemeriksaan baik kepada terdakwa, saksi atau ahli (pasal 227 ayat 1).

5.        Surat panggilan harus memuat “dakwaan”
Ini berarti pada waktu penuntut umum menyampaikan surat panggilan, terdakwa sudah mengetahui untuk perkara apa ia dipanggil. Agar sejak dari saat pemanggilan sampai pada hari persidangan, terdakwa sudah mempersiapkan pembelaannya.

B.       BENTUK ACARA PEMANGGILAN SIDANG
Bentuk acara pemanggilan sidang yaitu sebagai apa seseorang itu di panggil, apakah sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam acara peradilan.

C.      ALAT –ALAT BUKTI
Pada pasal 184 ayat 1 KUHAP telah menentukan secara terperinci alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat-alat bukti ini, tidak dibenarkan dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim Ketua Sidang, Penuntut Umum, terdakwa atau penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti ini saja.

Sebagai mana tersebut pada pasal 184 ayat 1 KUHAP mereka tidak leluasa mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti  yang ditentuakan pada pasal ini. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada pasal 184 ayat 1, sama sekali tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.

Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam pasal 183 ayat 1 adalah :
1.        Keterangan saksi,
2.        Keterangan ahli,
3.        Surat,
4.        Putunjuk, dan
5.        Keterangan terdakwa.

Selanjatnya marilah kita uraikan alat-alat bukti tersebut baik yang berhubungan dengan penerapan alat-alat bukti itu maupun yang berhubungan dengan kekutan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti itu sendiri.

Keterangan Saksi
Sebenarnya mengenai hal yang berhubungan dengan tata cara pemeriksaan, bahkan mengenai ruang lingkup pemeriksaan saksi sudah panjang lebar kita bicarakan. Oleh karena itu sepanjang yang mengenai ruang lingkup pemeriksaan saksi, kami ajak kembali untuk menelitinya pada uraian terdahulu. Titik berat pembahasan dalam pembicaraan keterangan saksi sebagai alat bukti, ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian tanpa mengurangi apa yang telah diterangakan sebelumnya.

1.        Syarat sahnya keterangan saksi
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidanaan yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu disadarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pebuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut :
1.1.       Harus mengucapkan sumpah atau janji
Ketentuan ini diatur dalam pasal 160 ayat 3. Menurut pasal ini , sebelum saksi memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :
ü  Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
ü  Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.
Kapan sumpah atau janji itu diucapkan? Menurut ketentuan pasal 160 ayat 3, pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi pasal 160 ayat 4 memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian saat pengucapan sumpah atau janji :
v  Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,
v  Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan.

1.2.       Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan pasal 1 angka 27 KUHAP. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana ialah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana :
ü  Yang saksi lihat sendiri,
ü  Saksi dengar sndiri,
ü  Dan saksi alami sendiri,
ü  Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat 1. Kalau begitu, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana; keterangan demikian baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakannya di luar sidang pengadilan, bukan alat bukti. Tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
  
1.3.       Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Kalau begitu keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.

Jadi bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat 2, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Atau unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan tedakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Walau seandainya keterangan saksi tunggal tadi sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap “mungkir” serta kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis. Lain halnya jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya.

Memperhatikan uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan. Bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh pasal 185 ayat 2 adalah :
Ø  Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”.
Ø  Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tunggal tadi harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya.
  
1.4.       Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Seiring terdapat kekeliruan pendapat pada sementara orang yang beranggapan dengan adanya beberapa saksi sudah dianggap keterangan saksi-saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian jelas keliru. Karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kwantitatip telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara kwalitatip memadai sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa.

Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kwalitatip keterangan mereka hanya merupakan keterangan yang saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain; yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Beberapapun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangan mereka itu sendiri tanpa hubungan antara yang satu dengan yang lain.

Hal seperti diatas dapat dilihat pada keputusan Mahkamah Agung tanggal 17 April 1978 No. 28 K/Kr./1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainnya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam perkara ini ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar keterangannya disidang pengadilan. Akan tetapi dari sekian banyak saksi tersebut hanya saksi satu saja yang dapat dinilai sebagai alat bukti. Sedang saksi-saksi selebihnya hanya bersifat keterangan yang berdiri sendiri tanpa saling berhubungan. Sebagai alat bukti petunjuk saja pun tidak mencukupi.

Disinilah dituntut kemampuan dan keterampilan penyidik untuk mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatip dapat memberikan keterangan yang saling berhubungan. Bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Hal yang seperti inilah yang diperingatkan oleh pasal 185 ayat 4. Pasal 185 ayat 4 menegaskan :
ü  Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kjadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan syarat,
ü  Apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Dari ketentuan pasal 185 ayat 4 jelaslah, keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian.

2.        Cara menilai kebenaran keterangan saksi
Dalam menilai dan dalam mengkonstruksi kebenaran keterangan-keterangan para saksi yang bersangkutan, pasal 185 ayat 6 menuntut kewaspadaan hakim. Hakim dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
2.1.       Persesuaian antara keterangan saksi
Saling persesuaian ini harus jelas Nampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim. Penjabaran persesuaian itu harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis.

2.2.       Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain
Dalam hal ini, jika yang diajukan penuntut umum dalam persidangan pengadilan terdiri dari saksi dengan alat bukti yang lain, baik berupa ahli, surat atau petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang lain tersebut.

2.3.       Alasan saksi memberi keterangan tertentu
Di sini hendaklah hakim mencoba mencari alasan saksi, kenapa saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi.

2.4.       Cara hidup dan kesusilaan saksi
Barangkali yang penting diperhatikan hakim dalam cara hidup dan kesusilaan saksi ialah yang menyangkut nilai-nilai kepribadian dan akhlak saksi yang bersangkutan. Termasuk di dalamnya kejujuran, keimanan dan ketakwaan. Maupun yang berkenaan dengan sifat-sifat buruk yang sering diperlihatkan saksi seperti culas, dengki, pembohong dan suka menfitnah atau yang berhubungan dengan cara hidup saksi seperti sifat tak mau tahu, pemabuk, penjudi dan sebagainya.

3.        Nilai kekuatan pembuktian
3.1.       Keterangan yang diberikan tanpa sumpah
Hal ini terjadi seperti yang diatur dalam pasal 161. Yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata tidak dapat dihadirkan dalam pemerisaan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Akan tetapi dalam hal ini undang-undang tidak menyebutkan secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang dibacakan disidang pengadilan. Perlu diingatkan mengenai keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan tetapi keterangan itu dulunya pada waktu pemeriksaan penyidikan diberikan saksi dengan mengucapkan sumpah. Terhadap keterangan seperti ini tetap dinilai sebagai alat bukti yang sah.

Untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim atau sebagai petunjuk harus dibarengi dengan syarat :
ü  Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah
ü  Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ü  Kemudian antara keterangan tanpa sumpah tadi dengan alat bukti yang sah tersebut terdapat saling persesuaian.

3.2.       Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah
Pengucapan sumpah atau janji bukan yang menentukan sah atau tidak nya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat memenuhi nilai sebagai alat bukti yang sah.

Keterangan Ahli
Pasal 184 ayat 1 KUHAP telah menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Malah tempatnya diletakkan pada urutan kedua sesudah alat bukti keterangan saksi. Melihat dari letak urutannya saja , pembuat undang-undang menilainya sebagai salah satu alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana.
1.        Tata cara pemberian keterangan ahli
Pada pasal 133 dijelaskan bahwa yang memberi wewenang kepada penyidik mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter maupun ahli lainnya. Ini berarti, pada saat tahap penyidikan perkara, penyidik dapat meminta keterangan ahli jika keterangan ahli sangat diperlukan untuk kepentingan peradilan.

Selanjudnya pada alenia kedua penjelasan pasal 186, menegaskan : jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberi keterangan dan dicatat dalam berita acara pemerisaan.

Dari ketentuan pasal 133 dihubungkan dengan penjelasan pasal 186, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut :
1.1.       Dimintakan penyidik pada tarap pemeriksaan penyidikan
Ø  Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan.
Ø  Atas permintaan penyidik ahli yang bersangkutan membuat laporan
Ø  Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan

1.2.       Keterangan ahli yang dimita dan diberikan di sidang
Ø  Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam persidangan di sidang pengadilan.
Ø  Bentuk keterangan ahli menurut tatacara ini berbentuk “keterangan lisan” dan “secara langsung” diberikan oleh yang bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ø  Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera.
Ø  Dan untuk itu ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan.

2.        Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, hanya diatur dalam satu pasal saja pada bagian keempat bab XVI sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 186 akibatnya kalau hanya bertitik tolak pada pasal dan penjelasan pasal 186 saja, sama sekali pasal 186 dan penjelasannya tidak memberi pengertian apa-apa kepada kita. Dan untuk itu harus mencari dan menghubungkannya dari beberapa ketentuan yang terpancar dalam pasal-pasal KUHAP mulai dari pasal 1 angka 28, pasal 120, pasal 133, pasal 179, dan pasal 180 dengan jalan merangkaikan pasal-pasal ini baru jelas arti dan seluk beluk pemeriksaan keterangan ahli.

3.        Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli
Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu kita berpendapat, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli :
v  Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrij bewijskracht. Di dalam dirinya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim.
v  Disamping itu sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa.

Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang terang tentang sesuatu hal atau keadaan.

Alat Bukti Surat
1.        Pengertian surat sebagai alat bukti
Menurut pasal 187, suatu surat yang dapat dinilai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah :
a.         Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya.
b.        Surat yang berbentuk menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan.
c.         Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlinnya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
d.        Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

2.        Nilai kekuatan pembuktian surat
Dalam pembuktian yang diatur dalam acara perdata, surat otentik atau surat resmi seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang “sempurna”. Dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “mengikat” bagi hakim, sepanjang hal itu tidak dilumpuhkan dengan bukti lawan atau tegen bewijs.

Oleh karena alat bukti surat resmi atau otentik merupakan alat bukti yang sempurna atau mengikat (volledig en beslissende bewijskrecht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya, dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara yang bersangkutan.
a.         Ditinjau dari segi formal
Jika ditinjau dari segi formil alat bukti surat seperti tersebut pada pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna”. Oleh karena alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formil yang sempurna”, dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
Ø  Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain,
Ø  Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya,
Ø  Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang di dalam sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain,
Ø  Dengan demikian ditinjau dari segi formil, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.

 b.        Ditinjau dari segi materiil
Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada diri alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Dasar alasaan ketidak terikatan hakim atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas; antara lain :
ü  Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materil waarheid), bukan mencari kebenaran formil. Dengan asas ini saja pun hakim sudah bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat.
ü  Asas keyakinan hakim;
Asas ini seperti yang terdapat dalam jiwa ketentuan pasal 183, berhubungan erat dengan ajaran sistem pembuktian “menurut undang-undang secara negatif”. Dan tentang hal ini dapat diuraikan tentang teori-teori pembuktian .
Bahwa berdasar sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahannya telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan asas keterbuktian itu hakim “yakni” terdakwalah yang bersalah melakukannya.
ü  Asas batas minimum pembuktian

Walaupun tadi ditinjau dari segi formil alat bukti surat resmi yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya.

Alat Bukti Petunjuk

Keterangan Terdakwa

Pembuktian

BAB II
                                                     UPAYA HUKUM 

A.      UPAYA HUKUM BIASA

B.      UPAYA HUKUM LUAR BIASA

BAB III
HAKIM WASMAT

Please Contact Us
daex.bekate@gmail.com

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan