Saturday, December 10, 2016

DETERMINASI POLITIK DALAM HUKUM PERBURUHAN (STUDI TENTANG DINAMIKA PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN di INDONESIA).

0 komentar
BAB I
PENDAHULUAN
  
        A .  Latar Belakang Masalah 
Determinasi politik menurut asal katanya terdiri dari dua kata yaitu, determinasi dan politik. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia determinasi bisa diartikan sebagai faktor yang menentukan, sedangkan politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara, urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara, cara bertindak dan taktik.

          Namun tindakan politik sering kali sering juga ditafsirkan sebagai sebuah kebijaksanaan. Istilah kebijaksanaan dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris “Policy” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur urusan urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). ¹

Kebijakan pembangunan hukum memainkan peranan penting dalam menjamin dan melindungi kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana yang dicita-citakan.
 


Demikian halnya Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis. dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alenia IV, yang berbunyi:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ....................”.²

Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut tercakup pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, cita moral yang mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional, cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan; sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia, telah dimurnikan dan dipadatkan menjadi dasar negara Pancasila.

Bertitik tolak dari kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berintikan Pancasila itu sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, maka timbul konsekuensi-konsekuensi yang bersifat imperatif bagi negara dan penyelenggaraan negara.


 Konsekuensi yang bersifat imperatif (mengharuskan/mewajibkan) itu, bahwa segenap aspek kehidupan negara dan penyelenggaraan Negara serta setiap realisasi dan pelaksanaan sistem hukum positif Indonesia harus senantiasa sesuai Pancasila.

Nilai-nilai hukum dasar tersebut di atas, dengan sendirinya menjadi ukuran bagi setiap hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar dan seluruh peraturan perundang-undangan yang lainnya, apakah telah sesuai atau tidak dengan norma-norma yang berasal dari Tuhan (hukum Tuhan), dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (hukum kodrat), dengan nilai-nilai kebaikan (hukum etis), dan dengan nilai-nilai Pancasila yang abstrak, umum, universal (hukum filosofis). Dengan redaksional lain dapat dikatakan, bahwa pelaksanaan hukum positif Indonesia wajib berlandaskan asas-asas nilai kerohanian Pancasila dan asas-asas nilai yang lainnya sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Selain itu juga merupakan suatu kewajiban bagi negara Indonesia untuk menjadikan asas-asas nilai sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut sebagai ukuran dalam penyusunan, pengembangan dan interpretasi semua peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
  
Terkait dengan kewenangan penyusunan peraturan perundangundangan (hak legislasi) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa yang berhak membentuk undang-undang adalah DPR hal itu dapat diketemukan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi:

 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Namun dilain pihak selain DPR ada lembaga lain yang dapat mengajukan rancangan undang-undang yaitu Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah, ketentuan tentang hal tersebut termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan dasar hukum dari kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah terdapat dalam pasal 22D ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden berkedudukan sama dalam hal pembentukan peraturan perundangundangan, walaupun dalam hal ini peran Dewan Perwakilan Daerah dalam mengajukan rancangan undang-undang hanya terbatas pada urusan dan/atau kepentingan tertentu saja sesuai yang termuat dalam pasal 22 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy).4

Dalam pembuatan aturan perundangan peran politik hukum sangat penting dan dapat mencakup dua hal, yaitu:5
1.        Sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
2.  Untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini sangat penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan penghubung antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Mengingat harus ada konsistensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan. Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi.



Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dimensi kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundangundangan.6

Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijaksanaan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki.

Oleh sebab itu, hukum meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Penegakan hukum menjadi kehilangan ruang, terkait dengan hal tersebut Ronald Katz menyatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.7


Dalam sistem perekonomian kapitalisme, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang serakah dan materialistis. Keserakahan dan kepentingan pribadi dari tiap-tiap orang inilah yang dikelola dalam system perekonomian kapitalis atau persaingan bebas. Menurut Adam Smith, pasar persaingan bebas akan mengatur segala sesuatunya, keserakahan masing-masing orang akan mengatur dirinya sendiri. Gejala inilah yang oleh Adam Smith disebut sebagai the invisible hand.8

Asumsi dasar bahwa setiap manusia bersikap rasional dan serakah itu tidak pernah terpenuhi. Yang banyak menentukan kemudian adalah yang kuat dan serakah. Mereka akan menggunakan segala cara untuk menelikung pasar bebas, termasuk cara politik. Akibatnya, golongan ekonomi lemah dan buruh menjadi sangat tergantung kepada kemurahan para pemilik capital tersebut.9

Beberapa negara berkembang diantaranya Indonesia juga banyak yang berasumsi bahwa kapitalisme dan demokrasi merupakan dua system yang bisa dijadikan obat manjur untuk membentuk sebuah Negara yang yang diidam-idamkan atau setidaknya mendekati apa yang menjadi kesempurnaan sebuah negara. Kapitalisme dalam hal ini akan memacu pertumbuhan ekonomi sedangkan demokrasi akan menjadi alat control negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat.

Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun peraturan perundang-undangan sebelumnya dengan desain kebijaksanaan buruh murah dan ramah atas pasar atau iklim investasi, juga merupakan bagian dari konstruksi kekuasaan pasar bebas. Perundang-undangan ini telah dibentuk dalam konteks kapitalisme industri yang menuntut kebijaksanaan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Marx (1977) menyatakan bahwa kapitalisme didasarkan pada relasi sosial, hukum, dan politik yang menyokong eksploitasi terhadap buruh, dan buruh dipahami sebagai komoditas yang dibeli oleh kapitalis yang menggunakan buruh sebagai bagian dari belanja untuk memproduksi barang-barang. Tidak begitu mengherankan bilamana kebijaksanaan perburuhan senantiasa memuaskan selera pasar dibandingkan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak buruh.10

Menurut pandangan Niccolo Machiavelli, tugas pemerintah yang sebenarnya mempertahankan, mengembangkan, dan mengekspansi kekuasaan. Karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur integral dan elemen paling esensial dalam politik. Tujuan dari semua usaha penguasa adalah mempertahankan stabilitas suatu negara. Negara tetap eksis dan bila ada ancaman dilakukan tindakan penyelamatan dari ancaman-ancaman itu.

Dalam mengambil tindakan, maka pertimbangan yang dilakukan pertamatama tidak bertolak dari kemauan rakyat. Apakah tindakan yang akan diambil ini dinilai baik atau buruk, tetapi bertolak dari segi efisiensi secara politik. Pilihan tindakan tergantung dari tuntutan keadaan dan desakan situasi sosial.




Tujuan utama berpolitik bagi penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangannya. Politik dan moral merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Dalam urusan politik, tidak ada tempat membicarakan moral. Hanya satu yang penting adalah meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Kaidah etika politik alternatif bagi Machiavelli adalah tujuan politik dengan memperkuat dan memperluas kekuasaan. Segala usaha untuk mensukseskan tujuan itu dapat dibenarkan.

Pemisahan tegas antara prinsip-prinsip moral, etika dan prinsip-prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya perbedaan. Moral dan tatasusila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kenyataan itu memang harus dibedakan dari suatu kemungkinan yang diharapkan. Karena itu bidang politik tidak perlu mempertahankan bidang moral. Tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar tujuan-tujuan itu. Karena tidak ada nilai etis dalam kehidupan politik, maka seorang penguasa dapat saja memutuskan dan melanggar perjanjian yang pernah diucapkan baik kepada rakyatnya maupun kepada negara-negara tetangganya.11

Dalam konsep yang dianut kaum Kelsenian berpandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa (law as a command of lawgivers), sehingga sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang.

Aliran filsafat hukum yang disebut Positivisme Hukum ini menolak identifikasi antara hukum dan moral, sehingga tujuan hukum hanya satu, yakni kepastian hukum. Soetandyo melihat jelas bahwa Pemerintahan Orde Baru sangat setia menjalankan kebijaksanaan demikian. Pada paragraf penutup bukunya, ia menyatakan:12
“Dalam konstelasi dan konstruksi seperti itu, bolehlah secara bebas dikatakan di sini bahwa hukum di Indonesia dalam perkembangannya di akhir abad ke-20 ini benar-benar secara sempurna menjadi government social control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Walhasil, hukum perundang-undangan sepanjang sejarah perkembangan pemerintahan Orde Baru telah menjadi kekuatan kontrol di tanganpemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis), dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam”.

Sebagaimana falsafahnya bahwa hukum haruslah mampu dan berani membawa prinsip adil bagi mereka yang lemah. Namun pada kenyataannya, hukum mengalami simplifikasi tafsir sebagai bentuk atau wujudnya yang positif, sehingga adil dalam pandangan ini adalah yang sesuai dengan hukum atau apa yang dinyatakan dalam undang-undang. Bila adil disamakan dengan yang legal ini terjadi, maka celakanya, sumber keadilan adalah didasarkan pada kehendak pembuat hukum (legislator) belaka.

Berbeda dengan civil law sistem, common law sistem lebih menitikberatkan kekuasaan bukan pada law creation atau legislator, tetapi pada law application atau peran hakim. Ini berarti, ada dua mainstream besar kekuasaan dalam hukum, yakni: kekuasan pembuat kebijaksanaan (legislator) dan kekuasan peradilan (hakim). Yang unik, dan masih banyak terjadi hingga hari ini, dalam kajian-kajian ilmu hukum di Indonesia meskipun hidup berdampingan lama dengan civil law sistem, ternyata lebih banyak yang berkonsentrasi pada kekuasaan peradilan (hakim) dibandingkan mengkaji lebih dalam kekuasaan para pembuat kebijaksanaan (legislator). Sehingga dimensi yang lebih banyak ada bisa dipahami sebagai representasi didominasi oleh pandangan positivisme hukum, dan menganggap hukum sebagaimana adanya.18 Hukum tidak bisa ditegakkan bilamana eksklusivitas kekuasaan sudah menempatkan dirinya pada posisi mapan.

Bila hukum-hukum yang sudah tidak adil itu dipraktekkan, justru sekedar kian melahirkan ketimpangan, ketidakteraturan, legitimasi kekerasan dan kekuasaan belaka. Buruh merupakan kelompok pekerja dalam suatu bidang usaha merupakan mitra yang penting bagi pengusaha didalam menjalankan roda kegiatan ekonomi.

Disatu pihak pengusaha memiliki modal dan membutuhkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu untuk kepentingan pengusaha, dan dilain pihak buruh membutuhkan pekerjaan dan memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan pekerjaan yang dibebankan pengusaha kepadanya dengan menerima sejumlah imbalan yang ditentukan. Namun seringkali terjadi pelanggaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh pengusaha, yang mana pelanggaran tersebut misalnya pembayaran upah yang dibawah standar peraturan pemerintah atau pembayaran lembur yang dibawah ketentuan pemerintah dan lain-lain.13

Pembaharuan peraturan-peraturan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dari waktu ke waktu merupakan wujud komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan aturan-aturan normative ketenagakerjaan untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi dunia ketenagakerjaan yang didalamnya terdapat pihak pengusaha dan buruh (pekerja).

Ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia, akan tetapi pemerintah pula sering mengeluarkan kebijaksanaan aturan normatif yang tidak jelas dan tidak mengatur secara mendetil aturan-aturan tersebut sehingga menimbulkan banyak makna penafsiran oleh pihak pengusaha, hal ini tentu akan banyak menimbulkan konflik antara pengusaha dan tenaga kerja.14

Kondisi demikian tersebut seringkali mendorong pengusaha untuk lebih jauh dalam meminimalkan komponen tenaga kerja agar biaya produksi dapat lebih rendah. Modusnya dapat bermacam-macam, namun seringkali yang dilakukan pengusaha yaitu dengan cara melakukan pengsiasatan hukum agar seolah-olah mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, seperti misalnya dengan menerapkan kebijaksanaan buruh kontrak selama 3 tahun lalu setelah selesai dengan masa kontraknya maka dengan sendirinya akan terjadi pemutusan hubungan kerja dengan para tenaga kerja,




 setelah itu mereka dipersilahkan untuk membuat kontrak baru lagi yang seolah-olah mereka adalah pelamar baru yang belum pernah melakukan hubungan kerja dengan perusahaan sebelumnya, dan jika mereka tidak menginginkan kebijaksanaan tersebut maka para buruh dapat pergi dari perusahaan dan perusahaan dapat mencari tenaga kerja baru yang menyetujui kebijaksanaan tersebut.

Dan seringkali kebijaksanaan tersebut terus berulang-ulang sedangkan pihak buruh sendiri tak mampu berbuat banyak karena terbentur dengan faktor langkanya pekerjaan membuat mereka tetap bertahan dan tidak berani menuntut, meskipun sebenarnya hakhak mereka dilanggar oleh pengusaha.

Modus hubungan kerja melalui pola kontrak ini dilakukan oleh perusahaan dengan maksud untuk menghindari kewajiban pemberian uang pesangon, penghargaan masa kerja, asuransi, dan lain-lain. Hal ini karena dalam perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), apabila pekerjaan yang diperjanjikan telah selesai atau jangka waktu yang diperjanjikan telah berakhir maka perjanjian kerja putus demi hukum tanpa ada kewajiban pihak satu kepada pihak lain, kecuali diperjanjikan lain.

Hal ini sangat berbeda dengan pola hubungan kerja tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).21 Salah satu contohnya adalah prosedur maupun akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sangat berbeda, dimana ada kewajiban perusahaan untuk membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja dan lain-lain.

Adanya acuan yang tidak jelas ini dapat memicu perbedaan persepsi antara pengusaha dan tenaga kerja yang berujung kepada mogok kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja ataupun penutupan perusahaan untuk sementara oleh pengusaha, yang nantinya mengakibatkan kerugian kepada kedua belah pihak. Buruh sebagai sumber daya manusia yang merupakan penggerak perusahaan cenderung menggunakan aksi mogok kerja yang biasanya 21 Istilah perjanjian kerja kontrak didalam undang-undang ketenagakerjaan tidak akan diketemukan karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan istilah yang dipakai adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sedangkan istilah pola hubungan kerja tetap menggunakan istilah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). dilakukan secara kelompok sebagai upaya untuk menyampaikan maksud ataupun tuntutan tertentu kepada pihak pengusaha. Mogok kerja dalam arti berhenti beraktivitas untuk waktu yang tidak ditentukan dalam usaha menyalurkan aspirasinya kepada pihak pengusaha.

Indonesia merupakan sebuah negara yang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang tentu Indonesia mengharapkan adanya percepatan pembangunan pertumbuhan ekonomi dengan masuknya investasi asing ke Indonesia. Penanaman modal asing ini merupakan akselerasi perkembangan ekonomi yang nantinya diharapkan ikut berperan dalam mensejahteraan nasib rakyat Indonesia.

Sejalan dengan masuknya Investasi ke Indonesia maka hal ini mendorong penciptaan lapangan kerja baru bagi rakyat yang dapat menurunkan angka pengangguran yang merupakan salah satu masalah krusial Indonesia yang juga merupakan masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh negara-negara dunia yang sedang berkembang.

Setiap kebijaksanaan secara esensial merupakan indikasi dari bentuk tertentu pembagian kekuasaan. Maksudnya, untuk memahami bahwa kondisi sosial, ekonomi dan politik yang umumnya buruk di mana buruh terorganisasi menjalankan aktivitasnya, tak lain merupakan akibat dari pertarungan kepentingan dalam pembagian kekuasaan semacam ini.

Kompetisi tersebut terjadi pada masa-masa sulit, penuh kekerasan dengan kerap kali diiringi konflik berdarah yang sengaja dipelihara, dan pada akhirnya menciptakan rezim politik yang cenderung membatasi pengaruh buruh sebagai satu kekuatan sosial.15

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa;
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Menurut pasal ini ada dua hal penting dan mendasar yang merupakan hak setiap warga negara Indonesia yaitu hak memperoleh pekerjaan dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak. Suatu pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi saja, tetapi juga harus mempunyai nilai kelayakan bagi manusia.




Suatu pekerjaan baru memenuhi semua itu bila keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan kehidupan buruh dalam pelaksanaannya terjamin. Dengan demikian pekerja sebagai Warga Negara Indonesia perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar dapat ikut serta aktif dalam pembangunan.

Apapun yang dilakukan dalam hukum, tak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari hukum itu, karena hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam setiap proses hukum dalam suatu Negara berdasarkan hukum, aspek manusia harus menempati posisi sentral, termasuk memungkinkan manusia untuk ikut dalam proses yang menentukan nasibnya itu. Hanya dengan demikianlah, cita-cita untuk menjadikan Negara berdasarkan hukum sebagai rumah rakyat Indonesia yang tertib dan nyaman menjadi kenyataan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa wujud perhatian pemerintah seringkali dengan mengeluarkan sebuah produk hukum namun seringkali peran golongan kepentingan dalam pembentukan hukum sangat dominan, sehingga hukum seolah tidak seteriil dari subsistem kemasyarakatan lainnya termasuk dalam produk hukum perburuhan yang sudah terbentuk sejak dari zaman penjajahan sampai setelah reformasi. Dari itu semua maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi yang diberi judul: DETERMINASI POLITIK DALAM HUKUM PERBURUHAN (STUDI TENTANG DINAMIKA PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN di INDONESIA).
  
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang akan diteliti dapat dipecahkan, maka perlu disusun dan dirumuskan suatu permasalahan yang jelas dan sistematis serta sebagai pedoman agar pembahasannya tidak menyimpang dari pokok permasalahannya.

Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.        Bagaimanakah pengaruh politik (kebijaksanaan pemerintah) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai perburuhan di Indonesia?
2.        Apa dampak yang ditimbulkan dari kebijaksanaan pemerintah tersebut terhadap kesejahteraan buruh yang terkait dengan hak-hak yang seharusnya diterima?

C.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah serta perumusan tersebut di atas, maka penulis ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengaruh kebijaksanaan formulasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembentukan peraturan perundangan mengenai hukum perburuhan di Indonesia.
2.        Untuk mengetahui dan mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan dari kebijaksanaan pemerintah tersebut terhadap kesejahteraan buruh yang terkait dengan hak-hak yang seharusnya diterima buruh di Indonesia
3.        Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
  
D.   Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian yang hendak penulis lakukan adalah sebagai berikut :
1.        Manfaat teoritis
       a.     Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam bangku perkuliahan dan                        membandingkannya dengan praktek di lapangan.
       b.    Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.
     c.     Untuk mengetahui pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam pembentukan aturan perundang-            undangan.
    d.    Untuk mengetahui secara mendalam mengenai perlindungan yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada buruh di Indonesia.
   e.     Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

2.        Manfaat praktis
a.       Memberikan sumbangan pemikiran dibidang hukum pada umumnya dan pada khususnya tentang perlindungan terhadap buruh serta kebijaksanaan pemerintah dalam membuat hukum di Indonesia.
b.      Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang perlindungan terhadap buruh.
c.       Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis, khususnya dalam bidang hukum ketatanegaraan.

E.   Kerangka Teori
Hukum dan politik merupakan bagian dari kehidupan sosial, keberadaan keduanya sangatlah erat seolah seperti dua sisi mata uang yang takkan mungkin terpisahkan. Karena itu Curzon menyatakan bahwa:16
“the close connections between law and politics, between legal principles and the institutions of the law, between political ideologies and government institutions are obvious…..”

Curzon dalam pandangan tersebut menyatakan bahwa hukum dan politik mempunyai kedekatan yang sangat prinsip dan nyata serta hukum tidak dapat dipisahkan dari pengaruh politik.

Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.17

Bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula. Kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum. Inilah tragedy panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia.

Asumsi dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hokum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi.

Meskipun dari sudut "das sollen" ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut "das sein" bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada jaman Soeharto.

Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari Negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.

Pertama kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut "das sollen" yang mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Tokohnya antara lain Roscoe Pound dengan "law as a tool of social engineering". Adalah wajar jika ada keinginan untuk meletakkan hokum sebagai penentu arah perjalanan masyrakat karena dengan itu fungsi hokum untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi lebih relevan.

Tetapi dari kaum realis seperti Von Savigny dengan "hokum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya". Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent variable atas keadaan diluarnya, terutama keadaan politiknya.

F.    Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan mencari data suatu masalah, diperlukan suatu metode yang bersifat ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan yang akan diteliti. “Suatu metode merumuskan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Jadi suatu metode dipilih berdasarkan dan mempertimbangkan keserasian dengan obyeknya serta metode yang digunakan sejalan dengan tujuan, sasaran, variabel, dan masalah yang hendak diteliti. Sedangkan metode penelitian menguraikan secara teknik apa yang digunakan dalam penelitiannya”.18

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat di uraikan sebagai berikut :
1.        Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar (basic research) dan termasuk dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang objek yang akan diteliti maupun gejala-gejala lainnya. Maksudnya terutama untuk mempertegas adanya hipotesis-hipotesis agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori yang lama atau dalam rangka menyusun teori baru.19
  
2.        Metode pendekatan
Penulisan ini lebih mendasarkan pada penulisan hukum dan politik yang akan dilakukan dengan pendekatan doktrinal. Hal ini disebabkan hokum dikonsepsikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, sehingga akan mencakup pula lembaga-lembaga maupun proses-proses yang hendak mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam masyarakat sebagai perwujudan makna-makna simbolik sebagai perilaku sosial sebagaimana termanifestasi dan tersimak dalam dan dari aksi serta interaksi kehidupan sosial kenegaraan.

3.        Jenis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu:
a.    Data Primer
Yaitu data-data yang berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti yang dimaksudkan untuk dapat lebih memahami maksud, tujuan dan arti dari data sekunder yang ada. Data primer ini pada pelaksanaannya hanya berfungsi sebagai penunjang dari data sekunder.
b.    Data Sekunder
Penelitian ini menggunakan jenis sumber data sekunder yang merupakan data utama yang diperoleh melalui kajian bahan kepustakaan, dalam hal ini berupa dokumen-dokumen tertulis yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, literature, dokumen, arsip, publikasi dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian.
c.    Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya

4.        Teknik Pengumpulan Data
Dalam membahas permasalahan tersebut diatas, maka diperlukan datadata dan keterangan. Untuk itu dalam penulisan ini penulis akan mempergunakan metode kepustakaan (library research) yaitu cara untuk memperoleh data dengan jalan mempelajari dan menelaah buku-buku, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah baik dari surat kabar, majalah maupun dari rangkuman kuliah yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi.

5.        Analisis Data
Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka dalam penelitian ini analisis akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis normative kualitatif. Dalam tahapan ini terutama akan dilakukan inventarisasi terhadap berbagai norma hukum atau peraturan perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi yang terkait dengan pengaturan tentang pola perlindungan hukum terhadap buruh, kemudian data yang telah dihasilkan diiventarisasikan dengan data yang telah diperoleh dari obyek yang diteliti sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga pada tahap akhir dapat menemukan hukum in-cocreto. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar mengenai perdebatan seputar kebijaksanaan pemerintah dalam hukum perburuhan yang seringkali di nilai oleh masyarakat sebagai produk hukum yang cenderung bermuatan kepentingan tertentu yang tak berpihak kepada kepentingan buruh sebagai sebuah elemen yang lemah yang seharusnya membutuhkan perlindungan lebih daripada kepentingan perusahaan yang seringkali merampas hak-hak buruh.

G.   Sistematika Skripsi
Untuk dapat memudahkan pemahaman dalam pembahasan dan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai keseluruhan penulisan karya ilmiah maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penyusunan penulisan skripsi. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, masing-masing bab tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya. Setiap bab terbagi lagi menjadi sub-sub bab yang membahas satu pokok bahasan tertentu. Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.

Bab II Tinjauan Pustaka, memuat uraian mendalam tentang teori dan konsep yang akan digunakan oleh penulis untuk menjawab atau memecahkan masalah yang di dasarkan pada kajian teoritis. Pada pembahasan bab II ini pembahasan akan meliputi tinjauan secara umum tentang Negara, hukum dan kekuasaan yang antara ketiganya itu memiliki hubungan antara satu dengan lainnya, serta kebijakan pemerintah yang merupakan hasil dari manifestasi kekuasaan Negara yang berbentuk hukum atau aturan yang pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini sebagai hasil penelitian dan pembahasan hasil dari permasalahan yang diteliti, maka bab ini memuat pembahasan mengenai rumusan masalah yang penulis teliti yaitu pengaruh politik terhadap kebijakan pembuatan hukum perburuhan dan dampak dari kebijakan itu terhadap kesejahteraan buruh.

Bab IV Penutup, bab ini sebagai penutup dari penulisan skripsi memuat kesimpulan dan saran-saran yang merupakan pernyataan penulis yang dikemukakan sesuai dengan permasalahan sehingga akan berperan sebagai
masukan.


0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan