BAB I
PROSES
PEMERIKSAAN DI DEPAN SIDANG PENGADILAN
A.
PEMANGGILAN
SIDANG
Sebagaimana
yang telah pernah disinggung, KUHAP menganut prinsip hadir terdakwa dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan. Tanpa hadirnya terdakwa di depan pemeriksaan
di sidang pengadilan, pemerisaan atas perkara yang didakwakan tidak dapat
dilakukan. Tegasnya, KUHAP tidak mengenal dan tidak memperkenankan sidang
peradilan “in absensia”, seperti apa
yang diperkenankan dalam acara pemeriksaan tindak pidana subversi, tindak
pidana korupsi dan ekonomi. Ketiga macam tindak pidana tersebut memuat
ketentuan acara, yang memperbolehkan dilakukan pemeriksaan persidangan
pengadilan tanpa hadirnya terdakwa.
Memang
ditinjau dari segi kepentingan pembelaan terdakwa serta dihubungkan pula dengan
perlindungan hukum yang harus diberikan terhadap kepentingan pembelaan diri
terdakwa, sudah sewajarnya pemeriksaan persidangan pengadilan dihadiri oleh
terdakwa. Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan KUHAP, apabila seorang terdakwa
hendak diperiksa di sidang pengadilan, penuntut umum harus “menghadirkan” terdakwa.
Upaya
penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa ialah dengan jalan “memanggil” terdakwa. Penuntut umum
diberi wewenang untuk memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal yang
ditentukan dan tempat persidangan pengadilan yang telah ditentukan. Ini berarti
pemeriksaan persidangan tanpa hadirnya terdakwa, dianggap tidak sah kalau
penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa pada hari dan tanggal
persidangan yang telah ditentukan, persidangan dimundurkan pada hari yang lain.
Memberi kesempatan lagi kepada penuntut umum untuk memanggil dan menghadirkan
terdakwa.
Syarat Sahnya Panggilan
Memperhatikan
ketentuan pasal 145 dan pasal 146, terdapat beberapa aturan penggarisan yang
harus dipenuhi oleh penuntut umum, sebagai syarat sahnya suatu panggilan
terhadap terdakwa maupun panggilan terhadap saksi. Untuk sahnya suatu panggilan
:
1.
Panggilan berbentuk surat panggilan.
Sesuai dengan ketentuan pasal 145
ayat 1, panggilan terhadap terdakwa atau saksi, harus berbentuk “surat panggilan”. Kemudian disamping
panggilan berbentuk surat panggilan, pasal 146 ayat 1 menentukan pula hal-hal
yang harus dipenuhi surat panggilan itu sendiri. Yakni surat panggilan tersebut
memuat :
ü Tanggal,
hari serta jam sidang,
ü Tempat
gedung persidangan,
ü Untuk
perkara apa ia dipanggil.
2.
Panggilan harus disampaikan :
a. Bagi
terdakwa yang berada diluar tahanan :
Ø Panggilan
disampaiakan secara langsung kepada terdakwa di alamat “tempat tinggalnya”,
Ø Apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa
“ditempat kediaman terakhir”,
Ø Apabila
terdakwa tidak ada atau tidak dijumpai ditempat tinggalnya atau ditempat
kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui “Kepala Desa” yang
berdaerah hukum di tempat tinggal atau kediaman terakhir terdakwa (pasal 145 a
2). Jadi kalau temapat tinggal terdakwa tidak diketahui, lantas pada waktu
penuntut umum mendatangi tempat tinggal tadi, dan terdakwa secara kebetulan
sedang tidak ada, surat panggilan dapat dilakukan melalui “kepala desa”.
Ø Surat
panggilan “tempelan”
Apabila tempat tinggal maupun
tempat kediaman terakhir terdakwa tidak diketahui atau tidak dikenal, penuntut
umum dapat menempelkan surat panggilan di tempat pengumuman gedung pengadilan
yang berwenang mengadili pekara dimaksud, sebagaimana yang diatur dalam pasal
145 ayat 5.
b. Bagi
terdakwa yang berda dalam tahanan.
Bagi seorang terdakwa yang sedang
berada dalam tahanan, surat panggilan sidang dilakukan melalui pejabat Rutan
atau pejabat rumah tahanan Negara, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam pasal
145 ayat 3. Bagaimana caranya kalau pada suatu tempat Rutan belum ada. Melaui
pejabat mana panggilan disampaikan bagi seorang terdakwa yang berada dalam
tahanan. Selama Rutan belum ada, surat panggilan disampaikan melalui pejabat
instansi tempat dimana terdakwa sedang ditahan. Seandainya terdakwa ditahan
dalam rumah tahanan kepolisian atau lembaga permasyarakatan, surat panggilan
disampaikan melaui pejabat tersebut.
3.
Surat tanda penerimaan.
Sesuai dengan ketentuan pasal 145
ayat 4, setiap orang yang menerima surat panggilan, apakah itu seorang terdakwa
atau saksi, sipenerima surat panggilan harus menanda tangani surat tanda
penerimaan. Surat tanda penerimaan merupakan bukti bahwa penuntut umum
benar-benar menyampaikan surat panggilan. Ini penting bagi kepastian hukum.
Sebab menururt pengalaman, sering terjadi pada masa yang lalu, hakim
mengeluarkan perintah penangkapan atas alasan keingkaran terdakwa menghadiri
persidangan sekalipun panggilan sudah disampaikan kepadanya secara sah.
Nantinya dipersidangan, terdakwa membantah kebenaran tersebut. Terdakwa
menganggap penangkapan tidak sah, karena panggilan tidak pernah disampaikan
penuntut umum kepadanya. Maka untuk menghindari saling salah menyalahkan, tepat
sekali ketentuan pasal 145 ayat 4 sebagai alat pembuktian tentang sampai
tidaknya surat panggilan.
Membicarakan ketentuan ayat 4
dimaksud, nampaknya KUHAP memperluas orang-orang yang dapat menerima surat
panggilan. Bertitik tolak dari ketentuan ayat 4, disamping terdakwa , surat
panggilan dapat juga diterima oleh “orang
lain” tersebut? Menurut penjelasan pasal 145 ayat 4 yang dimaksud dengan “orang lain” ialah keluarga atau
penasehat hukum. Kalau begitu surat panggilan yang disampaikan penuntut umum
melalui keluarga atau penasehat dialamat
tempat kediaman terakhir terdakwa dianggap telah dilakukan dengan sempurna dan
panggilan dianggap telah sah.
Keluarga atau penasehat hukum yang
menerima surat panggilan harus membuat surat tanda penerimaan. Dan ketentuan seperti
ini dapat kita anggap beralasan. Dengan adanya ketentuan yang memungkinkan
surat panggilan dapat disampaikan melalui keluarga dan penasehat hukum,
diharapkan akan mempercepat proses pemeriksaan. Karena dengan demikian,
penuntut umum tidak wajib langsung menyampaikannya kepada terdakwa.
4.
Tenggang waktu penyampaian surat
panggilan
Apa yang digariskan pada ketentuan
ini, setiap panggilan sudah diterima selambat-lambatnya tiga hari sebelum hari
persidangan dimulai. Penuntut umum harus benar-benar memperhatikan ketentuan
ini, sebab surat panggilan yang disampaikan bertentangan dengan tenggang waktu
tiga hari, panggilan dianggap “tidak sah”,
dan tidak ada kewajiban hukum bagi terdakwa untuk mematuhi panggilan tersebut.
Ketentuan tenggang waktu pemanggilan dan pemberitahuan berlaku untuk semua
tingkat pemeriksaan baik kepada terdakwa, saksi atau ahli (pasal 227 ayat 1).
5.
Surat panggilan harus memuat “dakwaan”
Ini berarti pada waktu penuntut
umum menyampaikan surat panggilan, terdakwa sudah mengetahui untuk perkara apa
ia dipanggil. Agar sejak dari saat pemanggilan sampai pada hari persidangan,
terdakwa sudah mempersiapkan pembelaannya.
B.
BENTUK
ACARA PEMANGGILAN SIDANG
Bentuk
acara pemanggilan sidang yaitu sebagai apa seseorang itu di panggil, apakah
sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam acara peradilan.
C.
ALAT
–ALAT BUKTI
Pada
pasal 184 ayat 1 KUHAP telah menentukan secara terperinci alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Di luar alat-alat bukti ini, tidak dibenarkan
dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim
Ketua Sidang, Penuntut Umum, terdakwa atau penasehat hukum terikat dan terbatas
hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti ini saja.
Sebagai
mana tersebut pada pasal 184 ayat 1 KUHAP mereka tidak leluasa mempergunakan
alat-alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentuakan pada pasal ini. Yang dinilai
sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya
terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar
jenis alat bukti yang disebut pada pasal 184 ayat 1, sama sekali tidak
mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Adapun
alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam
pasal 183 ayat 1 adalah :
1.
Keterangan saksi,
2.
Keterangan ahli,
3.
Surat,
4.
Putunjuk, dan
5.
Keterangan terdakwa.
Selanjatnya
marilah kita uraikan alat-alat bukti tersebut baik yang berhubungan dengan
penerapan alat-alat bukti itu maupun yang berhubungan dengan kekutan pembuktian
yang melekat pada setiap alat bukti itu sendiri.
Keterangan
Saksi
Sebenarnya mengenai hal
yang berhubungan dengan tata cara pemeriksaan, bahkan mengenai ruang lingkup
pemeriksaan saksi sudah panjang lebar kita bicarakan. Oleh karena itu sepanjang
yang mengenai ruang lingkup pemeriksaan saksi, kami ajak kembali untuk
menelitinya pada uraian terdahulu. Titik berat pembahasan dalam pembicaraan
keterangan saksi sebagai alat bukti, ditujukan kepada permasalahan yang
berhubungan dengan pembuktian tanpa mengurangi apa yang telah diterangakan
sebelumnya.
1.
Syarat sahnya keterangan saksi
Pada
umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidanaan yang
luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian
perkara pidana, selalu disadarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya
di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu
diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Ditinjau
dari segi nilai dan kekuatan pebuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi
atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan
beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar
keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki
nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut :
1.1. Harus
mengucapkan sumpah atau janji
Ketentuan
ini diatur dalam pasal 160 ayat 3. Menurut pasal ini , sebelum saksi memberi
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji
:
ü Dilakukan
menurut cara agamanya masing-masing,
ü Lafal
sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.
Kapan
sumpah atau janji itu diucapkan? Menurut ketentuan pasal 160 ayat 3, pada
prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi pasal
160 ayat 4 memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah
saksi memberikan keterangan. Dengan demikian saat pengucapan sumpah atau janji
:
v Pada
prinsipnya wajib diucapkan “sebelum”
saksi memberi keterangan,
v Tapi
dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat
diucapkan “sesudah” saksi memberi
keterangan.
1.2. Keterangan
saksi yang bernilai sebagai bukti
Tidak
semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai bukti. Keterangan saksi
yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan
pasal 1 angka 27 KUHAP. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 27, keterangan
saksi yang dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana ialah keterangan
saksi mengenai suatu peristiwa pidana :
ü Yang
saksi lihat sendiri,
ü Saksi
dengar sndiri,
ü Dan
saksi alami sendiri,
ü Serta
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Agar
supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus
yang “dinyatakan” di sidang
pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat 1. Kalau begitu,
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri,
dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana; keterangan
demikian baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi
nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakannya di luar sidang
pengadilan, bukan alat bukti. Tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
1.3. Keterangan
seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Supaya
keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa
harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti.
Kalau begitu keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat
bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.
Jadi
bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat 2, keterangan seorang saksi saja
belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Atau unus testis nullus testis.
Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari
seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat
bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai
alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan tedakwa sehubungan dengan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Walau
seandainya keterangan saksi tunggal tadi sedemikian rupa jelasnya, tetapi
terdakwa tetap “mungkir” serta kesaksian
tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian ini harus
dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis. Lain halnya
jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan
kepadanya.
Memperhatikan
uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan. Bahwa persyaratan yang dikehendaki
oleh pasal 185 ayat 2 adalah :
Ø Untuk
dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”.
Ø Atau
kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tunggal
tadi harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya.
1.4. Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri
Seiring
terdapat kekeliruan pendapat pada sementara orang yang beranggapan dengan
adanya beberapa saksi sudah dianggap keterangan saksi-saksi yang banyak itu
telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian jelas keliru.
Karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang
pengadilan secara kwantitatip telah melampaui batas minimum pembuktian, belum
tentu keterangan mereka secara kwalitatip memadai sebagai alat bukti yang dapat
membuktikan kesalahan terdakwa.
Tidak
ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kwalitatip keterangan
mereka hanya merupakan keterangan yang saling berdiri sendiri tanpa adanya
saling hubungan antara yang satu dengan yang lain; yang dapat mewujudkan suatu
kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Beberapapun banyaknya
saksi yang diperiksa dan didengar keterangan mereka itu sendiri tanpa hubungan
antara yang satu dengan yang lain.
Hal
seperti diatas dapat dilihat pada keputusan Mahkamah Agung tanggal 17 April
1978 No. 28 K/Kr./1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang
terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan
saksi-saksi lainnya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan,
belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam perkara ini
ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar keterangannya disidang
pengadilan. Akan tetapi dari sekian banyak saksi tersebut hanya saksi satu saja
yang dapat dinilai sebagai alat bukti. Sedang saksi-saksi selebihnya hanya
bersifat keterangan yang berdiri sendiri tanpa saling berhubungan. Sebagai alat
bukti petunjuk saja pun tidak mencukupi.
Disinilah
dituntut kemampuan dan keterampilan penyidik untuk mempersiapkan dan menyediakan
saksi-saksi yang secara kualitatip dapat memberikan keterangan yang saling
berhubungan. Bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya menyajikan
keterangan yang saling berdiri sendiri. Hal yang seperti inilah yang
diperingatkan oleh pasal 185 ayat 4. Pasal 185 ayat 4 menegaskan :
ü Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kjadian atau keadaan dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan syarat,
ü Apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Dari
ketentuan pasal 185 ayat 4 jelaslah, keterangan beberapa orang saksi baru dapat
dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila
keterangan para saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling
menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian.
2.
Cara menilai kebenaran keterangan
saksi
Dalam
menilai dan dalam mengkonstruksi kebenaran keterangan-keterangan para saksi
yang bersangkutan, pasal 185 ayat 6 menuntut kewaspadaan hakim. Hakim dengan
sungguh-sungguh memperhatikan :
2.1. Persesuaian
antara keterangan saksi
Saling
persesuaian ini harus jelas Nampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim.
Penjabaran persesuaian itu harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara
terperinci dan sistematis.
2.2. Persesuaian
keterangan saksi dengan alat bukti lain
Dalam
hal ini, jika yang diajukan penuntut umum dalam persidangan pengadilan terdiri
dari saksi dengan alat bukti yang lain, baik berupa ahli, surat atau petunjuk,
maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam pertimbangannya harus meneliti
dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan
saksi tadi dengan alat bukti yang lain tersebut.
2.3. Alasan
saksi memberi keterangan tertentu
Di
sini hendaklah hakim mencoba mencari alasan saksi, kenapa saksi memberikan
keterangan yang seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, akan
memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan
saksi.
2.4. Cara
hidup dan kesusilaan saksi
Barangkali
yang penting diperhatikan hakim dalam cara hidup dan kesusilaan saksi ialah
yang menyangkut nilai-nilai kepribadian dan akhlak saksi yang bersangkutan.
Termasuk di dalamnya kejujuran, keimanan dan ketakwaan. Maupun yang berkenaan
dengan sifat-sifat buruk yang sering diperlihatkan saksi seperti culas, dengki,
pembohong dan suka menfitnah atau yang berhubungan dengan cara hidup saksi
seperti sifat tak mau tahu, pemabuk, penjudi dan sebagainya.
3.
Nilai kekuatan pembuktian
3.1. Keterangan
yang diberikan tanpa sumpah
Hal
ini terjadi seperti yang diatur dalam pasal 161. Yakni saksi yang telah
memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah,
ternyata tidak dapat dihadirkan dalam pemerisaan di sidang pengadilan. Keterangan
saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang
pengadilan. Akan tetapi dalam hal ini undang-undang tidak menyebutkan secara
tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang
dibacakan disidang pengadilan. Perlu diingatkan mengenai keterangan saksi yang
dibacakan di sidang pengadilan tetapi keterangan itu dulunya pada waktu
pemeriksaan penyidikan diberikan saksi dengan mengucapkan sumpah. Terhadap
keterangan seperti ini tetap dinilai sebagai alat bukti yang sah.
Untuk
mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai tambahan alat bukti yang sah
maupun untuk menguatkan keyakinan hakim atau sebagai petunjuk harus dibarengi
dengan syarat :
ü Harus
lebih dulu telah ada alat bukti yang sah
ü Alat
bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian yakni telah ada
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ü Kemudian
antara keterangan tanpa sumpah tadi dengan alat bukti yang sah tersebut
terdapat saling persesuaian.
3.2. Nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah
Pengucapan
sumpah atau janji bukan yang menentukan sah atau tidak nya keterangan saksi
sebagai alat bukti. Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu
supaya dapat memenuhi nilai sebagai alat bukti yang sah.
Keterangan
Ahli
Pasal
184 ayat 1 KUHAP telah menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah.
Malah tempatnya diletakkan pada urutan kedua sesudah alat bukti keterangan
saksi. Melihat dari letak urutannya saja , pembuat undang-undang menilainya
sebagai salah satu alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara
pidana.
1.
Tata cara pemberian keterangan ahli
Pada
pasal 133 dijelaskan bahwa yang memberi wewenang kepada penyidik mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter maupun
ahli lainnya. Ini berarti, pada saat tahap penyidikan perkara, penyidik dapat
meminta keterangan ahli jika keterangan ahli sangat diperlukan untuk
kepentingan peradilan.
Selanjudnya
pada alenia kedua penjelasan pasal 186, menegaskan : jika hal itu tidak
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada
pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberi keterangan dan dicatat dalam
berita acara pemerisaan.
Dari
ketentuan pasal 133 dihubungkan dengan penjelasan pasal 186, jenis dan tata cara
pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur
sebagai berikut :
1.1. Dimintakan
penyidik pada tarap pemeriksaan penyidikan
Ø Diminta
dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan.
Ø Atas
permintaan penyidik ahli yang bersangkutan membuat laporan
Ø Laporan
atau visum et repertum tadi dibuat
oleh ahli yang bersangkutan
1.2. Keterangan
ahli yang dimita dan diberikan di sidang
Ø Apabila
dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan,
maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, dapat
meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam persidangan di sidang pengadilan.
Ø Bentuk
keterangan ahli menurut tatacara ini berbentuk “keterangan lisan” dan “secara
langsung” diberikan oleh yang bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Ø Bentuk
keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang
pengadilan oleh panitera.
Ø Dan
untuk itu ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji
sebelum memberikan keterangan.
2.
Pengertian keterangan ahli sebagai
alat bukti
Keterangan
ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, hanya diatur dalam satu
pasal saja pada bagian keempat bab XVI sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal
186 akibatnya kalau hanya bertitik tolak pada pasal dan penjelasan pasal 186
saja, sama sekali pasal 186 dan penjelasannya tidak memberi pengertian apa-apa
kepada kita. Dan untuk itu harus mencari dan menghubungkannya dari beberapa
ketentuan yang terpancar dalam pasal-pasal KUHAP mulai dari pasal 1 angka 28,
pasal 120, pasal 133, pasal 179, dan pasal 180 dengan jalan merangkaikan
pasal-pasal ini baru jelas arti dan seluk beluk pemeriksaan keterangan ahli.
3.
Nilai kekuatan pembuktian
keterangan ahli
Nilai
kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu kita
berpendapat, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan
ahli :
v Mempunyai
nilai kekuatan pembuktian “bebas”
atau vrij bewijskracht. Di dalam
dirinya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan.
Terserah pada penilaian hakim.
v Disamping
itu sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183,
keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat
bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa.
Keterangan
ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana
yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang
masih kurang terang tentang sesuatu hal atau keadaan.
Alat
Bukti Surat
1.
Pengertian surat sebagai alat bukti
Menurut
pasal 187, suatu surat yang dapat dinilai alat bukti yang sah menurut undang-undang
ialah :
a.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk
resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya.
b.
Surat yang berbentuk menurut ketentuan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau keadaan.
c.
Surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahlinnya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi dari padanya.
d.
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika
ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
2.
Nilai kekuatan pembuktian surat
Dalam
pembuktian yang diatur dalam acara perdata, surat otentik atau surat resmi
seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam pasal 187 huruf a dan b
KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang “sempurna”.
Dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “mengikat” bagi hakim, sepanjang hal itu tidak dilumpuhkan dengan
bukti lawan atau tegen bewijs.
Oleh
karena alat bukti surat resmi atau otentik merupakan alat bukti yang sempurna
atau mengikat (volledig en beslissende
bewijskrecht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya, dan terikat kepada
pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara yang bersangkutan.
a.
Ditinjau dari segi formal
Jika
ditinjau dari segi formil alat bukti surat seperti tersebut pada pasal 187
huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna”. Oleh karena alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formil yang sempurna”, dengan
sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
Ø Sudah
benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain,
Ø Semua
pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya,
Ø Juga
tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang
di dalam sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat
bukti lain,
Ø Dengan
demikian ditinjau dari segi formil, isi keterangan yang tertuang di dalamnya,
hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti
keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.
b.
Ditinjau dari segi materiil
Dari
sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187,
bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada diri alat bukti surat
ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Dasar alasaan ketidak
terikatan hakim atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas;
antara lain :
ü Asas
proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materil waarheid), bukan mencari kebenaran formil. Dengan asas ini
saja pun hakim sudah bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti
surat.
ü Asas
keyakinan hakim;
Asas ini seperti yang terdapat
dalam jiwa ketentuan pasal 183, berhubungan erat dengan ajaran sistem
pembuktian “menurut undang-undang secara
negatif”. Dan tentang hal ini dapat diuraikan tentang teori-teori
pembuktian .
Bahwa berdasar sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang terdakwa apabila kesalahannya telah terbukti dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan asas keterbuktian itu hakim “yakni” terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
ü Asas
batas minimum pembuktian
Walaupun tadi ditinjau dari segi
formil alat bukti surat resmi yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun
nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai
alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan dari alat
bukti lainnya.
Alat
Bukti Petunjuk
Keterangan
Terdakwa
Pembuktian
BAB II
UPAYA HUKUM
A.
UPAYA
HUKUM BIASA
B.
UPAYA
HUKUM LUAR BIASA
BAB III
HAKIM WASMAT
Please Contact Us
daex.bekate@gmail.com
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan