Saturday, December 17, 2016

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA II

0 komentar

BAB I
KOMODO MARINE S.A. PANAMA
JUAL KAPAL TAMPOMAS II TIDAK PUNYA
KANTOR DI PANAMA DAN MEMAKAI ALAMAT
KANTOR ORANG LAIN

       A.      Panama “Sorga” Bagi Perusahaan-Perusahaan Perkapalan
Panama memang terkenal sebagai suatu Negara di mana banyak perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayaran didirikan, karena negara tersebut seperti juga dengan negara Liberia, memberikan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk usaha dalam bidang perkapalan. Bendera Panama dan Liberia untuk kapal-kapal tanker sudah terkenal di seluruh dunia.

Kapal-kapal berbendera Panama dan Libiya banyak terdapat di mana-mana. Perusahaan-perusahaan ini memang didirikan menurut hokum dari Negara Panama atau Libiya. Kedua Negara itu selalu mengundang pengusaha-pengusaha dari luar negeri untuk mendirikan secara mudah perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang perkapalan dan dapat mengusahakan kapal-kapal berbendera dari Negara-negara tersebut. Padahal pemilik-pemilik dari kapal-kapal yang bersangkutan sama sekali tidak berada di Panama, bahkan tidak mempunyai kantor, seperti yang biasanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perkapalan yang bonafide.

B.       Demi Mengisi Kas Negara
Seperti halnya dengan mengajukan bidang pariwisata untuk menambah devisa Negara. Demikian pula politik pemerintah Panama dan Libiya dalam mempermudah didirikannya perusahaan-perusahaan dengan bentuk “Badan Hukum Panama” di bidang perkapalan yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan devisa Negara. Banyak sekali “dummy companies” yang didirikan.
Jadi masalahnya adalah serupa dengan persoalan reda permasalahan “Modal terselubung” ini, maka kini kita melihat ada berita yang sangat mengherankan berkenaan dengan perusahaan-perusahaan yang nampaknya “bermodal dengkul” tetapi sanggup melakukan transaksi di bidang internasional sejumlah jutaan dollar.


Putusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.      PEMBATASAN PENGERTIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara merinci keputusan-keputusan yang tidak merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang temasuk dalam ruang lingkup kopetensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini.

Menurut pasal 2 yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang adalah :
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum pedata, umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan anatara instansi pemerintah dan perseorangan yang diadasarkan pada ketentuan hukum perdata.

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, ialah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk-bentuk peraturan yang berkekuatan berlakunya mengikat setiap orang.

Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan, ialah keputusan yang untuk dapat berlakunya masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dan keputusan panitia pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu.



D.      PERADILAN TATA USAHA NEGARA MERUPAKAN PERADILAN TINGKAT PERTAMA
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dengan Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang menjadi pertimbangan adanya Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah :
a.    Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras, anatara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat;

b.    Adanya kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional.

Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan oleh :
a.       Pengadilan Tata Usaha Negara, dan
b.      Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Kekuasaan kehakiman tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi. Sebagaimana diatur dalam undang-undang, Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten dan yang daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya/Kabupaten. Dalam pada itu Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Propinsi, merupakan pengadilan tingkat tinggi kedua (banding, appeal) yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.


Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang itu telah dibentuk, yaitu di Medan, Jakarta dan Ujung Pandang. Pembentukan badan peradilan itu memerlukan bermacam-macam persiapan, seperti anatara lain para hakim, sarana fisik, dan lain-lain.

Adapun pembinaan teknis peradilan baik bagi Peradilan Tata Usaha Negara maupun bagi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya dilakukan oleh Departemen Kehakiman.

Untuk dapat diangkat sebagai hakim pada badan pengadilan tersebut harus dipenuhi bermacam-macam persyaratan, diantaranya ialah berwibawa, jujur, adil dan berkedaulatan tidak tercela.

Oleh karena itu hakim pada kedua badan pengadilan ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Sebelum memangku jabatan, Ketua, Wakil Ketua dan hakim pengadilan pada kedua badan pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Baik Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara, sedangkan yang dimaksud dengan sengketa tata usaha Negara ialah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam undang-undang nomor : 5 Tahun 1986 selain diatur hukum administrasi (Negara) materil juga berisi hukum formal, yang diatur dalam Bab IV, pasal 53 sampai 132.


BAB II
KARAKTERISTIK DAN PRINSIP-PRINSIP
 PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Perbedaan antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Perdata dapat diterangkan, sebagai berikut :
v Hakim Tata Usaha Negara tidak usah membatasi diri pada bagian yang dipertentangkan dari suatu keputusan, akan tetapi dapat menguji seluruh keputusan atas keabsahannya, juga lepas dari motifasi yang mengajukan gugatan;

v Kemungkinan adanya “ reformation in peius “ ( mengubah vonis yang merugikan penggugat / pembanding );
Bias juga bahwa suatu pembatalan yang bersifat hukum administrasi suatu keputusan pada akhirnya mengarah ke suatu hasil yang lebih negatif bagi seorang penggugat dibandingkan dengan apa yang dihasilkan keputusan yang asli.

v Hakim Tata Usaha Negara hanya dapat membatalkan suatu keputusan.
Dalam hal itu penguasa harus mengambil suatu keputusan baru dengan memperhatikan putusan Hakim. Bisa juga bahwa keputusan baru itu mengenai isinya sama dengan yang dibatalkan namun hanya lebih baik dimotifasi dan atau lebih cermat disiapkan;

v Tindakan dari penguasa adalah sentral dan bukan (juga) tindakan dari penggugat (banding)

v Hak gugat dari pihak ketiga dapat dimungkinkan dari sifat hukum positif yang melandasi penetapan penguasa;

v Pihak-pihak tidak bisa menentukan bersama apakah dapat dikatakan ada suatu keputusan. Hal itu ditentukan sendiri oleh hukum positif.


Philipus M. Hadjon, R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran basah, Bagir Manan, Penghantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yokyakarta, 1993, hlm. 313-315.
Disamping perbedaan-perbedaan tersebut diatas, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai ciri khas yang tercermin dalam asas-asas hukum yang melandasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Asas-asas tersebut adalah :
a.    Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa. Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugan ( pasal 67 ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 );

b.    Asas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100.

c.    Asas Keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksud untuk mengimbangi kedudukan para pihak kaena tergugat adalah Pejabat Tata Negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.

d.   Asas pututan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.

Disamping asas-asas sebagaimana yang telah diuraikan di atas, perlu ditegaskan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik, yakni Hukum Administrasi sebagaimana ditegakkan dalam UU PTUN Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa Tata Usaha Negara.

Juga perlu diperhatikan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara melalui UU No. 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak masyarakat. Untuk itu disamping melindungi hak individu sebagian besar isi UU No. 5 Tahun 1986 melindungi hak-hak masyarakat. Pasal-pasal yang langsung menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah : pasal 49, 55 dan 67.

Pasal 49 :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.       Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 55 :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Pasal 67 (1) :
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
        
  
BAB III
ORGANISASI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 merumuskan pengertian sengketa tata usaha negara sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara baik dipusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Rumusan itu mirip dengan rumusan Wet AROB di Belanda. Kalau Wet AROB Belanda mengartikan AROB (Administratieve Rechtspraak Overheidsbesckkingen) sebagai suatu “aanvullende administratief rechtspraak”, maka disamping AROB masih ada badan-badan lainnya yang melaksanakan fungsi sebagai Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian AROB itu sendiri bukanlah merupakan suatu sistem umum Peradilan Tata Usaha Negara tetapi suatu peradilan khusus.

Kalau kita bertitik tolak dari ketentuan pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 seyogianya Peradilan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 merupakan suatu sistem umum kompetensi absolute Peradilan Tata Usaha Negara (vide pasal 1 angka 4) kiranya Peradilan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 hanyalah suatu Peradilan Tata Usaha Negara Khusus.

Dengan pembatasan kopetensi absolute Peradilan Tata Usaha Negara hanya menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berarti masih ada sengketa-sengketa tata usaha negara lainnya yang tidak terjangkau oleh PTUN.

Dalam kaitannya dengan organisasi, ada baiknya kita tinjau struktur PTUN itu sendiri secara sepintas. Berdasarkan ketentuan pasal 8 UU No. 5 Tahun 1986, Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri atas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).

Struktur tersebut diatas mirip dengan struktur peradilan umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Nomor 2, Tahun 1986 (vide pasal 6). Meskipun dengan struktur yang sama namun alur perkara dalam lingkungan peradilan umum berbeda dengan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan itu disebabkan karena jalur Peradilan Tata Usaha Negara terdapat saluran upaya administratief (vide pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986).

Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk dngan keputusan Presiden (pasal 9 UU No. 5 Tahun 1986), sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan Undang-Undang. Pada waktu pertama kali diterapkan UU No. 5 Tahun 1986 melalui PP No. 7 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa PTUN mulai diterapkan tanggal 14 Januari 1991, telah dibentuk lima Pengadilan TUN melalui Kepres No. 52 Tahun 1990 dan tiga Pengadilan Tinggi TUN melalui UU No. 10 tahun 1990.

Sejalan dengan ketentuan pasal 10 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Dengan demikian keempat lingkungan peradilan kita berpuncak pada Mahkamah Agung (system piramide). Secara sederhana hal itu dapat kita lukiskan dalam bagan dibawah ini.





Mahkamah Agung








Peradilan
Umum


Peradilan
Agama


Peradilan
Militer


Peradilan Tata
Usaha Negara





BAB IV
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA


BAB V
UPAYA-UPAYA HUKUM



BAB VI
DAFTAR PUSTAKA


0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan