BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang Masalah
Determinasi politik menurut asal katanya
terdiri dari dua kata yaitu, determinasi dan politik. Berdasarkan kamus besar
bahasa Indonesia determinasi bisa diartikan sebagai faktor yang menentukan,
sedangkan politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara, urusan yang
mencakup siasat dalam pemerintahan negara, cara bertindak dan taktik.
Namun tindakan politik sering kali
sering juga ditafsirkan sebagai sebuah kebijaksanaan. Istilah kebijaksanaan
dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris “Policy” yang secara umum
dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam
mengelola, mengatur urusan urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau
bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). ¹
Kebijakan pembangunan hukum memainkan
peranan penting dalam menjamin dan melindungi kehidupan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus
diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana
yang dicita-citakan.
Demikian halnya Dalam perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya adalah
upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis. dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alenia IV, yang berbunyi:
“Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
....................”.²
Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 tersebut tercakup pandangan hidup, kesadaran dan
cita-cita hukum, cita moral yang mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan
bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional, cita politik mengenai
sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan; sebagai
pengejawantahan dari budi nurani manusia, telah dimurnikan dan dipadatkan menjadi
dasar negara Pancasila.
Bertitik tolak dari kedudukan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berintikan Pancasila
itu sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, maka timbul konsekuensi-konsekuensi
yang bersifat imperatif bagi negara dan penyelenggaraan negara.
Konsekuensi yang bersifat imperatif (mengharuskan/mewajibkan)
itu, bahwa segenap aspek kehidupan negara dan penyelenggaraan Negara serta
setiap realisasi dan pelaksanaan sistem hukum positif Indonesia harus
senantiasa sesuai Pancasila.
Nilai-nilai hukum dasar tersebut di
atas, dengan sendirinya menjadi ukuran bagi setiap hukum positif Indonesia,
yakni Undang-Undang Dasar dan seluruh peraturan perundang-undangan yang
lainnya, apakah telah sesuai atau tidak dengan norma-norma yang berasal dari
Tuhan (hukum Tuhan), dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (hukum kodrat),
dengan nilai-nilai kebaikan (hukum etis), dan dengan nilai-nilai Pancasila yang
abstrak, umum, universal (hukum filosofis). Dengan redaksional lain dapat
dikatakan, bahwa pelaksanaan hukum positif Indonesia wajib berlandaskan
asas-asas nilai kerohanian Pancasila dan asas-asas nilai yang lainnya
sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
Selain itu juga merupakan suatu kewajiban
bagi negara Indonesia untuk menjadikan asas-asas nilai sebagaimana tercantum di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut
sebagai ukuran dalam penyusunan, pengembangan dan interpretasi semua peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia.
Terkait dengan kewenangan penyusunan
peraturan perundangundangan (hak legislasi) dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa yang berhak membentuk undang-undang adalah
DPR hal itu dapat diketemukan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
pasal 20 ayat (1) yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”. Namun dilain pihak selain DPR ada lembaga lain
yang dapat mengajukan rancangan undang-undang yaitu Presiden dan Dewan
Perwakilan Daerah, ketentuan tentang hal tersebut termuat dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”,
sedangkan dasar hukum dari kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah
terdapat dalam pasal 22D ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
dapat dikatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden
berkedudukan sama dalam hal pembentukan peraturan perundangundangan, walaupun
dalam hal ini peran Dewan Perwakilan Daerah dalam mengajukan rancangan
undang-undang hanya terbatas pada urusan dan/atau kepentingan tertentu saja
sesuai yang termuat dalam pasal 22 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
Peraturan perundang-undangan merupakan
bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Tujuan dan
alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam. Berbagai
tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut
sebagai politik hukum (legal policy).4
Dalam pembuatan aturan perundangan peran
politik hukum sangat penting dan dapat mencakup dua hal, yaitu:5
1.
Sebagai alasan mengapa
diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
2. Untuk menentukan apa yang
hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal
ini sangat penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan
pasal merupakan jembatan penghubung antara politik hukum yang ditetapkan dengan
pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan
perundang-undangan. Mengingat harus ada konsistensi dan korelasi antara apa
yang ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan.
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi.
Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar
dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dimensi kedua adalah
tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundangundangan.6
Hukum sebagaimana banyak diterjemahkan
melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi
politik yang bekerja. Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh
pembuat/pengambil kebijaksanaan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang
mereka miliki.
Oleh sebab itu, hukum meski dipercaya
memiliki nilai-nilai dan makna yang sangat penting dalam menata kehidupan
sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi
politik-ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. Dengan
kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya
ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya.
Penegakan hukum menjadi kehilangan ruang, terkait dengan hal tersebut Ronald
Katz menyatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law,
ada hukum tapi tidak berguna.7
Dalam sistem perekonomian kapitalisme,
manusia diasumsikan sebagai makhluk yang serakah dan materialistis. Keserakahan
dan kepentingan pribadi dari tiap-tiap orang inilah yang dikelola dalam system perekonomian
kapitalis atau persaingan bebas. Menurut Adam Smith, pasar persaingan bebas
akan mengatur segala sesuatunya, keserakahan masing-masing orang akan mengatur
dirinya sendiri. Gejala inilah yang oleh Adam Smith disebut sebagai the
invisible hand.8
Asumsi dasar bahwa setiap manusia
bersikap rasional dan serakah itu tidak pernah terpenuhi. Yang banyak
menentukan kemudian adalah yang kuat dan serakah. Mereka akan menggunakan
segala cara untuk menelikung pasar bebas, termasuk cara politik. Akibatnya,
golongan ekonomi lemah dan buruh menjadi sangat tergantung kepada kemurahan
para pemilik capital tersebut.9
Beberapa negara berkembang diantaranya
Indonesia juga banyak yang berasumsi bahwa kapitalisme dan demokrasi merupakan
dua system yang bisa dijadikan obat manjur untuk membentuk sebuah Negara yang yang
diidam-idamkan atau setidaknya mendekati apa yang menjadi kesempurnaan sebuah
negara. Kapitalisme dalam hal ini akan memacu pertumbuhan ekonomi sedangkan
demokrasi akan menjadi alat control negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan
yang diberikan oleh rakyat.
Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan maupun peraturan perundang-undangan sebelumnya dengan
desain kebijaksanaan buruh murah dan ramah atas pasar atau iklim investasi,
juga merupakan bagian dari konstruksi kekuasaan pasar bebas. Perundang-undangan
ini telah dibentuk dalam konteks kapitalisme industri yang menuntut
kebijaksanaan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Marx (1977) menyatakan bahwa
kapitalisme didasarkan pada relasi sosial, hukum, dan politik yang menyokong
eksploitasi terhadap buruh, dan buruh dipahami sebagai komoditas yang dibeli
oleh kapitalis yang menggunakan buruh sebagai bagian dari belanja untuk
memproduksi barang-barang. Tidak begitu mengherankan bilamana kebijaksanaan
perburuhan senantiasa memuaskan selera pasar dibandingkan perlindungan dan
pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak buruh.10
Menurut pandangan Niccolo Machiavelli,
tugas pemerintah yang sebenarnya mempertahankan, mengembangkan, dan
mengekspansi kekuasaan. Karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur integral
dan elemen paling esensial dalam politik. Tujuan dari semua usaha penguasa adalah
mempertahankan stabilitas suatu negara. Negara tetap eksis dan bila ada ancaman
dilakukan tindakan penyelamatan dari ancaman-ancaman itu.
Dalam mengambil tindakan, maka
pertimbangan yang dilakukan pertamatama tidak bertolak dari kemauan rakyat.
Apakah tindakan yang akan diambil ini dinilai baik atau buruk, tetapi bertolak
dari segi efisiensi secara politik. Pilihan tindakan tergantung dari tuntutan
keadaan dan desakan situasi sosial.
Tujuan utama berpolitik bagi penguasa
adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangannya. Politik dan moral
merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang
lain. Dalam urusan politik, tidak ada tempat membicarakan moral. Hanya satu
yang penting adalah meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Kaidah etika
politik alternatif bagi Machiavelli adalah tujuan politik dengan memperkuat dan
memperluas kekuasaan. Segala usaha untuk mensukseskan tujuan itu dapat
dibenarkan.
Pemisahan tegas antara prinsip-prinsip
moral, etika dan prinsip-prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya
perbedaan. Moral dan tatasusila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan,
sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Suatu kenyataan itu memang harus dibedakan dari suatu kemungkinan
yang diharapkan. Karena itu bidang politik tidak perlu mempertahankan bidang moral.
Tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar
tujuan-tujuan itu. Karena tidak ada nilai etis dalam kehidupan politik, maka
seorang penguasa dapat saja memutuskan dan melanggar perjanjian yang pernah
diucapkan baik kepada rakyatnya maupun kepada negara-negara tetangganya.11
Dalam konsep yang dianut kaum Kelsenian
berpandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa (law as a command of
lawgivers), sehingga sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang.
Aliran filsafat hukum yang disebut
Positivisme Hukum ini menolak identifikasi antara hukum dan moral, sehingga
tujuan hukum hanya satu, yakni kepastian hukum. Soetandyo melihat jelas bahwa
Pemerintahan Orde Baru sangat setia menjalankan kebijaksanaan demikian. Pada
paragraf penutup bukunya, ia menyatakan:12
“Dalam konstelasi dan konstruksi seperti
itu, bolehlah secara bebas dikatakan di sini bahwa hukum di Indonesia dalam
perkembangannya di akhir abad ke-20 ini benar-benar secara sempurna menjadi government
social control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Walhasil,
hukum perundang-undangan sepanjang sejarah perkembangan pemerintahan Orde Baru
telah menjadi kekuatan kontrol di tanganpemerintah yang terlegitimasi (secara
formal-yuridis), dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-asas
moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup
di dalam kesadaran hukum masyarakat awam”.
Sebagaimana falsafahnya bahwa hukum
haruslah mampu dan berani membawa prinsip adil bagi mereka yang lemah. Namun
pada kenyataannya, hukum mengalami simplifikasi tafsir sebagai bentuk atau
wujudnya yang positif, sehingga adil dalam pandangan ini adalah yang sesuai
dengan hukum atau apa yang dinyatakan dalam undang-undang. Bila adil disamakan
dengan yang legal ini terjadi, maka celakanya, sumber keadilan adalah
didasarkan pada kehendak pembuat hukum (legislator) belaka.
Berbeda dengan civil law sistem, common
law sistem lebih menitikberatkan kekuasaan bukan pada law creation atau
legislator, tetapi pada law application atau peran hakim. Ini berarti,
ada dua mainstream besar kekuasaan dalam hukum, yakni: kekuasan pembuat
kebijaksanaan (legislator) dan kekuasan peradilan (hakim). Yang unik, dan masih
banyak terjadi hingga hari ini, dalam kajian-kajian ilmu hukum di Indonesia meskipun
hidup berdampingan lama dengan civil law sistem, ternyata lebih banyak
yang berkonsentrasi pada kekuasaan peradilan (hakim) dibandingkan mengkaji
lebih dalam kekuasaan para pembuat kebijaksanaan (legislator). Sehingga
dimensi yang lebih banyak ada bisa dipahami sebagai representasi didominasi
oleh pandangan positivisme hukum, dan menganggap hukum sebagaimana adanya.18
Hukum tidak bisa ditegakkan bilamana eksklusivitas kekuasaan sudah menempatkan
dirinya pada posisi mapan.
Bila hukum-hukum yang sudah tidak adil
itu dipraktekkan, justru sekedar kian melahirkan ketimpangan, ketidakteraturan,
legitimasi kekerasan dan kekuasaan belaka. Buruh merupakan kelompok pekerja
dalam suatu bidang usaha merupakan mitra yang penting bagi pengusaha didalam
menjalankan roda kegiatan ekonomi.
Disatu pihak pengusaha memiliki modal
dan membutuhkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu untuk
kepentingan pengusaha, dan dilain pihak buruh membutuhkan pekerjaan dan
memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan pekerjaan yang
dibebankan pengusaha kepadanya dengan menerima sejumlah imbalan yang
ditentukan. Namun seringkali terjadi pelanggaran hak-hak buruh yang dilakukan
oleh pengusaha, yang mana pelanggaran tersebut misalnya pembayaran upah yang
dibawah standar peraturan pemerintah atau pembayaran lembur yang dibawah
ketentuan pemerintah dan lain-lain.13
Pembaharuan peraturan-peraturan
pemerintah mengenai ketenagakerjaan dari waktu ke waktu merupakan wujud
komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan aturan-aturan normative ketenagakerjaan
untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi dunia ketenagakerjaan yang didalamnya
terdapat pihak pengusaha dan buruh (pekerja).
Ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang
dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia,
akan tetapi pemerintah pula sering mengeluarkan kebijaksanaan aturan normatif
yang tidak jelas dan tidak mengatur secara mendetil aturan-aturan tersebut
sehingga menimbulkan banyak makna penafsiran oleh pihak pengusaha, hal ini
tentu akan banyak menimbulkan konflik antara pengusaha dan tenaga kerja.14
Kondisi demikian tersebut seringkali
mendorong pengusaha untuk lebih jauh dalam meminimalkan komponen tenaga kerja
agar biaya produksi dapat lebih rendah. Modusnya dapat bermacam-macam, namun seringkali
yang dilakukan pengusaha yaitu dengan cara melakukan pengsiasatan hukum agar
seolah-olah mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, seperti misalnya dengan
menerapkan kebijaksanaan buruh kontrak selama 3 tahun lalu setelah selesai
dengan masa kontraknya maka dengan sendirinya akan terjadi pemutusan hubungan kerja
dengan para tenaga kerja,
setelah itu mereka
dipersilahkan untuk membuat kontrak baru lagi yang seolah-olah mereka adalah pelamar
baru yang belum pernah melakukan hubungan kerja dengan perusahaan sebelumnya,
dan jika mereka tidak menginginkan kebijaksanaan tersebut maka para buruh dapat
pergi dari perusahaan dan perusahaan dapat mencari tenaga kerja baru yang menyetujui
kebijaksanaan tersebut.
Dan seringkali kebijaksanaan tersebut terus
berulang-ulang sedangkan pihak buruh sendiri tak mampu berbuat banyak karena
terbentur dengan faktor langkanya pekerjaan membuat mereka tetap bertahan dan
tidak berani menuntut, meskipun sebenarnya hakhak mereka dilanggar oleh
pengusaha.
Modus hubungan kerja melalui pola
kontrak ini dilakukan oleh perusahaan dengan maksud untuk menghindari kewajiban
pemberian uang pesangon, penghargaan masa kerja, asuransi, dan lain-lain. Hal
ini karena dalam perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT), apabila pekerjaan yang diperjanjikan telah selesai atau jangka waktu
yang diperjanjikan telah berakhir maka perjanjian kerja putus demi hukum tanpa ada
kewajiban pihak satu kepada pihak lain, kecuali diperjanjikan lain.
Hal ini sangat berbeda dengan pola
hubungan kerja tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).21
Salah satu contohnya adalah prosedur maupun akibat pemutusan hubungan kerja
(PHK) yang sangat berbeda, dimana ada kewajiban perusahaan untuk membayar
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan lain-lain.
Adanya acuan yang tidak jelas ini dapat
memicu perbedaan persepsi antara pengusaha dan tenaga kerja yang berujung
kepada mogok kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja ataupun penutupan
perusahaan untuk sementara oleh pengusaha, yang nantinya mengakibatkan kerugian
kepada kedua belah pihak. Buruh sebagai sumber daya manusia yang merupakan
penggerak perusahaan cenderung menggunakan aksi mogok kerja yang biasanya 21 Istilah
perjanjian kerja kontrak didalam undang-undang ketenagakerjaan tidak akan diketemukan
karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan istilah yang dipakai adalah perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT), sedangkan istilah pola hubungan kerja tetap menggunakan
istilah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). dilakukan secara
kelompok sebagai upaya untuk menyampaikan maksud ataupun tuntutan tertentu
kepada pihak pengusaha. Mogok kerja dalam arti berhenti beraktivitas untuk
waktu yang tidak ditentukan dalam usaha menyalurkan aspirasinya kepada pihak
pengusaha.
Indonesia merupakan sebuah negara yang
berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang tentu Indonesia mengharapkan
adanya percepatan pembangunan pertumbuhan ekonomi dengan masuknya investasi asing
ke Indonesia. Penanaman modal asing ini merupakan akselerasi perkembangan
ekonomi yang nantinya diharapkan ikut berperan dalam mensejahteraan nasib
rakyat Indonesia.
Sejalan dengan masuknya Investasi ke
Indonesia maka hal ini mendorong penciptaan lapangan kerja baru bagi rakyat
yang dapat menurunkan angka pengangguran yang merupakan salah satu masalah krusial
Indonesia yang juga merupakan masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh
negara-negara dunia yang sedang berkembang.
Setiap kebijaksanaan secara esensial
merupakan indikasi dari bentuk tertentu pembagian kekuasaan. Maksudnya, untuk
memahami bahwa kondisi sosial, ekonomi dan politik yang umumnya buruk di mana
buruh terorganisasi menjalankan aktivitasnya, tak lain merupakan akibat dari pertarungan
kepentingan dalam pembagian kekuasaan semacam ini.
Kompetisi tersebut terjadi pada
masa-masa sulit, penuh kekerasan dengan kerap kali diiringi konflik berdarah
yang sengaja dipelihara, dan pada akhirnya menciptakan rezim politik yang cenderung
membatasi pengaruh buruh sebagai satu kekuatan sosial.15
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan bahwa;
“Tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Menurut pasal ini ada dua hal penting
dan mendasar yang merupakan hak setiap warga negara Indonesia yaitu hak
memperoleh pekerjaan dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak. Suatu
pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi saja, tetapi juga harus mempunyai
nilai kelayakan bagi manusia.
Suatu pekerjaan baru memenuhi semua itu
bila keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan kehidupan buruh dalam
pelaksanaannya terjamin. Dengan demikian pekerja sebagai Warga Negara Indonesia
perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar dapat ikut serta aktif dalam
pembangunan.
Apapun yang dilakukan dalam hukum, tak
boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari
hukum itu, karena hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena
itu, dalam setiap proses hukum dalam suatu Negara berdasarkan hukum, aspek manusia
harus menempati posisi sentral, termasuk memungkinkan manusia untuk ikut dalam
proses yang menentukan nasibnya itu. Hanya dengan demikianlah, cita-cita untuk
menjadikan Negara berdasarkan hukum sebagai rumah rakyat Indonesia yang tertib
dan nyaman menjadi kenyataan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
diketahui bahwa wujud perhatian pemerintah seringkali dengan mengeluarkan
sebuah produk hukum namun seringkali peran golongan kepentingan dalam
pembentukan hukum sangat dominan, sehingga hukum seolah tidak seteriil dari
subsistem kemasyarakatan lainnya termasuk dalam produk hukum perburuhan yang sudah
terbentuk sejak dari zaman penjajahan sampai setelah reformasi. Dari itu semua
maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna
penyusunan skripsi yang diberi judul: DETERMINASI POLITIK DALAM HUKUM
PERBURUHAN (STUDI TENTANG DINAMIKA
PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN
di INDONESIA).
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang akan diteliti
dapat dipecahkan, maka perlu disusun dan dirumuskan suatu permasalahan yang
jelas dan sistematis serta sebagai pedoman agar pembahasannya tidak menyimpang
dari pokok permasalahannya.
Adapun perumusan masalah dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pengaruh
politik (kebijaksanaan pemerintah) dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mengenai perburuhan di Indonesia?
2.
Apa dampak yang ditimbulkan
dari kebijaksanaan pemerintah tersebut terhadap kesejahteraan buruh yang
terkait dengan hak-hak yang seharusnya diterima?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah serta perumusan tersebut di
atas, maka penulis ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan pengaruh kebijaksanaan formulasi yang dilakukan oleh pemerintah
dalam pembentukan peraturan perundangan mengenai hukum perburuhan di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan dari kebijaksanaan pemerintah tersebut
terhadap kesejahteraan buruh yang terkait dengan hak-hak yang seharusnya
diterima buruh di Indonesia
3.
Untuk melengkapi syarat
akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat.
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian yang
hendak penulis lakukan adalah sebagai berikut :
1.
Manfaat teoritis
a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam bangku perkuliahan
dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.
c. Untuk mengetahui pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam pembentukan
aturan perundang- undangan.
d. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai perlindungan yang diberikan
peraturan perundang-undangan kepada buruh di Indonesia.
e. Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan
untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat praktis
a.
Memberikan sumbangan
pemikiran dibidang hukum pada umumnya dan pada khususnya tentang perlindungan
terhadap buruh serta kebijaksanaan pemerintah dalam membuat hukum di Indonesia.
b.
Untuk memberikan masukan dan
informasi bagi masyarakat luas tentang perlindungan terhadap buruh.
c.
Hasil penelitian ini sebagai
bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis, khususnya dalam bidang hukum
ketatanegaraan.
E. Kerangka Teori
Hukum dan politik merupakan bagian dari
kehidupan sosial, keberadaan keduanya sangatlah erat seolah seperti dua sisi
mata uang yang takkan mungkin terpisahkan. Karena itu Curzon menyatakan bahwa:16
“the close connections between law and politics, between legal
principles and the institutions of the law, between political ideologies and government
institutions are obvious…..”
Curzon dalam pandangan tersebut
menyatakan bahwa hukum dan politik mempunyai kedekatan yang sangat prinsip dan
nyata serta hukum tidak dapat dipisahkan dari pengaruh politik.
Politik hukum adalah legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang
meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum.17
Bahwa hukum adalah produk politik sehingga
keadaan politik tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula.
Kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum
deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa
dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam
penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan
hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh
kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum.
Inilah tragedy panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia.
Asumsi dasar dari pemikiran diatas
adalah bahwa hokum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk
hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau
konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa
setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai
kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para
politisi.
Meskipun dari sudut "das sollen"
ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut
"das sein" bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan
oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah
panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah
panglima pada jaman Soeharto.
Pembangunanisme (developmentalism) telah
menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan
rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari Negara untuk
membenarkan setiap tindakan dari penguasa.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum
diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala
peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum,
minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.
Pertama kaum idealis yang lebih berdiri
pada sudut "das sollen" yang mengatakan bahwa hukum harus
mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan
politiknya. Tokohnya antara lain Roscoe Pound dengan "law as a tool of
social engineering". Adalah wajar jika ada keinginan untuk
meletakkan hokum sebagai penentu arah perjalanan masyrakat karena dengan itu
fungsi hokum untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan
menjadi lebih relevan.
Tetapi dari kaum realis seperti Von
Savigny dengan "hokum selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya". Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau,
menjadi independent variable atas keadaan diluarnya, terutama keadaan
politiknya.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah dengan mencari data suatu masalah, diperlukan suatu metode yang bersifat
ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan yang akan diteliti. “Suatu metode merumuskan cara kerja atau tata
kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Jadi suatu metode dipilih berdasarkan dan mempertimbangkan keserasian dengan
obyeknya serta metode yang digunakan sejalan dengan tujuan, sasaran, variabel,
dan masalah yang hendak diteliti. Sedangkan metode penelitian menguraikan
secara teknik apa yang digunakan dalam penelitiannya”.18
Adapun metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini dapat di uraikan sebagai berikut :
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar (basic research)
dan termasuk dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang objek yang akan diteliti maupun
gejala-gejala lainnya. Maksudnya terutama untuk mempertegas adanya
hipotesis-hipotesis agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori yang
lama atau dalam rangka menyusun teori baru.19
2.
Metode pendekatan
Penulisan ini lebih mendasarkan pada penulisan hukum dan politik
yang akan dilakukan dengan pendekatan doktrinal. Hal ini disebabkan hokum dikonsepsikan
sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, sehingga akan mencakup pula lembaga-lembaga maupun proses-proses
yang hendak mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam masyarakat sebagai
perwujudan makna-makna simbolik sebagai perilaku sosial sebagaimana termanifestasi
dan tersimak dalam dan dari aksi serta interaksi kehidupan sosial kenegaraan.
3.
Jenis Data
Penelitian
ini menggunakan jenis data yang berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu:
a. Data Primer
Yaitu data-data yang berupa keterangan-keterangan yang berasal
dari pihak-pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti yang dimaksudkan
untuk dapat lebih memahami maksud, tujuan dan arti dari data sekunder yang ada.
Data primer ini pada pelaksanaannya hanya berfungsi sebagai penunjang dari data
sekunder.
b. Data Sekunder
Penelitian ini menggunakan jenis sumber data sekunder yang merupakan
data utama yang diperoleh melalui kajian bahan kepustakaan, dalam hal ini
berupa dokumen-dokumen tertulis yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, literature, dokumen, arsip, publikasi dari
lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai bahan
hukum primer maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya
4.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam membahas permasalahan tersebut diatas, maka diperlukan
datadata dan keterangan. Untuk itu dalam penulisan ini penulis akan mempergunakan
metode kepustakaan (library research) yaitu cara untuk memperoleh data
dengan jalan mempelajari dan menelaah buku-buku, peraturan perundang-undangan,
karya ilmiah baik dari surat kabar, majalah maupun dari rangkuman kuliah yang
ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi.
5.
Analisis Data
Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka dalam
penelitian ini analisis akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis normative
kualitatif. Dalam tahapan ini terutama akan dilakukan inventarisasi terhadap
berbagai norma hukum atau peraturan perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi
yang terkait dengan pengaturan tentang pola perlindungan hukum terhadap buruh,
kemudian data yang telah dihasilkan diiventarisasikan dengan data yang telah
diperoleh dari obyek yang diteliti sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga
pada tahap akhir dapat menemukan hukum in-cocreto. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan jalan keluar mengenai perdebatan seputar kebijaksanaan pemerintah
dalam hukum perburuhan yang seringkali di nilai oleh masyarakat sebagai produk
hukum yang cenderung bermuatan kepentingan tertentu yang tak berpihak kepada
kepentingan buruh sebagai sebuah elemen yang lemah yang seharusnya membutuhkan
perlindungan lebih daripada kepentingan perusahaan yang seringkali merampas
hak-hak buruh.
G. Sistematika Skripsi
Untuk dapat memudahkan pemahaman dalam
pembahasan dan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai keseluruhan penulisan
karya ilmiah maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penyusunan
penulisan skripsi. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4
(empat) bab, masing-masing bab tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya.
Setiap bab terbagi lagi menjadi sub-sub bab yang membahas satu pokok bahasan tertentu.
Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, bab ini berisi latar
belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika
penulisan skripsi.
Bab II Tinjauan Pustaka, memuat uraian
mendalam tentang teori dan konsep yang akan digunakan oleh penulis untuk
menjawab atau memecahkan masalah yang di dasarkan pada kajian teoritis. Pada
pembahasan bab II ini pembahasan akan meliputi tinjauan secara umum tentang
Negara, hukum dan kekuasaan yang antara ketiganya itu memiliki hubungan antara
satu dengan lainnya, serta kebijakan pemerintah yang merupakan hasil dari
manifestasi kekuasaan Negara yang berbentuk hukum atau aturan yang pada
dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan,
bab ini sebagai hasil penelitian dan pembahasan hasil dari permasalahan yang
diteliti, maka bab ini memuat pembahasan mengenai rumusan masalah yang penulis
teliti yaitu pengaruh politik terhadap kebijakan pembuatan hukum perburuhan dan
dampak dari kebijakan itu terhadap kesejahteraan buruh.
Bab IV Penutup, bab ini sebagai penutup
dari penulisan skripsi memuat kesimpulan dan saran-saran yang merupakan
pernyataan penulis yang dikemukakan sesuai dengan permasalahan sehingga akan
berperan sebagai
masukan.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan