BAB I
KOMODO MARINE
S.A. PANAMA
JUAL KAPAL
TAMPOMAS II TIDAK PUNYA
KANTOR DI PANAMA
DAN MEMAKAI ALAMAT
KANTOR ORANG
LAIN
A.
Panama
“Sorga” Bagi Perusahaan-Perusahaan Perkapalan
Panama
memang terkenal sebagai suatu Negara di mana banyak perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam bidang pelayaran didirikan, karena negara tersebut seperti juga
dengan negara Liberia, memberikan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk
usaha dalam bidang perkapalan. Bendera Panama dan Liberia untuk kapal-kapal
tanker sudah terkenal di seluruh dunia.
Kapal-kapal
berbendera Panama dan Libiya banyak terdapat di mana-mana.
Perusahaan-perusahaan ini memang didirikan menurut hokum dari Negara Panama
atau Libiya. Kedua Negara itu selalu mengundang pengusaha-pengusaha dari luar
negeri untuk mendirikan secara mudah perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
bidang perkapalan dan dapat mengusahakan kapal-kapal berbendera dari
Negara-negara tersebut. Padahal pemilik-pemilik dari kapal-kapal yang
bersangkutan sama sekali tidak berada di Panama, bahkan tidak mempunyai kantor,
seperti yang biasanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perkapalan yang
bonafide.
B.
Demi
Mengisi Kas Negara
Seperti
halnya dengan mengajukan bidang pariwisata untuk menambah devisa Negara.
Demikian pula politik pemerintah Panama dan Libiya dalam mempermudah
didirikannya perusahaan-perusahaan dengan bentuk “Badan Hukum Panama” di bidang
perkapalan yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan devisa Negara. Banyak
sekali “dummy companies” yang didirikan.
Jadi
masalahnya adalah serupa dengan persoalan reda permasalahan “Modal terselubung”
ini, maka kini kita melihat ada berita yang sangat mengherankan berkenaan
dengan perusahaan-perusahaan yang nampaknya “bermodal dengkul” tetapi sanggup
melakukan transaksi di bidang internasional sejumlah jutaan dollar.
Putusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
baik dipusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
C.
PEMBATASAN
PENGERTIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pasal
2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara merinci keputusan-keputusan yang
tidak merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.
Pasal
ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang
temasuk dalam ruang lingkup kopetensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha
Negara. Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang
karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini.
Menurut
pasal 2 yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut undang-undang adalah :
Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum pedata, umpamanya keputusan
yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan anatara instansi pemerintah
dan perseorangan yang diadasarkan pada ketentuan hukum perdata.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, ialah
pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk-bentuk
peraturan yang berkekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan, ialah keputusan yang untuk
dapat berlakunya masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi
lain.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Tata
Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dan
keputusan panitia pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilu.
D.
PERADILAN
TATA USAHA NEGARA MERUPAKAN PERADILAN TINGKAT PERTAMA
Peradilan Tata Usaha
Negara diatur dengan Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Yang menjadi pertimbangan adanya Peradilan Tata Usaha Negara ini
adalah :
a. Negara
Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa
yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan
warga masyarakat dalam hukum, dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi,
seimbang, serta selaras, anatara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan
para warga masyarakat;
b. Adanya
kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat
merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional.
Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan oleh :
a. Pengadilan
Tata Usaha Negara, dan
b. Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.
Kekuasaan
kehakiman tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara
tertinggi. Sebagaimana diatur dalam undang-undang, Pengadilan Tata Usaha Negara
merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kotamadya atau
Ibukota Kabupaten dan yang daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya/Kabupaten.
Dalam pada itu Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Propinsi,
merupakan pengadilan tingkat tinggi kedua (banding,
appeal) yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang itu telah
dibentuk, yaitu di Medan, Jakarta dan Ujung Pandang. Pembentukan badan
peradilan itu memerlukan bermacam-macam persiapan, seperti anatara lain para
hakim, sarana fisik, dan lain-lain.
Adapun
pembinaan teknis peradilan baik bagi Peradilan Tata Usaha Negara maupun bagi
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya dilakukan oleh Departemen
Kehakiman.
Untuk
dapat diangkat sebagai hakim pada badan pengadilan tersebut harus dipenuhi
bermacam-macam persyaratan, diantaranya ialah berwibawa, jujur, adil dan
berkedaulatan tidak tercela.
Oleh
karena itu hakim pada kedua badan pengadilan ini diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Sebelum
memangku jabatan, Ketua, Wakil Ketua dan hakim pengadilan pada kedua badan
pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Baik Pengadilan Tata Usaha
Negara maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara, sedangkan yang
dimaksud dengan sengketa tata usaha Negara ialah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam
undang-undang nomor : 5 Tahun 1986 selain diatur hukum administrasi (Negara)
materil juga berisi hukum formal, yang diatur dalam Bab IV, pasal 53 sampai
132.
BAB
II
KARAKTERISTIK
DAN PRINSIP-PRINSIP
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Perbedaan antara
Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Perdata dapat diterangkan, sebagai
berikut :
v Hakim
Tata Usaha Negara tidak usah membatasi diri pada bagian yang dipertentangkan dari
suatu keputusan, akan tetapi dapat menguji seluruh keputusan atas keabsahannya,
juga lepas dari motifasi yang mengajukan gugatan;
v Kemungkinan
adanya “ reformation in peius “ ( mengubah vonis yang merugikan penggugat / pembanding
);
Bias juga bahwa suatu pembatalan
yang bersifat hukum administrasi suatu keputusan pada akhirnya mengarah ke
suatu hasil yang lebih negatif bagi seorang penggugat dibandingkan dengan apa
yang dihasilkan keputusan yang asli.
v Hakim
Tata Usaha Negara hanya dapat membatalkan suatu keputusan.
Dalam hal itu penguasa harus
mengambil suatu keputusan baru dengan memperhatikan putusan Hakim. Bisa juga
bahwa keputusan baru itu mengenai isinya sama dengan yang dibatalkan namun
hanya lebih baik dimotifasi dan atau lebih cermat disiapkan;
v Tindakan
dari penguasa adalah sentral dan bukan (juga)
tindakan dari penggugat (banding)
v Hak
gugat dari pihak ketiga dapat dimungkinkan dari sifat hukum positif yang
melandasi penetapan penguasa;
v Pihak-pihak
tidak bisa menentukan bersama apakah dapat dikatakan ada suatu keputusan. Hal
itu ditentukan sendiri oleh hukum positif.
Philipus M. Hadjon, R.
Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran basah, Bagir Manan, Penghantar Hukum
Administrasi Indonesia, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yokyakarta,
1993, hlm. 313-315.
Disamping
perbedaan-perbedaan tersebut diatas, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai ciri khas yang tercermin dalam asas-asas hukum yang melandasi Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Asas-asas tersebut adalah :
a. Asas
Praduga Rechtmatig (vermoeden van
rechtmatigheid = praesumptio iustae causa.
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugan ( pasal 67
ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 );
b. Asas
Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda
dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 tahun 1986
hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100.
c. Asas
Keaktifan Hakim (dominus litis).
Keaktifan hakim dimaksud untuk mengimbangi kedudukan para pihak kaena tergugat
adalah Pejabat Tata Negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum
perdata.
d. Asas
pututan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan
demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para
pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang
intervensi bertentangan dengan asas “erga
omnes”.
Disamping
asas-asas sebagaimana yang telah diuraikan di atas, perlu ditegaskan bahwa
Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik, yakni Hukum
Administrasi sebagaimana ditegakkan dalam UU PTUN Pasal 47 bahwa sengketa yang
termasuk lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa Tata
Usaha Negara.
Juga
perlu diperhatikan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara melalui UU No. 5
Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak
masyarakat. Untuk itu disamping melindungi hak individu sebagian besar isi UU
No. 5 Tahun 1986 melindungi hak-hak masyarakat. Pasal-pasal yang langsung
menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah : pasal 49, 55 dan 67.
Pasal 49 :
Pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu
dalam keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam
waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 55 :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu 90 (sembilan puluh)
hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.
Pasal 67 (1) :
Gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta
tindakan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
BAB III
ORGANISASI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Pasal
1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 merumuskan pengertian sengketa tata usaha negara
sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara baik dipusat
maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara.
Rumusan itu mirip dengan rumusan Wet AROB di Belanda. Kalau Wet AROB Belanda
mengartikan AROB (Administratieve
Rechtspraak Overheidsbesckkingen) sebagai suatu “aanvullende administratief rechtspraak”, maka disamping AROB masih
ada badan-badan lainnya yang melaksanakan fungsi sebagai Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian AROB itu sendiri bukanlah merupakan suatu sistem umum Peradilan
Tata Usaha Negara tetapi suatu peradilan khusus.
Kalau
kita bertitik tolak dari ketentuan pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 seyogianya Peradilan
Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 merupakan suatu sistem umum
kompetensi absolute Peradilan Tata Usaha Negara (vide pasal 1 angka 4) kiranya Peradilan
Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 hanyalah suatu Peradilan Tata
Usaha Negara Khusus.
Dengan
pembatasan kopetensi absolute Peradilan Tata Usaha Negara hanya menyangkut Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) berarti masih ada sengketa-sengketa tata usaha negara
lainnya yang tidak terjangkau oleh PTUN.
Dalam
kaitannya dengan organisasi, ada baiknya kita tinjau struktur PTUN itu sendiri
secara sepintas. Berdasarkan ketentuan pasal 8 UU No. 5 Tahun 1986, Pengadilan
Tata Usaha Negara terdiri atas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai
pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
Struktur
tersebut diatas mirip dengan struktur peradilan umum berdasarkan ketentuan
Undang-Undang, Nomor 2, Tahun 1986 (vide pasal 6). Meskipun dengan struktur
yang sama namun alur perkara dalam lingkungan peradilan umum berbeda dengan
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan itu disebabkan karena jalur Peradilan
Tata Usaha Negara terdapat saluran upaya administratief (vide pasal 48 UU No. 5
Tahun 1986).
Pengadilan
Tata Usaha Negara dibentuk dngan keputusan Presiden (pasal 9 UU No. 5 Tahun
1986), sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan
Undang-Undang. Pada waktu pertama kali diterapkan UU No. 5 Tahun 1986 melalui
PP No. 7 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa PTUN mulai diterapkan tanggal 14
Januari 1991, telah dibentuk lima Pengadilan TUN melalui Kepres No. 52 Tahun
1990 dan tiga Pengadilan Tinggi TUN melalui UU No. 10 tahun 1990.
Sejalan
dengan ketentuan pasal 10 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi. Dengan demikian keempat lingkungan peradilan kita berpuncak
pada Mahkamah Agung (system piramide).
Secara sederhana hal itu dapat kita lukiskan dalam bagan dibawah ini.
Mahkamah Agung
|
||||||
Peradilan
Umum
|
Peradilan
Agama
|
Peradilan
Militer
|
Peradilan Tata
Usaha Negara
|
BAB IV
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BAB V
UPAYA-UPAYA HUKUM
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan